Jumat, 25 Oktober 2013

PLN Bersih dan Terang



            Bercermin dari sejarah, pengusahaan listrik di Nusantara sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, yaitu pada tahun 1890-an. Hal itu diatur dalam Ordonansi 13 September 1890 tentang pemasangan dan penggunaan saluran penerangan listrik. Pada mulanya listrik digunakan  untuk kepentingan perkebunan dan melayani golongan elit Belanda, tetapi seiring terbangunnya perusahaan-perusahaan listrik swasta, maka perusahaan listrik kemudian melayani keperluan publik yang bertarif mahal dan tentu hanya bisa dinikmati kalangan atas.
            Selanjutnya di zaman pendudukan Jepang (1942-1945), perusahaan-perusahaan listrik diambil alih Jepang. Pada masa ini juga dilakukan pembangunan proyek kelistrikan dengan cara kerja paksa (romusha). Namun, sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, semua perusahaan listrik termasuk swasta dikuasai oleh Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 1945 Nomor 1 /S.D tanggal 27 Oktober 1945. Makanya, setiap tanggal 27 Oktober diperingati sebagai hari listrik nasional.
            Sejak saat itu, kelistrikan kita dikelola oleh negara yang terus berkembang menerangi negeri ini. Ada tiga era kelistrikan kita, yaitu era jawatan (1945-1972), era perusahaan umum (1972-1994), dan era perseroan (1994 hingga sekarang). Era perseroan ditandai dengan pemberian wewenang penuh kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam mengelola kelistrikan. 
68 Tahun
            Tahun ini, PT PLN (Persero) sudah berusia 68 tahun, setua usia kemerdekaan Indonesia. Tidak bisa dimungkiri bahwa PLN telah banyak memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini ikut serta meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada umumnya, serta mendorong pertumbuhan ekonomi pada khususnya. Artinya, PLN telah ikut mendukung pembangunan nasional.
            Berbagai kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup bisa tercapai dengan adanya listrik. Bahkan, selalu diupayakan agar listrik bisa menjangkau masyarakat keseluruhan, termasuk di pelosok desa. Dengan demikian, aspek kehidupan seperti pendidikan dan ekonomi masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Sadar atau tidak, di era sekarang ini, listrik telah menjadi kebutuhan pokok umat manusia. Oleh sebab itu, PLN terus bergerak berjuang memberikan pelayanannya.
            Di sisi lain, berbagai keluhan dan protes dari masyarakat khususnya konsumen terhadap kinerja PLN menunjukkan bahwa BUMN ini memiliki keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan. Keluhan dari masayarakat itu pada umumnya adalah persoalan pemadaman listrik dan pelayanan PLN. Hal inilah yang menjadi tugas rumah PLN ke depan.
            Jika diibaratkan dengan manusia, usia 68 tahun adalah usia pensiun. Kurang produktif, mulai lemah, dan pikun. Tapi masyarakat berharap agar PLN tidak seperti itu. Justru sebaliknya, PLN semakin bangkit dengan kekuatan yang lebih besar. Berjuang menjadi perusahaan berkelas dunia yang bertumbuh, unggul, bersih, dan terpercaya.
Persoalan Kini
            Persoalan yang dihadapi PLN saat ini adalah kebutuhan akan tenaga listrik yang meningkat drastis, sementara harga bahan bakar minyak (BBM) terus naik. Kenaikan BBM pada waktu yang lalu, tentu menambah subsidi yang harus diberikan PLN dan pemerintah kepada publik. Peningkatan kebutuhan listrik tidak mampu diimbangi PLN karena terbatas menambah pembangkit.
            Dari perkiraan PLN, kebutuhan investasi di sektor kelistrikan setiap tahunnya adalah sebesar 9,7 miliar dollar AS. Kebutuhan itu untuk menambah pembangkit listrik, transmisi, dan distribusi di seluruh wilayah Indonesia (Kompas, 7/9/2010). Keterbatasan PLN membangun pembangkit baru menyebabkan krisis pasokan listrik. Krisis pasokan listrik ini membuat PLN terpaksa menerapkan pemadaman bergilir. Pemadaman bergilir ini tentu menghambat aktivitas dan merugikan ekonomi. 
             Persoalan lain yang dihadapi PLN adalah pencurian listrik dan aset PLN. Satu langkah baik ketika pihak PLN membuat nota kesepahaman dengan pihak kepolisian yang tertuang dalam pedoman kerja antara PT PLN (Persero) dengan kepolisisan Negara Republik Indonesia ( No. PLN: 004.E /DIR/2009 dan No. POL. : B/2/II/2009) Tentang Pengamanan Instalasi, Aset dan penegakan hukum Tindak Pidana Pencurian Tanaga Listrik Serta Tindak Pidana Usaha Ketenagalistrikan Di Lingkungan PT PLN (Persero). Meskipun demikian, pencurian listrik dan aset PLN masih tetap ada. Selain itu, pemerintah daerah (Pemkab) dan masyarakat belum banyak yang bisa diajak bergandeng tangan mengatasi krisis listrik. Seolah-olah masalah krisis listrik adalah masalah PLN.
PLN Bersih
            Tugas PLN ke depan memang semakin berat. Tantangan dan hambatannya juga semakin besar. Sebab, PLN tidak hanya bertugas menyedikan listrik, tetapi lebih dalam lagi yaitu ikut menerangi dan memajukan bangsa. Dalam melaksanakan tugas, PLN harus bersih terlebih dahulu. 

            Untuk mencapai PLN bersih, maka harus dimulai dari pembenahan internal PLN. Reputasi dan citra PLN sebagai perusahaan milik negara ditentukan oleh kemampuan perusahaan melayani kepentingan publik dengan bersifat cepat tanggap, rasional, tepat janji, dan bertanggung jawab. Untuk mencapai itu dibutuhkan kepemimpinan yang mampu menciptakan iklim kerja yang menggairahkan dengan penuh semangat pengabdian. Juga bersih dari segala bentuk praktik korupsi dan penyelewengan.
            Para pegawai PLN dan anak perusahaannya, perlu dibekali keterampilan dan kejujuran, sehingga mampu bekerja maksimal sesuai dengan posisinya. Untuk itu, dalam proses perekrutan masa yang akan datang kiranya merekrut anak negeri yang terampil dan produktif. Dan yang terutama adalah orang-orang yang berkarakter, jujur, berkomitmen, dan mengutamakan PLN.
            Sampai saat ini, masih banyak masyarakat yang kecewa dengan kinerja pelayanan PLN. Apalagi sikap PLN yang terkesan eksklusif. Di sinilah dibutuhkan keterbukaan melalui komunikasi kepada publik, sehingga bisa saling memahami. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar masyarakat mendukung PLN bersih. Agar masyarakat juga merasa bahwa PLN itu adalah milik dan bagian dari hidup mereka. Pemahaman yang seperti ini akan melahirkan keterbebanan, kebersamaan untuk membangun PLN bersih.
            Metode merangkul masyarakat ini bisa dilakukan melalui penyuluhan kelistrikan, kampanye hemat listrik, dan pendekatan pelayanan (stewardship). Penyuluhan kelistrikan itu bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga pendidikan tinggi, tokoh masyarakat, dan  blogger.
Peran Blogger
            Dengan perkembangan komunikasi dan informasi yang makin canggih ini, blogger memiliki posisi yang strategis dalam mendukung PLN bersih. Posisi blogger berada di antara masyarakat dan PLN. Lewat tulisannya, para blogger bisa menjadi penyambung aspirasi masyarakat khususnya menyangkut pelayanan PLN. Melalui tulisan juga, para blogger bisa mengawasi kinerja PLN secara konstruktif dan memberikan masukan-masukan demi terwujudnya PLN bersih. Harapannya adalah agar PLN bersih dan terang. 

 

Kamis, 30 Mei 2013

Meredupnya Gerakan (Mahasiswa) Kritis

Oleh: Jhon Rivel Purba

Sepertinya gerakan mahasiswa saat ini sudah mulai meredup. Suara-suara kritis di jalanan sudah jarang terdengar. Padahal, persoalan bangsa semakin besar. Dalam bidang politik dan hukum misalnya, persoalan korupsi dan mandulnya penegakan hukum merupakan persoalan mendasar. Sementara dalam bidang ekonomi ditandai dengan ketidakberdayaan rakyat memenuhi kebutuhan hidupnya. Belum lagi dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan segala aspek kehidupan berbangsa ditandai dengan segudang persoalan. Lantas, dimana peran mahasiswa yang katanya sebagai agent of change dan agent of social control?
Kalau kita amati akhir-akhir ini, suara kritis justru datang dari masyarakat biasa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) .  Misalnya suara penolakan gedung baru DPR dan kritikan terhadap pemerintahan SBY-Boediono, lebih sering disuarakan masyarakat biasa. Timbul pertanyaan, ada apa dengan gerakan mahasiswa sekarang ini?
Faktor Penyebab
            Kalau dianalisis, banyak faktor penyebab tumpulnya taring gerakan mahasiswa. Antara lain; masa studi yang makin cepat, gerakan yang tidak terkonsolidasi, organisasi kemahasiswaan yang bermuara pada kepentingan segelintir orang, terkontaminasi dengan kepentingan politik internal maupun eksternal kampus, tekanan dari pihak kampus, dan terjebak dengan kemajuan teknologi informasi.
            Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah membatasi masa studi mahasiswa. Jika masa studi telah berakhir namun mahasiswa belum menyelesaikan perkuliahannya, maka mahasiswa tersebut harus siap-siap dikeluarkan dari kampus tersebut. Pada umumnya masa studi mahasiswa di PTN berkisar anatara 4-7 tahun. Bahkan untuk menamatkan jenjang sarjana, tidak sedikit mahasiswa menempuhnya hanya 3-4 tahun.
            Kondisi demikian menyebabkan mahasiswa fokus mencari nilai yang tinggi, berupaya cepat tamat, dan berharap cepat mendapatkan pekerjaan. Segala hal yang menghambat tujuan tersebut akan dihilangkan, termasuk berorganisasi. Banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa organisasi akan mengganggu perkuliahan. Kalau pun ikut berorganisasi, maka organisasi yang diikuti adalah organisasi yang mendukung nilai dan cepat tamat. Sehingga, organisasi yang sifatnya kritis sudah mulai jarang diminati mahasiswa.
            Pembatasan masa studi tersebut lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Mahasiswa diarahkan menjadi robot-robot yang mengikuti arus kebijakan pasar. Memang sistem pendidikan kita telah berorientasi pasar, yakni mahasiswa adalah produk dan kampus adalah mesin penghasil produk. Mahasiswa sebagai produk akan diserahkan kepada pasar. Sistem seperti ini secara tidak langsung melemahkan gerakan mahasiswa. Karena sistem pasar tidak pernah menginginkan suara-suara kritis.
            Kalau pun ada oragnisasi yang kritis, sangat sulit menyatukan sikap dengan organisasi kritis yang lain, meskipun perjuangannya sama yakni memperjuangkan rakyat. Hal ini terjadi karena sudah ada saling mencurigai dengan kelompok lain, apalagi hal yang dikritisi adalah isu politik. Tidak terkonsolidasinya gerakan ini tidak terlepas dari tidak adanya isu yang dijadikan sebagai perjuangan bersama.
Berbeda dengan gerakan mahasiswa pada 1966 dan 1998 yang mempunyai isu bersama yakni menjatuhkan pemerintah yang berkuasa karena dinilai telah melanggar konstitusi. Gerakan mahasiswa itu pun bisa bisa bersatu karena situasi politik dan ekonomi pada masa itu sedang kacau sehingga hal yang diinginkan adalah perubahan.
Sedangkan sekarang, organisasi-organisasi mahasiswa tampaknya hanya sibuk bersaing menanamkan pengaruh di kampus. Hanya saja yang paling menonjol adalah eksistensi dan kepentingan, bukan perjuangan. Misalnya pada momen penyambutan mahasiswa baru tampak jelas “persaingan” mencari kader-kader baru. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa organisasi mahasiswa telah kesulitan mencari kader baru.
            Dalam demokrasi di kampus melalui pemilihan presiden mahasiswa (tingkat universitas), gubernur mahasiswa (tingkat fakultas), dan ketua himpunan mahasiswa (tingkat jurusan/departemen), yang tampak adalah kepentingan segelintir orang dan kepentingan organisasi tertentu, termasuk organisasi ekstra kampus. Maka tidak mengherankan, organisasi kemahasiswaan di kampus, katakanlah senat mahasiswa, nihil dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa itu sendiri.
            Parahnya, jabatan-jabatan sebagai senat mahasiswa hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Misalnya, meningkatkan posisi tawar untuk memperoleh beasiswa, membuat proyek-proyek kegiatan, dan kegiatan yang tak ada hubungannya dengan aspirasi mahasiswa. Sialnya, senat mahasiswa ini bisa “dibeli” dan dijinakkan oleh pihak birokrasi kampus.
            Mahasiswa menjadi terkotak-kotak karena saling menonjolkan eksistensi organisasi masing-masing dan terkontaminasi dengan kepentingan birokrasi kampus maupun eksternal kampus. Ini jelas-jelas merugikan mahasiswa secara keseluruhan. Kondisi ini juga melahirkan mahasiswa yang apatis terhadap organisasi mahasiswa, persoalan kampus, dan bangsa.
            Tekanan dari pihak kampus juga membatasi ruang gerakan mahasiswa. Misalnya dengan melarang menempelkan selebaran penyadaran di tembok-tembok kampus, melarang diskusi-diskusi kritis di dalam kampus, melarang mimbar bebas dan aksi demonstrasi di dalam kampus. Padahal, konstitusi memberikan kebebasan bersuara dan berserikat kepada semua warga negara. Namun, kampus sebagai tempat melahirkan calon-calon pemimpin bangsa justru membatasi kebebasan bersuara tersebut.
            Hampir semua kampus membatasi mahasiswa menyampaikan sura kritisnya. Satpam, pegawai, dan mahasiswa “kaki tangan” birokrasi kampus, bahkan preman, dijadikan sebagai tembok penghambat gerakan mahasiswa kritis di kampus. Mahasiswa yang kritis akan ditekan. Ada juga mahasiswa yang dijadikan sebagai “mata-mata” untuk mengawasi mahasiswa yang dianggap berbahaya.
            Terakhir, gerakan mahasiswa semakin redup ketika banyak mahasiswa terjebak dengan kemajuan teknologi. Misalnya jejaring sosial seperti facebook, dan permainan game online, membuat mahasiswa asyik dengan dirinya sendiri dan kurang peduli dengan kehidupan sekelilingnya. Ditambah lagi budaya instan yang berkontribusi terhadap lemahnya gerakan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang menjadikan pusat perbelanjaan dan hiburan sebagai rumah kedua. Sementara “berkunjung” ke desa-desa, pemukiman kumuh, daerah bencana alam, dan tempat-tempat orang miskin, adalah hal yang sudah jarang dilakukan mahasiswa.
            Apa yang terjadi dengan bangsa ini ke depan jika mahasiswa yang katanya sebagai agent of socia control; pada kenyataannya apatis, hedonis, dan pragmatis? Apa yang terjadi jika mahasiswa hanya menjadi alat penguasa dan milik pemodal? Jawabannya sudah pasti bangsa ini akan semakin terpuruk. Lantas, bagaimana menyalakan gerakan mahasiswa kritis? Itulah yang perlu dipikirkan oleh mahasiswa secara kritis dan kreatif. Hidup mahasiswa!           

(Dimuat di Harian Analisa, 18 Mei 2011)

Petani Kita Semakin Terjepit

Oleh: Jhon Rivel Purba

Tak ada yang bisa membantah bahwa tanah kita sangat subur. Saking suburnya, tanah kita disebut tanah surga. Kesuburan tanah negeri ini menghasilkan komoditas penting bagi dunia. Tanah kita menghasilkan biji-bijian terbesar nomor 6 di dunia, penghasil teh terbesar nomor 6, penghasil kopi nomor 4, penghasil cokelat nomor 3, penghasil sawit (CPO) nomor 2, penghasil lada putih nomor 1, penghasil lada hitam nomor 2, penghasil puli dari buah pala nomor 1, penghasil karet alam nomor 2, penghasil sintetik nomor 4, penghasil kayu lapis nomor 1 di dunia (Global Justice Update, Edisi 2 Juli 2008). Masalahnya apakah kesuburan tanah itu sejalan dengan kesejahteraan petani?
Jika tanah tersebut dikelola dengan baik dan bijak, maka hasilnya adalah kesejahteraan petani dan swasembada pangan. Namun kenyataan berkata lain, kemiskinan petani dan krisis panganlah yang terjadi.
            Mayoritas orang miskin di negeri ini adalah masyarakat pedesaan yang berprofesi sebagai petani. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, sebanyak 64,23 persen dari 31,02 juta penduduk miskin dengan pengeluaran di bawah Rp 211.726 per orang per bulan berada di pedesaan. Jumlah penduduk miskin terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur (5,53 juta orang), Jawa Tengah (5,37 juta orang), dan Jawa Barat (4,77 juta orang). Sementara di Sumatera Utara, jumlah penduduk miskin sebanyak 1,49 juta jiwa.
Barangkali karena petani identik dengan kemiskinan, sangat jarang generasi muda bercita-cita menjadi petani atau mengembangkan pertanian. Bahkan anak petani sendiri yang cukup mengenal pertanian, berusaha tidak mengikuti jejak orangtuanya sebagai petani.
Lebih parahnya, kebanyakan sarjana-sarjana pertanian tidak mau menjadi petani mengembangkan pertanian rakyat. Semua berlomba-lomba menjadi pegawai negeri sipil (PNS), bekerja di perkebunan swasta/nasional, dan sektor-sektor yang tidak berhubungan dengan pertanian.
            Di sisi lain, sungguh memalukan di negeri agraris ini. Bagaimana tidak, kita selalu berhadapan dengan krisis pangan, kelaparan, dan kurang gizi. Ujung-ujungnya adalah impor pangan.
Semakin Terjepit
            Kenaikan harga pangan, biaya pendidikan, dan biaya kesehatan, semakin menjepit petani. Pengeluaran semakin besar, sementara penghasilan relatif tetap bahkan menurun. Bagi petani, tidak banyak pilihan untuk menyiasati persoalan ini. Hanya dua yakni, mencari penghasilan tambahan dan atau mengurangi pengeluaran. Penghasilan tambahan bisa dari beternak. Tapi banyak dari petani hanya sebagai pemelihara ternak, bukan pemilik ternak.
            Meskipun petani sudah berusaha dan bekerja keras mencari tambahan, tapi masih kewalahan memenuhi kebutuhan dasar. Jalan terakhir hanya mengurangi jatah makan, mengorbankan pendidikan anak, dan mengesampingkan kesehatan. Dalam pemenuhan sejengkal perut misalnya, sering orangtua memarahi anaknya karena dinilai terlalu banyak memasak nasi, padahal secara logika masih kurang. Atau sesama anak petani sering bertengkar gara-gara saling berebut nasi. Itu nyata terjadi di pedesaan.
            Menyangkut pendidikan anak, semakin banyak petani kewalahan akibat biaya pendidikan yang semkain mahal. Sangat menyedihkan, tidak sedikit anak petani menangis meminta uang sekolah, tapi orangtua tak bisa berbuat banyak. Bantuan pemerinatah berupa dana bantuan operasional sekolah (BOS) tidak bisa menyentuh persoalan ini. Karena dana BOS ini juga rentan diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Maka tidak heran, banyak anak petani yang putus sekolah karena keterbatasan dana.
Penulis sering mendengar ucapan beberapa orangtua di pedesaan, bahwa mereka sangat bersyukur kalau sudah bisa menamatkan anaknya hingga sekolah menengah atas (SMA). Alasan mereka adalah anak tersebut sudah siap merantau. Lantas, bisakah anak petani miskin mengecap pendidikan di perguruan tinggi? Rasanya itu seperti jauh panggang dari api. Apalagi mengingat biaya pendidikan semakin tinggi akibat komersialisasi pendidikan. Tidak mungkin petani yang berpenghasilan Rp 1.000.000 per bulan sanggup menguliahkan anakanya ke lembaga pendidikan tinggi. Jika anak petani tidak bisa mengecap pendidikan layak dan bermutu, maka ruang kebangkitan petani semakin sempit. Kemiskinan akan melahirkan kemiskinan.
Lain lagi dalam kesehatan. Petani miskin enggan berobat ke rumah sakit selama penyakit itu masih bisa ditahankan. Paling-paling mengandalkan obat tradisional yang bisa terjangkau dan tidak memerlukan biaya besar. Barangkali si miskin harus mampu menahan rasa sakit.
Dari persoalan tersebut timbul tiga pertanyaan. Apakah petani miskin dilarang kenyang? Apakah petani miskin dilarang sekolah? Dan apakah petani miskin dilarang sakit? Bagi politisi busuk, persolan ini merupakan komoditas politik untuk menggemukkan dan membuncitkan diri. Mereka menjawabnya dengan janji-janji perubahan.
Akar Persoalan
            Setidaknya ada dua akar persoalan sehingga petani semakin terjepit. Pertama, persoalan lahan. Separuh dari jumlah rumah tangga petani Indonesia adalah petani gurem, yakni petani yang memiliki luas lahan hanya sekitar 0,5 hektar atau di bawahnya. Sangat mengherankan, puluhan juta petani hanya memiliki lahan seluas itu, sementara ada orang yang memiliki tanah beribu-ribu hektar. Sangat tidak adil. Bagaimanapun juga, tidak mungkin petani bisa hidup sejahtera tanpa lahan yang cukup.
            Selain itu, penggusuran lahan petani dengan mengatasnamakan hukum dan pembangunan, serta sengketa tanah antara petani dengan pengusaha,  semakin membuat petani terpukul. Petani diusir dari lahan yang selama ini menghidupi mereka.
            Kedua, kurangnya perlindungan dan dukungan. Minusnya perlindungan dan dukungan dari pemerintah terhadap petani tampak jelas dari pembangunan pertanian yang setengah hati. Di satu sisi pemerintah selalu membahas persolan pangan, tetapi di sisi lain pemerintah menelantarkan petani. Padahal tidak mungkin pertanian maju tanpa perlindungan dan dukungan terhadap petani. Melindungi petani sama dengan melindungi pertanian kita.
            Mudahnya produk pertanian asing memasuki pasar domestik merupakan salah satu contoh kurangnya perlindungan terhadap produk pertanian kita. Negara asing yang memberikan subsidi penuh terhadap petaninya, tentu kalah bersaing dengan petani Indonesia yang dianaktirikan. Lihatlah, petani kita masih kewalahan dalam membeli bibit unggul, pupuk dan obat-batan, irigasi, dan pemasaran hasil pertanian.
            Belum lagi bila berhadapan dengan cuaca yang tak menentu, serangan hama wereng, tikus, dan banjir. Itu menjadi ancaman penurunan hasil panen bahkan bisa gagal panen. Lagi-lagi, petani makin terjepit.
            Petani sepertinya tak tahu lagi dimana tempat mengadu. Mengadu kepada pemerintah rasanya sia-sia, paling-paling diberikan beras untuk orang miskin (raskin). Padahal itu bukan solusi menjawab persoalan. Mengadu kepada para wakil rakyat pun tampaknya tak didengarkan. Sebab para wakil rakyat sudah ditulikan harta, kekuasaan, dan kepentingan partainya. Lagian mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan berasal dari rakyat, melainkan wakil pengusaha dan pro-modal. Tidak ada yang berasal dari petani dan yang peduli petani.
            Lantas, sampai kapan petani kita terjepit? Siapakah yang akan membebaskan petani dari belenggu ketidakberdayaan?

(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 10 Mei 2011)

Koruptor: Tikus (Berdasi) Paling Membahayakan

Oleh: Jhon Rivel Purba

            Rusaknya tanaman padi karena digerogoti tikus merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh banyak petani. Semakin banyak tikus menggerogoti tanaman padi tersebut, maka semakin sedikitlah hasil panen yang didapatkan. Lebih parahnya bisa terjadi kegagalan panen. Kalau pun panen, tikus-tikus masih mencoba mencuri hasil panen petani hingga ke lumbung padi.
            Demikian juga praktik korupsi yang dilakukan para koruptor (tikus berdasi) merupakan masalah besar di negeri ini. Semakin banyak koruptor dan semakin besar uang rakyat yang digerogoti, maka semakin jauhlah harapan menciptakan masyarakat adil dan makmur. Yang tercipta hanyalah kemiskinan, kesengsaraan, dan penderitaan rakyat. Negara ini pun menuju negara gagal.
            Sudah barang tentu rakyat kecewa dan menyesal telah memilih kepala daerah yang ternyata adalah koruptor. Nasi telah menjadi bubur, demikian kata pepatah. Masyarakat hanya bisa gigit jari menyaksikan kebohongan tikus berdasi. Sebab tikus sudah lupa janjinya saat kampanye yang menjanjikan perubahan. Akhirnya perubahan yang selama ini dinanti-nantikan rakyat hanyalah khayalan belaka.
            Hingga kini setidaknya ada 150 dari 524 kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia yang bermasalah dengan hukum karena kasus korupsi (Medan Bisnis, 1/3/2011). Artinya sekitar 30 persen kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) di negeri ini bermasalah dengan hukum. Di Sumatera Utara (Sumut) sendiri, sebagai provinsi terkorup di Indonesia, setidaknya ada tiga kepala daerah yang sedang menghadapi kasus hukum. Mereka adalah Gubernur Sumut Syamsul Arifin, Walikota Medan Rahudman Harahap, dan Bupati Nias Binahati Baeha. Tentu masih banyak lagi kepala daerah yang akan menyusul.
Sangat Berbahaya
            Koruptor lebih berbahaya daripada teroris, pembunuh, perampok, dan pelaku kriminal lainnya. Koruptor bisa membunuh jutaan rakyat secara pelan tapi pasti. Koruptor membuat negara ini tak berdaya menghadapi berbagai krisis. Koruptor menjadikan rakyat menjadi pengemis dan budak di negeri sendiri. Koruptor menyebabkan utang negara semakin menumpuk. Jika dikalkulasikan, maka sungguh besar dampak negatif dari berkeliarannya para koruptor di tanah air tercinta ini.
            Terasa aneh ketika negara kesulitan menangkap dan mengadili para koruptor. Kalau pun ada yang diadili, bisa dipastikan hukumannya ringan. Lebih ringan hukuman bagi koruptor yang mencuri uang negara miliaran rupiah daripada hukuman bagi  orang yang terbukti mencuri sekarung beras. Hukuman bagi koruptor semakin ringan karena diberikan remisi, pembebasan bersyarat, dan perlakukan istimewa di dalam penjara. Betulkah negara ini diatur oleh orang yang punya uang (koruptor)? Ada apa dengan semua ini? Bukankah mereka yang telah menyebabkan kehancuran bangsa ini?
            Barangkali sistem di negara ini sudah “penyakitan” karena kena virus korupsi. Bahkan hampir semua lembaga/institusi, termasuk lembaga penegak hukum terkena virus korupsi. Sehingga para koruptor leluasa menghisap uang rakyat sebanyak-banyaknya selagi masih ada kesempatan. Tidak ada ketakutan dan efek jera bagi koruptor. Hal inilah yang membuat tikus berdasi ini semakin “buncit”.
            Masyarakat yang berpandangan bahwa ukuran kesuksesan seseorang dilihat dari seberapa besar harta yang dimiliki, menempatkan koruptor sebagai orang yang dianggap suskes, terlepas dari mana harta tersebut didapatkan. Orang-orang yang mempunyai banyak harta mendapat perlakukan khusus dibandingkan dengan orang miskin. Orang yang kaya dari hasil korupsi pun begitu sangat dihormati di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat cenderung mendekatkan diri kepada mereka. Perlakuan sebagian masyarakat yang “ramah” terhadap para koruptor tersebut membuat koruptor lupa “daratan”. Yang lebih mengherankan, koruptor yang sudah terbukti bersalah pun, masih mendapat dukungan dari sebagian masyarakat. Ketika koruptor ini keluar dari penjara, sebagian masyarakat juga menyambutnya dengan suka cita, seolah-olah koruptor ini adalah pahlawan bagi mereka. Ini merupakan perlakuan yang keliru.
Lawan Koruptor
            Lemahnya penegakan hukum dan perlakuan istimewa terhadap koruptor, adalah penyebab menjamurnya tikus-tikus berdasai ini. Lihatlah, mayoritas koruptor yang terbukti bersalah hanya dihukum satu sampai dua tahun. Oleh sebab itu, selain menegakkan hukum, mengubah pandangan dan sikap terhadap koruptor patut diubah. Perlu ditekankan bahwa koruptor adalah penjahat paling berbahaya di muka bumi ini. Koruptorlah yang telah menyebabkan bangsa ini terus terpuruk. Karena koruptor berbahaya, maka harus dilawan bersama dengan tidak memberikan ruang kepada tikus berdasi. Koruptor harus diasingkan dari ruang politik. Tempat yang pantas bagi koruptor adalah penjara.
            Bagaimanapun juga harus diberikan efek jera terhadap pelaku praktik korupsi supaya takut melakukan kecurangan. Masalahnya, mungkinkah hukuman berat diberikan kepada koruptor jika aparat penegak hukum sendiri terlibat? Sambil menunggu reformasi di tubuh lembaga penegak hukum, masyarakat juga bisa berperan melawan koruptor dengan tidak memilihnya menjadi pemimpin (eksekutif maupun legislatif) dan pengurus organisasi kemasyarakatan. Selain itu, masyarakat juga hendaknya mengawasi roda pemerintahan agar berjalan sesuai dengan jalur konstitusi.
Pendidikan Antikorupsi
            Selanjutnya dalam meredam lahirnya koruptor-koruptor baru, peran lembaga pendidikan sangat dinantikan. Jangan sampai generasi muda terkontaminasi dengan perilaku tikus berdasi. Jejak-jejak tikus berdasi tak layak diikuti. Karena bangkit tidaknya negeri ini ditentukan oleh generasi muda. Jika generasi muda yang tercipta adalah pengagum harta dan kekuasaan, maka hanya akan menyuburkan praktik-praktik korupsi. Pertanyaannya, bisakah lembaga pendidikan menghasilkan generasi berkarakter?
Terkadang ada pesimisme mengingat departemen pendidikan juga merupakan departemen terkorup di Indonesia. Padahal departemen inilah yang diharapkan menghasilkan manusia cerdas, berkepribadian, berbudi pekerti, dan mandiri. Tapi apa lacur, justru tidak sedikit kebijakan pendidikan yang bertentangan dengan semangat pembebasan. Salah satunya adalah kebijakan ujian nasional (UN) yang diterapkan sejak 2003, sarat dengan kecurangan secara sistematis. Untuk itulah, lembaga pendidikan harus kembali ke tujuan dasarnya yakni menjawab persolan yang dihadapi masyarakat. Persoalan korupsi adalah salah satu persoalan yang harus dijawab lemabaga pendidikan.

Pendidikan karakter yanng selalu didengung-dengungkan sejak tahun lalu janganlah sebatas wacana. Harus diterjemahkan dengan langkah-langkah konkret, misalnya dengan memasukkan pendidikan antikorupsi di dalam kurikulum sekolah. Tapi perlu diperhatikan, pendidikan antikorupsi bukan hanya sebatas pengetahuan melalui hapalan-hapalan. Yang perlu dan penting dibentuk dalam pendidikan antikorupsi adalah kesadaran untuk tidak melakukan praktik korupsi, dan kesadaran melawan korupsi.            
(Dimuat di Harian Analisa, 9 Mei 2011)

Menghadirkan Politisi (Harapan) Rakyat

Oleh: Jhon Rivel Purba

            Menjelang hingga pelaksanaan pesta demokrasi (pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah), para politisi terlihat begitu dekat dan mesra dengan rakyat. Mereka rajin menjumpai rakyat, bergandengan tangan dengan rakyat, merangkul dan memeluk rakyat dengan janji-janji manis. Jalan-jalan berlubang dan berlumpur dilalui mereka dengan semangat. Pasar-pasar tradisional yang becek disinggahi dengan membawa janji perubahan. Intinya dalam sekejap mereka memposisikan diri sebagai bagian dari rakyat. Seolah-olah ikut merasakan beban yang ditanggung rakyat.
            Untuk menarik simpati rakyat, para politisi ini pun mengeluarkan jurus rayuannya yakni janji-janji perbaikan nasib rakyat. Ada yang menjanjikan pendidikan murah, pelayanan kesehatan untuk orang miskin, membuka lapangan pekerjaan, membangun sarana dan prasarana, menciptakan keamanan, mempermudah pelayanan publik, dan berbagai janji lainnya. Banyak rakyat yang hanyut dengan janji-janji manis tersebut. Rakyat pun memutuskan untuk memilih si politisi yang berjanji tadi. Namun apa yang terjadi?
            Setelah pesta demokrasi selesai dan ketika politisi tersebut terpilih. Sang politisi pun mulai melirik pihak yang bisa menguntungkannya dalam segi materi (harta) dan kekuasaan. Politisi berselingkuh dengan pihak yang dianggapnya segar, “seksi”, dan menguntungkan. Tidak lain dan tidak bukan, si “seksi” itu adalah pemodal/pengusaha. Politisi dan pengusaha bermain mata. Akhirnya, politisi bercerai dengan rakyat. 
            Lagipula, politisi di negeri ini kebanyakan berasal dari pengusaha, dan yang didukung pengusaha. Politisi yang didukung pengusaha tentu memiliki kontrak-kontrak yang saling menguntungkan. Maka tidak heran, jabatan yang dipegang politisi digunakan untuk melncarkan usahanya untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Artinya, memperjuangkan kepentingan ekonomi (bisnis) merupakan prioritas utama politisi tersebut. Meskipun begitu, memang tidak semua politisi berwatak demikian.
            Pengkhiatan politisi ini ditandai dengan banyaknya produk kebijakan yang mengingkari harapan rakyat dan maraknya praktik-praktik KKN baik yang dilakukan eksekutif maupun legislatif. Semangat otonomi daerah justru semakin melahirkan politisi bermental korup dan “penjilat”. Ujung-ujungnya rakyatlah yang menanggung beban derita.
            Rakyat dikhianati oleh politisi yang dulunya mereka harapkan membawa angin perubahan. Sebab para politisi membuat kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan rakyat. Rakyat digusur, diperas, dilarang sekolah, dijual dan dijadikan sebagai budak, diberi upah tak layak, dan hak-hak dasarnya dirampas.
Pedagang kaki lima dan pedagang tradisional yang dulunya berangkulan dengan politisi saat kampanye, kini ditelantarkan. Habis manis, sepah dibuang. Barangkali itulah pepatah yang cocok. Seperti di Medan misalnya, pedagang tradisional makin terjepit dan dipinggirkan, apalagi dengan makin menjamurnya mini market. Selain itu, kebakaran (dibakar atau terbakar) beberapa pasar tradisional beberapa waktu yang lalu, semakin menambah derita rakyat kecil. Parahnya, tidak ada solusi yang berpihak kepada mereka.
            Politisi yang berpihak kepada rakyat sudah langka di negeri ini. Mengapa? Karena mereka bukan berasal dari rakyat. Politisi bukan berasal dari petani, buruh, nelayan, pedagang kecil, dan kaum miskin. Di parlemen tidak ada fraksi mewakili buruh, petani, dan pedagang kecil. Yang ada justru kebalikannya yaitu mewakili pengusaha, tuan tanah, dan pemilik modal yang menjadikan partai politik sebagai kendaraannya.
            Tidak mungkin orang yang tidak berasal dari rakyat akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Yang mungkin hanya “pura-pura” memperjuangkan rakyat. Dan tidak mungkin bisa menyelesaikan persolan rakyat jika tidak memahami akar persoalannya. Karena, hanya orang yang bisa memahami persoalanlah yang bisa menyelesaikannya dengna tepat.
Maka tidak mengherankan lagi ketika anggota DPR tampaknya hanya ingin hidup bermewah-mewahan dari uang rakyat. Lihatlah, anggota DPR justru sibuk memperjuangkan pembangunan gedung baru, “jalan-jalan” ke luar negeri, dan menuntut berbagai fasilitas lainnya. Padahal, kinerja mereka sangat jauh dari yang diharapkan. Sehingga banyak kalangan menilai bahwa kinerja dan kualitas anggota DPR periode 2009-2014 lebih hedonis dari periode sebelumnya.
Sialnya, tidak sedikit anggota wakil rakyat yang absen saat sidang paripurna. Kalau pun datang pada saat rapat, beberapa anggota DPR hanya duduk dan diam bahkan tertidur, serta asyik dengan keinginan sendiri seperti mengutak-atik ponsel dan menonton video porno saat sidang paripurna berlangsung. Bahkan masih ada anggota DPR (pada umumnya dari kalangan artis) yang hingga hari ini belum pernah membuat pernyataan tentang persoalan rakyat.
Rakyat sudah jenuh dengan pengingkaran politisi yang dulunya mereka percayakan. Untuk itu ke depan, sebelum rakyat memilih pemimpinnya, rakyat harus terlebih dahulu mengenali calon pemimpin. Mengenali latar belakang rekam jejak dan hal yang telah dilakukan oleh calon pemimpin tehadap persoalan rakyat. Jangan sekali-kali memilih politisi busuk yang pernah melakukan korupsi, melanggar HAM, merusak lingkungan, pemakai narkoba, melakukan politik uang, dan yang melakukan tindakan asusila.
            Juga jangan memilih politisi yang belum pernah mengerjakan kepentingan rakyat. Karena ketika dia terpilih, maka dia tidak tahu berbuat bijak untuk rakyat. Pilihlah orang sederhana, berintegritas, mempunyai kepedulian sosial, nasionalis, dan yang mengabdi bagi rakyat.
Selanjutnya, rakyat perlu mempersiapkan wakilnya yang setia mengabdi kepada rakyat, bukan kepada modal dan kekuasaan. Lantas, bagaimana menghadirkan politisi harapan rakyat tersebut? Hal ini mengingat partai politik sebagai wadah pencetak pemimpin telah kehilangan fungsinya.
Oleh sebab itu, sangat dinantikan lahir dan berkembangnya organisasi-organisasi rakyat yang mandiri, independen, dan bebas dari kepentingan politik penguasa. Roda organisasi rakyat ini harus digerakkan sendiri oleh rakyat secara kreatif dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Intinya dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Kehadiran organisasi-organisasi rakyat tersebut diharapkan menghadirkan pemimpin yang betul-betul memahami persoalan rakyat dan juga memiliki posisi tawar untuk memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Juga mengawasi kinerja wakil mereka nantinya yang duduk di kursi kekuasaan agar tetap bejalan di jalur cita-cita bersama.

Organisasi rakyat ini menjadi solusi alternatif mengingat politisi dan partai politik sekarang tak bersahabat dengan rakyat. Karena bagaimana pun juga politisi itu perlu diawasi. Lantas, siapakah yang mengawasinya? Tentu rakyat yang sudah terorganisir. 
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 27 April 2011)

Rakyat Miskin Harus Sehat

Oleh: Jhon Rivel Purba

Tak ada manusia di planet bumi ini yang menginginkan dirinya sakit atau penyakitan. Semua pasti berharap bebas dari penyakit atau minimal sembuh dari penyakit apa pun. Sepertinya kesehatan sudah menjadi harta paling berharga dalam kehidupan ini. Sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa kesehatan lebih berharga dari kekayaan.
Tidak sedikit orang yang mengorbankan hartanya untuk biaya berobat. Bagi orang kaya, mahalnya biaya berobat bukanlah masalah mendasar. Dengan kekayaan yang dimiliki, tentu bisa berobat di mana pun dan kapan pun dengan pelayanan dokter yang profesional baik di dalam maupun di luar negeri. Sebelum berobat, pertanyaan yang ada di benak si kaya adalah “berobat ke mana, ya?”.
Berbeda dengan si kaya, rakyat miskin hingga detik ini masih kewalahan dalam mencegah dan melawan penyakit. Sebelum berobat, pertanyaan yang ada di benak si miskin adalah “berobat gak, ya?”. Hal ini karena rakyat miskin masih memprioritaskan kebutuhan “sejengkal perut” yang semakin sulit.
Sangat menyedihkan, tidak sedikit rakyat miskin yang mengurungkan niatnya berobat ke rumah sakit karena keterbatasan ekonomi. Lebih menyedihkan lagi, pihak rumah sakit sering menolak kehadiran pasien miskin dengan berbagai alasan, padahal si miskin itu sudah sekarat. Inilah realita pelayanan kesehatan di negeri ini yang tidak berpihak kepada rakyat miskin. Sepertinya orang miskin dilarang sakit.
Persoalan bertambah lagi ketika harga obat mengalami kenaikan. Naiknya harga obat tidak terlepas dari arus liberalisasi yang menyerahkan penanganan obat kepada mekanisme pasar.  Kenaikan harga obat ini membuat warga yang sakit khususnya rakyat miskin semakin resah, apalagi mereka yang tidak memiliki Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Hal ini mengingat masih sekitar 60 persen penduduk miskin di Indonesia yang memiliki Jamkesmas. Bagaimana dengan rakyat miskin yang tidak memiliki Jamkesmas atau asuaransi kesehatan yang lain?
Penduduk miskin yang memiliki Jamkesmas saja belum terjamin mendapatkan hak dasar kesehatan, apalagi mereka yang tidak terdaftar. Buktinya, tidak jarang penduduk miskin pemilik Jamkesmas dinomorduakan dan mendapatkan pelayanan seadanya saja. Belum lagi harus membayar obat yang di luar daftar obat Jamkesmas.
Sesungguhnya mendapatkan pelayanan kesehatan adalah hak-hak dasar warga negara. Oleh sebab itu, pemerintah harus memberikannya kepada semua penduduk Indonesia, termasuk kepada orang miskin. Program Jamkesmas yang telah digulirkan hendaknya mencakup semua penduduk miskin dan penduduk yang rentan miskin bila sakit. Hal itu bisa tercapai dengan menambah anggaran kesehatan, memudahkan birokrasi, menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai, dan dokter yang profesional. Dan perlu ditekankan agar anggaran kesehatan yang jumlahnya triliunan rupiah tersebut harus bebas dari praktik-praktik korupsi. 
Semangat otonomi daerah juga kiranya semakin mempermudah pembangunan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat daerah. Karena kesehatan adalah hak-hak dasar warga negara. Orang miskin juga warga negara, sehingga mereka juga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk itu, tugas pemerintahlah (pusat dan daerah) mewujudkannya. Namun, pekerjaan rumah pemerintah dalam bidang kesehatan tidak cukup hanya menjamin semua warga negara bisa berobat, tetapi harus aktif mencegah timbulnya berbagai penyakit.
Pencegahan
            Ada lagi pepatah mengatakan, lebih baik mencegah daripada mengobati. Hanya saja dalam pelaksanaan, tidak segampang mengucapkannya. Sering orang menyesal dan menyadari akan kebenaran pepatah itu ketika sudah sakit. Oleh sebab itu, dalam pencegahan harus dimulai dari kesadaran.
            Rakyat miskin rentan terhadap berbagai penyakit. Hal ini karena faktor pendidikan, ekonomi, lingkungan, dan kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Rakyat miskin yang tinggal di pemukiman kumuh,  daerah aliran sungai, daerah rawan banjir, pinggiran rel kereta api, dan di kolong jembatan, akan lebih mudah diserang berbagai penyakit.
            Sebagai contoh, rakyat miskin yang tinggal di daerah aliran sungai sering mengidap berbagai penyakit seperti sakit perut dan gatal-gatal. Bagaimana tidak, air yang mereka konsumsi sudah terkontaminasi oleh limbah industri dan sampah rumah tangga. Tapi mereka terpaksa minum, makan, mandi, dan mencuci pakaian dari air sungai tersebut. Selain kotor, air tersebut sudah mengandung logam di atas batas normal sehingga berbahaya bagi tubuh. Itu bukan pilihan bagi rakyat miskin, melainkan dipaksa kemiskinan itu sendiri. Sialnya yang kemiskinan itu diciptakan dan dikembangkan oleh pemilik modal.
            Di sini pemerintah hendaknya bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang merugikan kesehatan orang lain. Karena kesehatan adalah hak dasar semua warga negara, tidak terkecuali rakyat miskin. Era industrialisasi yang berkembang di negara ini jangan hanya dilihat dari sisi mengurangi jumlah pengangguran dan demi kepentingan ekonomi si pemilik modal. Kepentingan ekonomi harus seimbanng dengan kepentingan ekologi (lingkungan hidup).
            Kalau kita lihat realita yang terjadi, pembangunan di negeri ini tidak bersahabat dengan lingkungan hidup dan dengan orang miskin. Sebagai contoh, berdirinya industri pertambangan di suatu daerah, tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Melainkan yanng terjadi adalah sebaliknya. Masyarakat sekitar pertambangan makin miskin. Kerusakan alam akibat pembangunan limbah industri secara sembarangan, menyebabkan berbagai penyakit dan juga mengurangi pendapatan penduduk yang selama ini bergantung pada alam.
            Kembali pada pencegahan penmyakit, bisa juga dilakukan dengan penyuluhan-penyuluhan kesehatan kepada masyarakat agar memiliki kesadaran bersama menjaga kebersihan lingkungan. Di sinilah peran pemerintah, lembaga pendidikan (universitas), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan tokoh-tokoh masyarakat, sangat dinantikan dalaam membentuk kesadaran masyarakat.
            Negara ini sehat apabila warga negaranya sehat juga. Supaya warga negara sehat maka harus cerdas dan sejahtera. Rakyat miskin juga harus sehat berarti mereka harus cerdas dan sejahtera. Supaya bisa cerdas dan sejahtera, maka pendidikan adalah jawabannya. Pendidikan adalah jembatan menuju masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Itu juga yang menjadi cita-cita kemerdekaan negara ini.

            Jika pemerintah tidak serius mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat miskin melalui pendidikan yang adil dan bermutu, maka sesungguhnya tidak menginginkan rakyat miskin bisa sehat. Juga program Jamkesmas hanyalah seperti program pemadam kebakaran. Bagaimana pun juga, lebih baik mencegah kebakaran daripada memadamkannya. Oleh sebab itu, cara mencegahnya adalah melalui pendidikan. Sekali lagi, rakyat miskin harus sehat dari berbagai penyakit, termasuk dari penyakit kemiskinan itu sendiri.  
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 5 April 2011)

Minggu, 03 Maret 2013

NASIB BURUH KEBUN


Oleh: Jhon Rivel Purba

Nak, bangunlah dari mimpimu
karena mimpi palsu tak akan membebaskanmu                                         
mimpi hanyalah obat penenang sementara
menenangkanmu dari lapar dan sengsara

nak, mari bergegas kembali mencari sesuap nasi
pengganjal sejengkal perut melawan mati
kita tak punya pilihan hidup lagi
selain berlari mengejar yang tak pasti

nak, maafkan ibu memaksamu ikut bekerja
mengumpulkan brondolan di perkebunan kelapa sawit ini
kau ikut menumpahkan butir-butir keringat dan darah
demi recehan-recehan dari si tuan kebun

nak, dulunya tanah perkebunan ini milik kita
tapi kita tergusur dan kini dijadikan buruh lepas
aku tak mengerti mengapa itu bisa terjadi
kita yang kecil selalu salah di depan hukum

nak, usiamu masih muda, baru tujuh tahun
seharusnya kau belajar dan bermain dengan mereka
tapi kau terpaksa memikul beban seberat ini
atas keterpaksaan hidup yang tak kita inginkan

nak, tak perlu kau menangisi seseorang yang hilang
ayahmu telah pergi ke tempat yang tak kita tahu
berhentilah menangis dan hapus air matamu
sudah begitu banyak air mata mengalir dihisap sawit ini 

nak, matahari sudah sangat panas
mari berteduh sambil menikmati nasi sayur
tak usah dulu ingat utang kita pada majikan
untuk membeli beras yang semakin mahal harganya

nak, mari kita bekerja keras lagi
mengumpulkan brondolan-brondolan itu
sebelum kita pulang ke gubuk
di mana kita bisa sejenak bermimpi 

nak, besok kita akan tetap ke kebun sawit
karena tahun ini kau tak bisa sekolah
mungkin selamanya kau tak bisa sekolah
sebab daun sawit tak bisa disulap jadi uang

nak, nasib kita sama
nanti kau akan tetap menjadi buruh lepas
mengikuti jejak ibumu yang kurus ini
membayar utang-utang kita yang makin menumpuk
(Yogyakarta, 3 Agustus 2012)

Rabu, 13 Februari 2013

Perkebunan Kelapa Sawit (Kepentingan) Siapa?


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Dalam memperingati satu abad perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ada dua kubu yang berbeda pandangan mengenai pengembangan sawit. Kubu pertama adalah pihak pengusaha sawit, yakni Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Sedangkan kubu kedua adalah gabungan 35 lembaga swadaya masyarakat (LSM).
            Syukurlah, Medan Bisnis sebagai harian ekonomi cukup independen, dan pemberitaannya berimbang soal perbedaan pandangan tersebut. Dimana pada halaman pertama edisi 29 Maret 2011, dua berita besar ditampilkan. Berita tersebut berjudul “Industri Sawit Masih Terhambat Black Campaign” dan “35 LSM Tolak 20 Juta Ha Perkebunan Baru”. Dua judul berita ini mewakili pandangan dua kubu yang berbeda.  
            Kubu LSM yang fokus pada permasalahan perkebunan, menolak wacana pemerintah dan pengusaha, untuk membuka lahan baru perkebunan seluas 20 juta hektar. Penolakan itu bukan tidak punya alasan. Alasan utamnya adalah karena pembukaan perkebunan kelapa sawit tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru yang tampak ke permukaan adalah konflik antara masyarakat (adat) dengan pengusaha, upah buruh rendah, beban kerja berat, dan bahkan tanpa ada jaminan kerja.
            Berbeda dengan LSM, pihak pengusaha (Gapki) melihat perkebunan sawit dari aspek ekonomi. Kontribusi kelapa sawit terhadap devisa negara yang mencapai US$ 14,1 miliar dan penyumbang terbesar kedua setelah migas, dijadikan sebagai alasan perlunya pengembangan sawit di Tanah Air. Bagi mereka, penolakan sejumlah LSM tersebut adalah kampanye negatif dan tidak benar. Bagaimanapun juga, logika pengusaha adalah hitungan untung-rugi.
Tidak hanya pengusaha, Ketua DPRD Sumut, Saleh Bangun, juga menyatakan bahwa sawit adalah sahabat rakyat dan sudah terbukti memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Seolah-olah pernyataan beliau itu mewakili suara rakyat, khususnya masyarakat perkebunan di Sumut. Sementara bagi pemerintah, perkebunan sawit dinilai menghasilkan pemasukan negara dan mengurangi pengangguran.
Kepentingan Siapa?
            Tak bisa dimungkiri, perkebunan sawit menghasilkan pemasukan negara yang cukup besar. Tapi persoalannya, mampukah meningkatkan kesejahteraan rakyat? Apakah perluasan perkebunan sawit sudah menjadi prioritas? Pernyataan pemerintah dan pemilik modal bahwa perkebunan sawit adalah sahabat rakyat dan menyejahterkan masyarakat, tidaklah benar. Pertanyaannya, masyarakat yang mana?
            Memang, tidak sedikit masyarakat yang makmur karena memiliki perkebunan sawit. Mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Mungkin masyarakat seperti inilah yang dimaksud pemerintah dan pengusaha. Padahal, masyarakat seperti ini adalah “tuan tanah” yang tidak bisa mewakili masyarakat Indonesia. Mereka memiliki lahan yang luas, sehingga wajar bisa sejahtera.
Bagaimana dengan mayoritas rakyat yang tidak memiliki lahan yang cukup? Sekitar 60 persen rumah tangga petani adalah petani gurem, yakni petani yang hanya memiliki lahan sekitar 0,5 hektar. Jika mereka ikut menanam sawit di tanah yang sempit, maka siap-siaplah menunggu kesengsaraan. Sebab kalau pun sawitnya berbuah, itu tidak akan cukup memenuhi kebutuhannya. Persoalannya, sawit yang ditanam tidak bisa langsung berbuah. Butuh waktu beberapa tahun. Sang petani pun terpaksa menjadi buruh, buruh kebun sawit.
Pada umumnya, buruh kebun sawit hidup sengsara. Mereka menerima upah yang tak layak, sementara beban dan resiko kerja sangat berat. Parahnya, perkebunan sudah seperti negara dalam negara. Terjadi penindasan dengan sistem yang rapi dan mapan. Salah satu contohnya adalah dengan adanya Buruh Harian Lepas (BHL) tanpa ikatan kerja.
Ketika pemerintah mendukung pengembangan sawit dengan alasan mengurangi pengangguran, maka bersiap-siaplah warga negara menjadi budak perkebunan. Artinya pemerintah menginginkan warga negaranya menjadi “sapi perahan” pengusaha. Kalau pandangan seperti ini dilanjutkan, ke depan rakyat akan menjadi budak dan pengemis di tanahnya sendiri. Mereka akan mengemis kepada “tuan-tuan” pemilik modal. Karena pengemis semakin menjamur, sang tuan pun mempunyai posisi tawar tinggi. Syarat agar rakyat diberi pekerjaan yakni; siap bekerja dengan upah rendah, tak boleh kritis, patuh dan taat kepada pengusaha, dan siap dipecat tanpa pesangon.
Sungguh benar pernyataan yang mengatakan bahwa sejarah perkebunan adalah sejarah penindasan. Yang tertindas adalah buruh. Sementara pengusaha “bermain mata” dengan pemerintah. Itu terbukti hingga hari ini. Dan pengusaha tidak menginginkan anak buruh menjadi cerdas, karena akan mengganggu kepentingannya. Anak buruh diupayakan akan tetap menjadi buruh. Maka sistem pendidikan pun tidak pernah berpihak kepada anak buruh. Dengan kata lain, perkebunan sawit tidak memakmurkan rakyat. Hanya menguntungkan si pemilik modal.
Sangat mengherankan, di saat negeri ini mengalami krisis pangan, perhatian pemerintah tercurah pada pengembangan sawit. Padahal perluasan perkebunan sawit dikhawatirkan akan mengurangi produksi pangan. Bagimana tidak, lahan yang seharusnya ditanami tanaman pangan, justru ditanami sawit. Akhirnya produksi pangan relatif tetap bahkan mengalami penurunan, sementara kebutuhan pangan selalu naik tiap tahunnya akibat pertumbuhan penduduk. Ujung-ujungnya terjadilah krisis pangan. Dan lagi-lagi pemerintah di negeri agraris ini mengimpor pangan dari negeri asing. Seharusnya persoalan panganlah yang menjadi prioritas pemerintah.
Selain itu, pembukaan perkebunan sawit sudah jelas-jelas merusak lingkungan. Hutan dirambah, lalu dibakar. Pembakaran lahan itu berkontribusi terhadap kerusakan lapisan ozon. Penggundulan hutan itu juga merusak ekosistem dan merusak irigasi. Jika dikalkulasikan, kerusakan lingkungan yang disebabkan pembukaan lahan dan perluasan perkebunan sawit sangat besar, bahkan bisa melebihi keuntungan ekonominya.
Dalam hal sosial-buudaya juga, perluasan perkebunan sawit seringkali menyebabkan konflik sosial. Konflik tersebut antara masyarakat (adat) dengan korporat, antara buruh dengan pengusaha, dan antara sesama masyarakat. Dan pihak keamanan dan preman tidak jarang melakukan tindakan represif terhadap masyarakat. Konflik itu bisa karena penggusuran, perebutan lahan, dan persoalan lainnya.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengkaji ulang dan menghentikan ekspansi perkebunan sawit. UU yang memuluskan kepentingan pemodal mengeksploitasi potensi alam di negeri ini, seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, hendaknya dicabut. Kita negara Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan segelintir orang (pengusaha). Sedangkan negara liberal sekali pun tidak selonggar itu membuat perundang-undangan yang membuka ruang penanaman modal asing di negerinya. 
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 2 April 2011)

Harapan Baru pada Gubsu


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Sejak 21 Maret, Gatot Pujo Nugroho resmi diangkat menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/P Tahun 2011. Gatot yang sebelumnya menjabat Wakil Gubsu, menggantikan Syamsul Arifin yang diberhentikan sementara karena sudah berstatus terdakwa terkait kasus korupsi APBD Kabupaten Langkat.
            Sebenarnya sejak Syamsul Arifin ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tahun lalu, sudah banyak pihak mengatakan bahwa Gatot akan menggantikannya sebagai Gubsu. Sehingga pergantian ini bukanlah hal yang aneh karena mengikuti arus peraturan yang berlaku.
            Meskipun demikian, bila dicermati secara mendalam, kepemimpinan Syamsul-Gatot bisa dikatakan kurang harmonis apalagi sejak Syamsul Arifin ditetapkan sebagai tersangka. Anehnya, sebelum Syamsul berstatus terdakwa, suhu politik sudah mulai memanas menyangkut posisi Wakil Gubsu jika Gatot menjadi Gubsu.
            Dari sini bisa kita lihat, bahwa pergantian tersebut sudah dinanti-nantikan oleh beberapa pihak karena menyangkut kepentingan. Di pihak lain, pergantian ini juga bisa menjadi mimpi buruk bagi beberapa elite daerah. Terlepas dari itu semua, masyarakat Sumut pasti mempunyai harapan baru pada Gubsu baru.
Komitmen Gatot dan Harapan Masyarakat
            Pada 23 Maret lalu ketika Gatot hadir dalam pertemuan silaturahim dengan para pimpinan media di Medan, beliau mengatakan berkomitmen memprioritaskan pembangunan infrastruktur di segala bidang guna mengembangkan dan menggerakkan roda perekonomian. Beliau juga berkomitmen mengembangkan potensi sumber daya alam dengan membuat program unggulan. Selain itu, menurutnya pertumbuhan ekonomi masyarakat daerah perlu dipacu dengan meningkatkan investasi di semua sektor. Terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah perbaikan birokrasi.
            Sungguh masuk akal komitmen yang disampaikan oleh Gatot. Persoalan infrastrukur di Sumut misalnya; persoalan jalan berlubang, jembatan rusak, krisis listrik, dan masalah air bersih, merupkan persoalan yang harus segera dibenahi. Hal ini mengingat infrastruktur tersebut menyangkut kepentingan masyarakat. Bagaimanapun juga pembangunan ekonomi akan terhambat jika infrastruktur tidak memadai atau rusak. Maka wajar, jika Gatot memprioritaskan pembangunan ini.
            Sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, jika bisa dikelola dengan baik pasti menciptakan kesejahteraan masyarakat. Bahkan kemiskinan dan pengangguran akan cepat berkurang jika potensi alam tersebut digali dan dikembangkan. Program unggulan pengembangan potensi alam tersebut hendaknya mengandalakan modal dan sumber daya manusia dalam negeri. Juga, tetap memerhatikan kelestarian lingkungan hidup dan masyarakat sekitar.
            Dalam perbaikan birokrasi, adalah hal yang wajar jika gatot mengevaluasi kinerja seluruh jajaran Pemerintah Sumatera Utara, khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sebab hanya dengan birokrasi yang bersih dan berkomitmen, proses pembangunan berjalan dengan baik. Hanya saja, janganlah evaluasi birokrasi ini diwarnai nepotisme untuk kepentingan politik dan ekonomi segelintir orang, termasuk kepentingan Gatot sendiri. Atau lebih parahnya, persiapan politik menjelang 2013 dan 2014.
            Komitmen Gatot yang ingin membangun Sumut tentu disambut masyarakat dengan sejuta harapan di dada. Masyarakat berharap agar pembangunan infrastruktur dan pengembangan potensi alam di daerah-daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Yang pasti masyarakat menginginkan pembangunan itu adalah demi kepentingan umum.
            Pembangunan itu janganlah dijadikan sebagai “proyek” memperkaya diri sebagaimana kebiasaan banyak kepala daerah di negeri ini. Pembangunan itu harus berkualitas bukan asal jadi atau tambal sulam. Juga ramah lingkungan. Kesalahan-kesalahan pembangunan yang rapuh di masa lalu tak baik dilanjutkan. Perlu ditekankan, bahwa pemabangunan itu adalah untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pemodal dan penguasa. Jadi, pembangunan itu harus melindungi dan memberdayakan buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, kaum miskin, serta kaum yang terpinggirkan selama ini.
Berpijak pada Visi
            Adapun visi Syamsul Arifin ketika berpasangan dengan Gatot Pujo Nugroho saat kampanye pada 2008 lalu adalah agar rakyat Sumut tidak lapar, tidak bodoh, tidak sakit, dan sejahtera. Oleh sebab itu, Gatot sebagai Pj Gubsu harus tetap berpijak pada visi awal dan melanjutkannya. Visi tersebut hendaknya diterjemahkan ke dalam program-program pembangunan yang pro-rakyat Sumut.
            Rakyat Sumut lapar adalah karena dibelennggu kemiskinan dan pengangguran. Supaya rakyat tak lapar maka kemiskinan dilawan. Program-program perlawanan terhadap kemiskinan sudah mendesak diterapkan. Itu bisa terjawab bukan dengan pembangunan fisik dan bantuan tunai seperti selama ini. Justru kalau dilihat secara kritis, pembangunan yang mengatasnamakan rakyat selama ini justru semakin memiskinkan dan menyiksa rakyat, membahagiakan pemilik modal.
            Yang penting adalah bagaimana supaya rakyat Sumut bisa dilindungi dan diberdayakan. Misalnya melindungi dan mengembangkan usaha kecil menengah, menaikkan upah dan posisi tawar buruh, memberdayakan petani, melindungi produk lokal Sumut dari ancaman impor, melindungi pedagang tradisional, membuka lapangan pekerjaan baru, dan memanfaatkan segala potensi daerah untuk rakyat.
            Sementara, agar rakyat tak bodoh maka jalan satu-satunya adalah memberikan akses pendidikan yang seluas-luasnya kepada seluruh rakyat Sumut secara bermutu dan berkeadilan. Intinya, orang miskin bisa mengecap pendidikan yang layak. Apa pun ceritanya, tanpa pendidikan, rakyat tak akan cerdas. Perlu ada kebijakan khusus dalam pendidikan di Sumut yang mewajibkan seluruh warga yang berusia sekolah, mengecap pendidikan hingga sekolah menengah. Tanpa hal itu, rakyat tak akan cerdas. Yang cerdas hanyalah orang kaya.
            Selanjutnya, agar rakyat tidak sakit, maka pencegahan dan pengobatan penyakit hendaknya diperhatikan. Pada umumnya, rakyat miskin lebih dekat dengan penyakit karena faktor pendidikan, lingkungan, dan keterbatasan dana untuk berobat. Bukan rahasia lagi di Sumut, pihak rumah sakit sering menolak kedatangan orang miskin karena tidak memiliki uang. Bahkan orang miskin yang memiliki jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) pun sering dinomorduakan dalam pelayanan kesehatan. Apalagi yang tidak memiliki uang dan Jamkesmas. Ini terjadi karena dunia kesehatan sudah diserahkan kepada pasar. Padahal kesehatan adalah hak dasar seluruh warga negara. Sudah menjadi hukum wajib, pemerintah daerah dalam hal ini Gubsu menjamin semua warga bisa mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi.
            Kemudian, memberantas korupsi juga merupakan tugas rumah Gubsu, apalagi dengan mengingat Sumut sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Membenahi birokrasi seperti yang akan dikerjakan Gubsu kiranya demi menciptakan birokrasi yang bersih. Bukan sekadar menciptakan birokrasi yang seirama selangkah dengan kemauan Gubsu. Pemberantasan korupsi harus dimualai dari Gubsu sendiri. Mantan Ketua DPW PKS ini harus berada di barisan terdepan dalam memberantas korupsi di Sumut.
            Terakhir, Gubsu hendaknya bisa merangkul semua elemen masyarakat dalam upaya mewujudkan visi tersebut. Keberagaman masyarakat Sumut bisa menjadi potensi besar menciptakan provinsi yang maju. Hingga akhirnya Sumut sebagai “Indonesia mini” bisa menjadi daerah paling bersih, maju, rukun, sejahtera, dan berbudaya. Semoga! 
(Dimuat di Harian Analisa, 2 April 2011)