Oleh: Jhon Rivel
Purba
Sepertinya
gerakan mahasiswa saat ini sudah mulai meredup. Suara-suara kritis di jalanan
sudah jarang terdengar. Padahal, persoalan bangsa semakin besar. Dalam bidang
politik dan hukum misalnya, persoalan korupsi dan mandulnya penegakan hukum
merupakan persoalan mendasar. Sementara dalam bidang ekonomi ditandai dengan
ketidakberdayaan rakyat memenuhi kebutuhan hidupnya. Belum lagi dalam bidang
pendidikan, kebudayaan, dan segala aspek kehidupan berbangsa ditandai dengan
segudang persoalan. Lantas, dimana peran mahasiswa yang katanya sebagai agent of change dan agent of social control?
Kalau kita amati
akhir-akhir ini, suara kritis justru datang dari masyarakat biasa dan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) . Misalnya suara
penolakan gedung baru DPR dan kritikan terhadap pemerintahan SBY-Boediono,
lebih sering disuarakan masyarakat biasa. Timbul pertanyaan, ada apa dengan
gerakan mahasiswa sekarang ini?
Faktor Penyebab
Kalau
dianalisis, banyak faktor penyebab tumpulnya taring gerakan mahasiswa. Antara
lain; masa studi yang makin cepat, gerakan yang tidak terkonsolidasi,
organisasi kemahasiswaan yang bermuara pada kepentingan segelintir orang,
terkontaminasi dengan kepentingan politik internal maupun eksternal kampus,
tekanan dari pihak kampus, dan terjebak dengan kemajuan teknologi informasi.
Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) telah membatasi masa studi mahasiswa. Jika masa studi telah
berakhir namun mahasiswa belum menyelesaikan perkuliahannya, maka mahasiswa
tersebut harus siap-siap dikeluarkan dari kampus tersebut. Pada umumnya masa
studi mahasiswa di PTN berkisar anatara 4-7 tahun. Bahkan untuk menamatkan
jenjang sarjana, tidak sedikit mahasiswa menempuhnya hanya 3-4 tahun.
Kondisi
demikian menyebabkan mahasiswa fokus mencari nilai yang tinggi, berupaya cepat
tamat, dan berharap cepat mendapatkan pekerjaan. Segala hal yang menghambat
tujuan tersebut akan dihilangkan, termasuk berorganisasi. Banyak mahasiswa yang
beranggapan bahwa organisasi akan mengganggu perkuliahan. Kalau pun ikut
berorganisasi, maka organisasi yang diikuti adalah organisasi yang mendukung
nilai dan cepat tamat. Sehingga, organisasi yang sifatnya kritis sudah mulai
jarang diminati mahasiswa.
Pembatasan
masa studi tersebut lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Mahasiswa
diarahkan menjadi robot-robot yang mengikuti arus kebijakan pasar. Memang
sistem pendidikan kita telah berorientasi pasar, yakni mahasiswa adalah produk
dan kampus adalah mesin penghasil produk. Mahasiswa sebagai produk akan
diserahkan kepada pasar. Sistem seperti ini secara tidak langsung melemahkan
gerakan mahasiswa. Karena sistem pasar tidak pernah menginginkan suara-suara
kritis.
Kalau
pun ada oragnisasi yang kritis, sangat sulit menyatukan sikap dengan organisasi
kritis yang lain, meskipun perjuangannya sama yakni memperjuangkan rakyat. Hal
ini terjadi karena sudah ada saling mencurigai dengan kelompok lain, apalagi
hal yang dikritisi adalah isu politik. Tidak terkonsolidasinya gerakan ini
tidak terlepas dari tidak adanya isu yang dijadikan sebagai perjuangan bersama.
Berbeda dengan
gerakan mahasiswa pada 1966 dan 1998 yang mempunyai isu bersama yakni
menjatuhkan pemerintah yang berkuasa karena dinilai telah melanggar konstitusi.
Gerakan mahasiswa itu pun bisa bisa bersatu karena situasi politik dan ekonomi
pada masa itu sedang kacau sehingga hal yang diinginkan adalah perubahan.
Sedangkan
sekarang, organisasi-organisasi mahasiswa tampaknya hanya sibuk bersaing
menanamkan pengaruh di kampus. Hanya saja yang paling menonjol adalah
eksistensi dan kepentingan, bukan perjuangan. Misalnya pada momen penyambutan
mahasiswa baru tampak jelas “persaingan” mencari kader-kader baru. Hal ini juga
telah menunjukkan bahwa organisasi mahasiswa telah kesulitan mencari kader
baru.
Dalam
demokrasi di kampus melalui pemilihan presiden mahasiswa (tingkat universitas),
gubernur mahasiswa (tingkat fakultas), dan ketua himpunan mahasiswa (tingkat
jurusan/departemen), yang tampak adalah kepentingan segelintir orang dan
kepentingan organisasi tertentu, termasuk organisasi ekstra kampus. Maka tidak
mengherankan, organisasi kemahasiswaan di kampus, katakanlah senat mahasiswa,
nihil dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa itu sendiri.
Parahnya,
jabatan-jabatan sebagai senat mahasiswa hanya untuk kepentingan pribadi dan
kelompok. Misalnya, meningkatkan posisi tawar untuk memperoleh beasiswa,
membuat proyek-proyek kegiatan, dan kegiatan yang tak ada hubungannya dengan
aspirasi mahasiswa. Sialnya, senat mahasiswa ini bisa “dibeli” dan dijinakkan oleh
pihak birokrasi kampus.
Mahasiswa
menjadi terkotak-kotak karena saling menonjolkan eksistensi organisasi
masing-masing dan terkontaminasi dengan kepentingan birokrasi kampus maupun
eksternal kampus. Ini jelas-jelas merugikan mahasiswa secara keseluruhan. Kondisi
ini juga melahirkan mahasiswa yang apatis terhadap organisasi mahasiswa,
persoalan kampus, dan bangsa.
Tekanan
dari pihak kampus juga membatasi ruang gerakan mahasiswa. Misalnya dengan
melarang menempelkan selebaran penyadaran di tembok-tembok kampus, melarang
diskusi-diskusi kritis di dalam kampus, melarang mimbar bebas dan aksi
demonstrasi di dalam kampus. Padahal, konstitusi memberikan kebebasan bersuara
dan berserikat kepada semua warga negara. Namun, kampus sebagai tempat melahirkan
calon-calon pemimpin bangsa justru membatasi kebebasan bersuara tersebut.
Hampir
semua kampus membatasi mahasiswa menyampaikan sura kritisnya. Satpam, pegawai,
dan mahasiswa “kaki tangan” birokrasi kampus, bahkan preman, dijadikan sebagai
tembok penghambat gerakan mahasiswa kritis di kampus. Mahasiswa yang kritis
akan ditekan. Ada juga mahasiswa yang dijadikan sebagai “mata-mata” untuk
mengawasi mahasiswa yang dianggap berbahaya.
Terakhir,
gerakan mahasiswa semakin redup ketika banyak mahasiswa terjebak dengan
kemajuan teknologi. Misalnya jejaring sosial seperti facebook, dan permainan game
online, membuat mahasiswa asyik dengan dirinya sendiri dan kurang peduli
dengan kehidupan sekelilingnya. Ditambah lagi budaya instan yang berkontribusi
terhadap lemahnya gerakan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang menjadikan pusat
perbelanjaan dan hiburan sebagai rumah kedua. Sementara “berkunjung” ke
desa-desa, pemukiman kumuh, daerah bencana alam, dan tempat-tempat orang
miskin, adalah hal yang sudah jarang dilakukan mahasiswa.
Apa
yang terjadi dengan bangsa ini ke depan jika mahasiswa yang katanya sebagai agent of socia control; pada
kenyataannya apatis, hedonis, dan pragmatis? Apa yang terjadi jika mahasiswa
hanya menjadi alat penguasa dan milik pemodal? Jawabannya sudah pasti bangsa
ini akan semakin terpuruk. Lantas, bagaimana menyalakan gerakan mahasiswa
kritis? Itulah yang perlu dipikirkan oleh mahasiswa secara kritis dan kreatif.
Hidup mahasiswa!
(Dimuat di Harian Analisa, 18 Mei
2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar