Rabu, 19 Desember 2012

Ultimatum Pemberantasan Korupsi


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Seandainya Tuhan datang menemui dan mengultimatum Presiden SBY agar memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya selama 100 hari. Dalam ultimatum itu ditegaskan, jika satu hari saja SBY tidak serius memberantas korupsi, maka satu anggota keluarganya meninggal pada hari itu juga. 100 hari tidak serius berarti 99 anggota keluarganya meninggal dan ditambah dirinya. Seandainya Tuhan itu benar-benar mengultimatum SBY dengan ganjaran tersebut, maka kemungkinan besar Presiden SBY akan bangkit bergerak memimpin pemberantasan korupsi secara tegas tanpa memandang bulu. Dia tidak akan mengeluh atau lamban seperti yang disoroti publik selama ini. Dia pasti membuat terobosan maha dahsyat tanpa takut kehilangan kekuasaannya.
            Demikian juga, seandainya Tuhan mengultimatum semua koruptor di negeri ini yang telah menghisap uang rakyat (minimal Rp100 juta) supaya dalam tempo 24 jam mengaku dan menyerahkan diri kepada kepolisian. Dalam ultimatum tersebut juga ditegaskan, selama koruptor tidak menyerahkan diri maka tiap hari satu anggota keluarganya meninggal, dan hari ke-100, koruptor yang tidak juga menyerahkan diri ikut meninggal. Kalau itu benar-benar nyata, maka sudah bisa ditebak, koruptor akan berbondong-bondong ke kantor polisi, sehingga kantor tidak muat menampung mereka. Bahkan tidak sedikit polisi yang ikut menyerahkan dirinya. Lebih parahnya, mungkin SBY pun ikut menyerahkan diri kepada kepolisian.
            Persoalannya adalah Tuhan tidak akan datang mengultimatum Presiden SBY dan para koruptor. Jadi para koruptor tidak begitu takut dengan upaya pemberantasan korupsi yang selama ini disuarakan. Kalaupun terbukti bersalah, hukumannya tidak berat. Dari segi ekonomi masih untung, lebih banyak pemasukan (hasil korupsi) dari pada pengeluaran. Koruptor tidak mempunyai rasa takut dan malu lagi. Tidak takut kepada Tuhan, meskipun rajin ke tempat ibadah. Sepertinya itu hanyalah topeng, padahal sesungguhnya menghambakan diri pada uang dan kekuasaan. Bagi koruptor, uang adalah Tuhan dan Tuhan adalah uang. Ini sangat memalukan bagi kita sebagai negara yang beragama.
            Bila dibandingkan dengan orde baru, pemberantasan korupsi di era reformasi ini bisa dikatakan lebih baik. Sudah banyak pelaku praktik korupsi yang masuk penjara. Meskipun demikian, itu masih jauh dari harapan reformasi 1998 yang menginginkan pemerintahan yang bersih dari KKN. Setidaknya ada tiga persoalan mendasar gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Pertama, belum bisa menjerat pelaku kelas kakap. Kedua, hukuman ringan bagi koruptor. Ketiga, tersangkut di bawah kepentingan politik. Keempat, kepolisian dan kejaksaan tidak profesional.
            Semua lembaga/instansi dari pusat hingga daerah, dari Sabang hingga Merauke, terjangkit korupsi. Otonomi daerah juga justru makin membuat elite-elite daerah makin “buas” melahap uang rakyat. Bagaimana tidak proses melahirkan kepala daerah adalah melalui politik uang dan transaksional dengan sektor swasta, sehingga pejabat yang terpilih didorong untuk korup. Makanya tidak heran, separuh dari kepala daerah berurusan dengan hukum.
Yang sering dipertanyakan publik, mengapa kelas kakap belum bisa disentuh hukum. Misalnya kasus rekening gendut perwira polisi yang hingga hari ini belum diproses. Sungguh aneh ketika petinggi Polri hanya melakukan klarifikasi sepihak. Bagaimana kelas kakap lainnya seperti menteri atau mantan menteri, bisakah disentuh hukum? Masyarakat sudah pasti bisa menjawab.
            Selain itu, rasanya hukum begitu lembek bagi koruptor. Pencuri seekor kambing dihukum lebih berat dari pada pencuri uang rakyat. Pencuri kambing yang tertangkap basah atau telah terbukti, hanya memiliki dua pilihan, yakni babak belur dimassakan atau dijebloskan dengan hukuman yang berat. Padahal si pencuri kambing tersebut terpaksa mencuri demi kebutuhan sejengkal perut. Semenatara koruptor sering bersembunyi di balik hukum. Kalaupun akhirnya dihukum, “tikus berdasi” ini masih santai karena hukumannya ringan. Bahkan rumah tahanan khusus bagi mereka bisa seperti hotel, memiliki fasilitas yang mewah. Itu semua karena mereka memiliki uang. Uang yang bisa mengatur segalanya.
            Pemberantasan korupsi yang tersangkut pada kepentingan politik tampak jelas pada kasus Bank Century. Padahal sidang paripurna DPR tahun lalu melimpahkan kasus ini diproses secara hukum. Tapi apa yang terjadi, kasus yang dulunya panas, lama-lama menjadi dingin dan membeku. Dibekukan oleh kepentingan politik. Apakah memang semua pejabat politik di republik ini sudah terlibat (langsung dan tidak langsung) korupsi?
            Kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan juga semakin memudar. Bagaimana tidak, kedua lembaga penegak hukum ini justru melanggar hukum, melindungi koruptor, dan tak tahan “manis”. Kasus Gayus HP Tambunan yang diduga melibatkan perwira polisi adalah salah satu contoh  Memang lagi-lagi yang dipersalahkan adalah oknum, bukan lembaganya. Tanpa kepolisian dan kejaksaan yang bersih, maka sampai kapan pun pemberantasan korupsi hanya berjalan di tempat. Maka sudah menjadi hukum wajib, pemberantasan korupsi harus dimulai di kedua lembaga ini. Masalahnya siapkah pemerintah?
            Tentu rakyat sudah jenuh dengan pemberantasan korupsi yang tidak bisa tuntas sampai ke akar-akarnya. Semenatara persoalan rakyat makin beranak-pinak. Belum selesai masalah bencana alam, muncul masalah kenaikan harga, dan masalah lainnya yang membuat rakyat makin menderita. Jangan sampai rakyat tidak percaya lagi dengan pejabat negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Ketidakpercayaan itu bisa ditunjukkan melalui dua hal yakni apatis atau melakukan perlawanan.
            Dalam negara demokrasi, rakyat adalah pemberi amanah kepada penyelenggara negara. Artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat melalui wakilnya di DPR. Tetapi masalahnya, DPR (meskipun dipilih rakyat) bukanlah benar-benar wakil rakyat. Melainkan wakil pemilik kepentingan, seperti pengusaha dan partai politik. Di DPR tidak ada fraksi petani, fraksi buruh,  pedagang kaki lima, nelayan, dan kaum miskin. Yang ada adalah fraksi partai politik yang sesungguhnya bukan milik rakyat. Sehingga perjuangan-perjuangan kepentingan rakyat menjadi langka. Sialnya, tidak sedikit anggota dan mantan anggota DPR adalah pelaku korupsi.
            Seandainya DPR memang benar-benar adalah wakil rakyat, maka sudah pasti bisa memiliki kekuasaan mengultimatum pemerintah agar menepati janjinya memberantas korupsi.  Barangkali karena mandulnya kinerja DPR dan pemerintah sehingga beberapa tokoh agama dan LSM gelisah dan menyimpulkan SBY telah berbohong. Sayang tokoh agama ini tidak memiliki kekuasaan mengultimatum presiden agar mengerjakan janjinya.
            Semoga tanpa ada ultimatum, SBY tidak lagi berbohong, melainkan menepati janjinya memimpin pemberantasan korupsi di negeri ini dengan sungguh-sungguh. Demi perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar