Oleh: Jhon Rivel Purba
Nak, bangunlah dari mimpimu
karena mimpi palsu tak akan membebaskanmu
mimpi hanyalah obat penenang sementara
menenangkanmu dari lapar dan sengsara
nak, mari bergegas kembali mencari sesuap nasi
pengganjal sejengkal perut melawan mati
kita tak punya pilihan hidup lagi
selain berlari mengejar yang tak pasti
nak, maafkan ibu memaksamu ikut bekerja
mengumpulkan brondolan di perkebunan
kelapa sawit ini
kau ikut menumpahkan butir-butir keringat dan darah
demi recehan-recehan dari si tuan kebun
nak, dulunya tanah perkebunan ini milik kita
tapi kita tergusur dan kini dijadikan buruh lepas
aku tak mengerti mengapa itu bisa terjadi
kita yang kecil selalu salah di depan hukum
nak, usiamu masih muda, baru tujuh tahun
seharusnya kau belajar dan bermain dengan mereka
tapi kau terpaksa memikul beban
seberat ini
atas keterpaksaan hidup yang tak kita
inginkan
nak, tak perlu kau menangisi seseorang yang
hilang
ayahmu telah pergi ke tempat yang tak kita tahu
berhentilah menangis dan hapus air
matamu
sudah begitu banyak air mata mengalir
dihisap sawit ini
nak, matahari sudah sangat panas
mari berteduh
sambil menikmati nasi sayur
tak
usah dulu ingat utang kita pada majikan
untuk
membeli beras yang semakin mahal harganya
nak,
mari kita bekerja keras lagi
mengumpulkan
brondolan-brondolan itu
sebelum
kita pulang ke gubuk
di mana kita bisa sejenak bermimpi
nak,
besok kita akan tetap ke kebun sawit
karena
tahun ini kau tak bisa sekolah
mungkin selamanya kau tak bisa sekolah
sebab
daun sawit tak bisa disulap jadi uang
nak,
nasib kita sama
nanti kau
akan tetap menjadi buruh lepas
mengikuti
jejak ibumu
yang kurus ini
membayar
utang-utang kita yang makin menumpuk
(Yogyakarta, 3 Agustus 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar