Oleh: Jhon Rivel
Purba
Dalam
memperingati satu abad perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ada dua kubu yang
berbeda pandangan mengenai pengembangan sawit. Kubu pertama adalah pihak
pengusaha sawit, yakni Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Sedangkan kubu kedua adalah gabungan 35 lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Syukurlah,
Medan Bisnis sebagai harian ekonomi cukup independen, dan pemberitaannya
berimbang soal perbedaan pandangan tersebut. Dimana pada halaman pertama edisi
29 Maret 2011, dua berita besar ditampilkan. Berita tersebut berjudul “Industri
Sawit Masih Terhambat Black Campaign” dan “35 LSM Tolak 20 Juta Ha Perkebunan
Baru”. Dua judul berita ini mewakili pandangan dua kubu yang berbeda.
Kubu
LSM yang fokus pada permasalahan perkebunan, menolak wacana pemerintah dan
pengusaha, untuk membuka lahan baru perkebunan seluas 20 juta hektar. Penolakan
itu bukan tidak punya alasan. Alasan utamnya adalah karena pembukaan perkebunan
kelapa sawit tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru yang
tampak ke permukaan adalah konflik antara masyarakat (adat) dengan pengusaha,
upah buruh rendah, beban kerja berat, dan bahkan tanpa ada jaminan kerja.
Berbeda
dengan LSM, pihak pengusaha (Gapki) melihat perkebunan sawit dari aspek
ekonomi. Kontribusi kelapa sawit terhadap devisa negara yang mencapai US$ 14,1
miliar dan penyumbang terbesar kedua setelah migas, dijadikan sebagai alasan
perlunya pengembangan sawit di Tanah Air. Bagi mereka, penolakan sejumlah LSM
tersebut adalah kampanye negatif dan tidak benar. Bagaimanapun juga, logika
pengusaha adalah hitungan untung-rugi.
Tidak hanya
pengusaha, Ketua DPRD Sumut, Saleh Bangun, juga menyatakan bahwa sawit adalah
sahabat rakyat dan sudah terbukti memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
Seolah-olah pernyataan beliau itu mewakili suara rakyat, khususnya masyarakat
perkebunan di Sumut. Sementara bagi pemerintah, perkebunan sawit dinilai
menghasilkan pemasukan negara dan mengurangi pengangguran.
Kepentingan Siapa?
Tak
bisa dimungkiri, perkebunan sawit menghasilkan pemasukan negara yang cukup
besar. Tapi persoalannya, mampukah meningkatkan kesejahteraan rakyat? Apakah
perluasan perkebunan sawit sudah menjadi prioritas? Pernyataan pemerintah dan
pemilik modal bahwa perkebunan sawit adalah sahabat rakyat dan menyejahterkan
masyarakat, tidaklah benar. Pertanyaannya, masyarakat yang mana?
Memang,
tidak sedikit masyarakat yang makmur karena memiliki perkebunan sawit. Mereka
bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Mungkin masyarakat
seperti inilah yang dimaksud pemerintah dan pengusaha. Padahal, masyarakat
seperti ini adalah “tuan tanah” yang tidak bisa mewakili masyarakat Indonesia.
Mereka memiliki lahan yang luas, sehingga wajar bisa sejahtera.
Bagaimana dengan
mayoritas rakyat yang tidak memiliki lahan yang cukup? Sekitar 60 persen rumah
tangga petani adalah petani gurem, yakni petani yang hanya memiliki lahan
sekitar 0,5 hektar. Jika mereka ikut menanam sawit di tanah yang sempit, maka
siap-siaplah menunggu kesengsaraan. Sebab kalau pun sawitnya berbuah, itu tidak
akan cukup memenuhi kebutuhannya. Persoalannya, sawit yang ditanam tidak bisa
langsung berbuah. Butuh waktu beberapa tahun. Sang petani pun terpaksa menjadi
buruh, buruh kebun sawit.
Pada umumnya,
buruh kebun sawit hidup sengsara. Mereka menerima upah yang tak layak,
sementara beban dan resiko kerja sangat berat. Parahnya, perkebunan sudah
seperti negara dalam negara. Terjadi penindasan dengan sistem yang rapi dan mapan.
Salah satu contohnya adalah dengan adanya Buruh Harian Lepas (BHL) tanpa ikatan
kerja.
Ketika
pemerintah mendukung pengembangan sawit dengan alasan mengurangi pengangguran,
maka bersiap-siaplah warga negara menjadi budak perkebunan. Artinya pemerintah
menginginkan warga negaranya menjadi “sapi perahan” pengusaha. Kalau pandangan
seperti ini dilanjutkan, ke depan rakyat akan menjadi budak dan pengemis di
tanahnya sendiri. Mereka akan mengemis kepada “tuan-tuan” pemilik modal. Karena
pengemis semakin menjamur, sang tuan pun mempunyai posisi tawar tinggi. Syarat
agar rakyat diberi pekerjaan yakni; siap bekerja dengan upah rendah, tak boleh
kritis, patuh dan taat kepada pengusaha, dan siap dipecat tanpa pesangon.
Sungguh benar
pernyataan yang mengatakan bahwa sejarah perkebunan adalah sejarah penindasan.
Yang tertindas adalah buruh. Sementara pengusaha “bermain mata” dengan
pemerintah. Itu terbukti hingga hari ini. Dan pengusaha tidak menginginkan anak
buruh menjadi cerdas, karena akan mengganggu kepentingannya. Anak buruh
diupayakan akan tetap menjadi buruh. Maka sistem pendidikan pun tidak pernah
berpihak kepada anak buruh. Dengan kata lain, perkebunan sawit tidak
memakmurkan rakyat. Hanya menguntungkan si pemilik modal.
Sangat
mengherankan, di saat negeri ini mengalami krisis pangan, perhatian pemerintah
tercurah pada pengembangan sawit. Padahal perluasan perkebunan sawit
dikhawatirkan akan mengurangi produksi pangan. Bagimana tidak, lahan yang
seharusnya ditanami tanaman pangan, justru ditanami sawit. Akhirnya produksi
pangan relatif tetap bahkan mengalami penurunan, sementara kebutuhan pangan
selalu naik tiap tahunnya akibat pertumbuhan penduduk. Ujung-ujungnya
terjadilah krisis pangan. Dan lagi-lagi pemerintah di negeri agraris ini
mengimpor pangan dari negeri asing. Seharusnya persoalan panganlah yang menjadi
prioritas pemerintah.
Selain itu,
pembukaan perkebunan sawit sudah jelas-jelas merusak lingkungan. Hutan
dirambah, lalu dibakar. Pembakaran lahan itu berkontribusi terhadap kerusakan
lapisan ozon. Penggundulan hutan itu juga merusak ekosistem dan merusak
irigasi. Jika dikalkulasikan, kerusakan lingkungan yang disebabkan pembukaan
lahan dan perluasan perkebunan sawit sangat besar, bahkan bisa melebihi
keuntungan ekonominya.
Dalam hal
sosial-buudaya juga, perluasan perkebunan sawit seringkali menyebabkan konflik
sosial. Konflik tersebut antara masyarakat (adat) dengan korporat, antara buruh
dengan pengusaha, dan antara sesama masyarakat. Dan pihak keamanan dan preman
tidak jarang melakukan tindakan represif terhadap masyarakat. Konflik itu bisa
karena penggusuran, perebutan lahan, dan persoalan lainnya.
Oleh sebab itu,
pemerintah perlu mengkaji ulang dan menghentikan ekspansi perkebunan sawit. UU
yang memuluskan kepentingan pemodal mengeksploitasi potensi alam di negeri ini,
seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, hendaknya
dicabut. Kita negara Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia, bukan kesejahteraan segelintir orang (pengusaha). Sedangkan negara
liberal sekali pun tidak selonggar itu membuat perundang-undangan yang membuka
ruang penanaman modal asing di negerinya.
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 2 April 2011)
KISAH NYATA..............
BalasHapusAss.Saya ir Sutrisno.Dari Kota Jayapura Ingin Berbagi Cerita
dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
internet dan menemukan nomor Ki Kanjeng saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya di kasih solusi,
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Kanjeng alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
Kanjeng di nmr 085320279333 Kiyai Kanjeng,ini nyata demi Allah kalau saya tidak bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.
KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!
((((((((((((DANA GHAIB)))))))))))))))))
Pesugihan Instant 10 MILYAR
Mulai bulan ini (juli 2015) Kami dari padepokan mengadakan program pesugihan Instant tanpa tumbal, serta tanpa resiko. Program ini kami khususkan bagi para pasien yang membutuhan modal usaha yang cukup besar, Hutang yang menumpuk (diatas 1 Milyar), Adapun ketentuan mengikuti program ini adalah sebagai berikut :
Mempunyai Hutang diatas 1 Milyar
Ingin membuka usaha dengan Modal diatas 1 Milyar
dll
Syarat :
Usia Minimal 21 Tahun
Berani Ritual (apabila tidak berani, maka bisa diwakilkan kami dan tim)
Belum pernah melakukan perjanjian pesugihan ditempat lain
Suci lahir dan batin (wanita tidak boleh mengikuti program ini pada saat datang bulan)
Harus memiliki Kamar Kosong di rumah anda
Proses :
Proses ritual selama 2 hari 2 malam di dalam gua
Harus siap mental lahir dan batin
Sanggup Puasa 2 hari 2 malam ( ngebleng)
Pada malam hari tidak boleh tidur
Biaya ritual Sebesar 10 Juta dengan rincian sebagai berikut :
Pengganti tumbal Kambing kendit : 5jt
Ayam cemani : 2jt
Minyak Songolangit : 2jt
bunga, candu, kemenyan, nasi tumpeng, kain kafan dll Sebesar : 1jt
Prosedur Daftar Ritual ini :
Kirim Foto anda
Kirim Data sesuai KTP
Format : Nama, Alamat, Umur, Nama ibu Kandung, Weton (Hari Lahir), PESUGIHAN 10 MILYAR
Kirim ke nomor ini : 085320279333
SMS Anda akan Kami balas secepatnya
Maaf Program ini TERBATAS .