Rabu, 13 Februari 2013

Perkebunan Kelapa Sawit (Kepentingan) Siapa?


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Dalam memperingati satu abad perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ada dua kubu yang berbeda pandangan mengenai pengembangan sawit. Kubu pertama adalah pihak pengusaha sawit, yakni Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Sedangkan kubu kedua adalah gabungan 35 lembaga swadaya masyarakat (LSM).
            Syukurlah, Medan Bisnis sebagai harian ekonomi cukup independen, dan pemberitaannya berimbang soal perbedaan pandangan tersebut. Dimana pada halaman pertama edisi 29 Maret 2011, dua berita besar ditampilkan. Berita tersebut berjudul “Industri Sawit Masih Terhambat Black Campaign” dan “35 LSM Tolak 20 Juta Ha Perkebunan Baru”. Dua judul berita ini mewakili pandangan dua kubu yang berbeda.  
            Kubu LSM yang fokus pada permasalahan perkebunan, menolak wacana pemerintah dan pengusaha, untuk membuka lahan baru perkebunan seluas 20 juta hektar. Penolakan itu bukan tidak punya alasan. Alasan utamnya adalah karena pembukaan perkebunan kelapa sawit tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru yang tampak ke permukaan adalah konflik antara masyarakat (adat) dengan pengusaha, upah buruh rendah, beban kerja berat, dan bahkan tanpa ada jaminan kerja.
            Berbeda dengan LSM, pihak pengusaha (Gapki) melihat perkebunan sawit dari aspek ekonomi. Kontribusi kelapa sawit terhadap devisa negara yang mencapai US$ 14,1 miliar dan penyumbang terbesar kedua setelah migas, dijadikan sebagai alasan perlunya pengembangan sawit di Tanah Air. Bagi mereka, penolakan sejumlah LSM tersebut adalah kampanye negatif dan tidak benar. Bagaimanapun juga, logika pengusaha adalah hitungan untung-rugi.
Tidak hanya pengusaha, Ketua DPRD Sumut, Saleh Bangun, juga menyatakan bahwa sawit adalah sahabat rakyat dan sudah terbukti memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Seolah-olah pernyataan beliau itu mewakili suara rakyat, khususnya masyarakat perkebunan di Sumut. Sementara bagi pemerintah, perkebunan sawit dinilai menghasilkan pemasukan negara dan mengurangi pengangguran.
Kepentingan Siapa?
            Tak bisa dimungkiri, perkebunan sawit menghasilkan pemasukan negara yang cukup besar. Tapi persoalannya, mampukah meningkatkan kesejahteraan rakyat? Apakah perluasan perkebunan sawit sudah menjadi prioritas? Pernyataan pemerintah dan pemilik modal bahwa perkebunan sawit adalah sahabat rakyat dan menyejahterkan masyarakat, tidaklah benar. Pertanyaannya, masyarakat yang mana?
            Memang, tidak sedikit masyarakat yang makmur karena memiliki perkebunan sawit. Mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Mungkin masyarakat seperti inilah yang dimaksud pemerintah dan pengusaha. Padahal, masyarakat seperti ini adalah “tuan tanah” yang tidak bisa mewakili masyarakat Indonesia. Mereka memiliki lahan yang luas, sehingga wajar bisa sejahtera.
Bagaimana dengan mayoritas rakyat yang tidak memiliki lahan yang cukup? Sekitar 60 persen rumah tangga petani adalah petani gurem, yakni petani yang hanya memiliki lahan sekitar 0,5 hektar. Jika mereka ikut menanam sawit di tanah yang sempit, maka siap-siaplah menunggu kesengsaraan. Sebab kalau pun sawitnya berbuah, itu tidak akan cukup memenuhi kebutuhannya. Persoalannya, sawit yang ditanam tidak bisa langsung berbuah. Butuh waktu beberapa tahun. Sang petani pun terpaksa menjadi buruh, buruh kebun sawit.
Pada umumnya, buruh kebun sawit hidup sengsara. Mereka menerima upah yang tak layak, sementara beban dan resiko kerja sangat berat. Parahnya, perkebunan sudah seperti negara dalam negara. Terjadi penindasan dengan sistem yang rapi dan mapan. Salah satu contohnya adalah dengan adanya Buruh Harian Lepas (BHL) tanpa ikatan kerja.
Ketika pemerintah mendukung pengembangan sawit dengan alasan mengurangi pengangguran, maka bersiap-siaplah warga negara menjadi budak perkebunan. Artinya pemerintah menginginkan warga negaranya menjadi “sapi perahan” pengusaha. Kalau pandangan seperti ini dilanjutkan, ke depan rakyat akan menjadi budak dan pengemis di tanahnya sendiri. Mereka akan mengemis kepada “tuan-tuan” pemilik modal. Karena pengemis semakin menjamur, sang tuan pun mempunyai posisi tawar tinggi. Syarat agar rakyat diberi pekerjaan yakni; siap bekerja dengan upah rendah, tak boleh kritis, patuh dan taat kepada pengusaha, dan siap dipecat tanpa pesangon.
Sungguh benar pernyataan yang mengatakan bahwa sejarah perkebunan adalah sejarah penindasan. Yang tertindas adalah buruh. Sementara pengusaha “bermain mata” dengan pemerintah. Itu terbukti hingga hari ini. Dan pengusaha tidak menginginkan anak buruh menjadi cerdas, karena akan mengganggu kepentingannya. Anak buruh diupayakan akan tetap menjadi buruh. Maka sistem pendidikan pun tidak pernah berpihak kepada anak buruh. Dengan kata lain, perkebunan sawit tidak memakmurkan rakyat. Hanya menguntungkan si pemilik modal.
Sangat mengherankan, di saat negeri ini mengalami krisis pangan, perhatian pemerintah tercurah pada pengembangan sawit. Padahal perluasan perkebunan sawit dikhawatirkan akan mengurangi produksi pangan. Bagimana tidak, lahan yang seharusnya ditanami tanaman pangan, justru ditanami sawit. Akhirnya produksi pangan relatif tetap bahkan mengalami penurunan, sementara kebutuhan pangan selalu naik tiap tahunnya akibat pertumbuhan penduduk. Ujung-ujungnya terjadilah krisis pangan. Dan lagi-lagi pemerintah di negeri agraris ini mengimpor pangan dari negeri asing. Seharusnya persoalan panganlah yang menjadi prioritas pemerintah.
Selain itu, pembukaan perkebunan sawit sudah jelas-jelas merusak lingkungan. Hutan dirambah, lalu dibakar. Pembakaran lahan itu berkontribusi terhadap kerusakan lapisan ozon. Penggundulan hutan itu juga merusak ekosistem dan merusak irigasi. Jika dikalkulasikan, kerusakan lingkungan yang disebabkan pembukaan lahan dan perluasan perkebunan sawit sangat besar, bahkan bisa melebihi keuntungan ekonominya.
Dalam hal sosial-buudaya juga, perluasan perkebunan sawit seringkali menyebabkan konflik sosial. Konflik tersebut antara masyarakat (adat) dengan korporat, antara buruh dengan pengusaha, dan antara sesama masyarakat. Dan pihak keamanan dan preman tidak jarang melakukan tindakan represif terhadap masyarakat. Konflik itu bisa karena penggusuran, perebutan lahan, dan persoalan lainnya.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengkaji ulang dan menghentikan ekspansi perkebunan sawit. UU yang memuluskan kepentingan pemodal mengeksploitasi potensi alam di negeri ini, seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, hendaknya dicabut. Kita negara Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan segelintir orang (pengusaha). Sedangkan negara liberal sekali pun tidak selonggar itu membuat perundang-undangan yang membuka ruang penanaman modal asing di negerinya. 
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 2 April 2011)

1 komentar:

  1. KISAH NYATA..............
    Ass.Saya ir Sutrisno.Dari Kota Jayapura Ingin Berbagi Cerita
    dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
    saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
    saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
    internet dan menemukan nomor Ki Kanjeng saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya di kasih solusi,
    awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Kanjeng alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
    sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
    Kanjeng di nmr 085320279333 Kiyai Kanjeng,ini nyata demi Allah kalau saya tidak bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.

    KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
    BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!

    ((((((((((((DANA GHAIB)))))))))))))))))

    Pesugihan Instant 10 MILYAR
    Mulai bulan ini (juli 2015) Kami dari padepokan mengadakan program pesugihan Instant tanpa tumbal, serta tanpa resiko. Program ini kami khususkan bagi para pasien yang membutuhan modal usaha yang cukup besar, Hutang yang menumpuk (diatas 1 Milyar), Adapun ketentuan mengikuti program ini adalah sebagai berikut :

    Mempunyai Hutang diatas 1 Milyar
    Ingin membuka usaha dengan Modal diatas 1 Milyar
    dll

    Syarat :

    Usia Minimal 21 Tahun
    Berani Ritual (apabila tidak berani, maka bisa diwakilkan kami dan tim)
    Belum pernah melakukan perjanjian pesugihan ditempat lain
    Suci lahir dan batin (wanita tidak boleh mengikuti program ini pada saat datang bulan)
    Harus memiliki Kamar Kosong di rumah anda

    Proses :

    Proses ritual selama 2 hari 2 malam di dalam gua
    Harus siap mental lahir dan batin
    Sanggup Puasa 2 hari 2 malam ( ngebleng)
    Pada malam hari tidak boleh tidur

    Biaya ritual Sebesar 10 Juta dengan rincian sebagai berikut :

    Pengganti tumbal Kambing kendit : 5jt
    Ayam cemani : 2jt
    Minyak Songolangit : 2jt
    bunga, candu, kemenyan, nasi tumpeng, kain kafan dll Sebesar : 1jt

    Prosedur Daftar Ritual ini :

    Kirim Foto anda
    Kirim Data sesuai KTP

    Format : Nama, Alamat, Umur, Nama ibu Kandung, Weton (Hari Lahir), PESUGIHAN 10 MILYAR

    Kirim ke nomor ini : 085320279333
    SMS Anda akan Kami balas secepatnya

    Maaf Program ini TERBATAS .

    BalasHapus