Oleh: Jhon Rivel
Purba
Seandainya
Tuhan datang menemui dan mengultimatum Presiden SBY agar memberantas korupsi
sampai ke akar-akarnya selama 100 hari. Dalam ultimatum itu ditegaskan, jika
satu hari saja SBY tidak serius memberantas korupsi, maka satu anggota
keluarganya meninggal pada hari itu juga. 100 hari tidak serius berarti 99
anggota keluarganya meninggal dan ditambah dirinya. Seandainya Tuhan itu
benar-benar mengultimatum SBY dengan ganjaran tersebut, maka kemungkinan besar
Presiden SBY akan bangkit bergerak memimpin pemberantasan korupsi secara tegas
tanpa memandang bulu. Dia tidak akan mengeluh atau lamban seperti yang disoroti
publik selama ini. Dia pasti membuat terobosan maha dahsyat tanpa takut
kehilangan kekuasaannya.
Demikian
juga, seandainya Tuhan mengultimatum semua koruptor di negeri ini yang telah
menghisap uang rakyat (minimal Rp100 juta) supaya dalam tempo 24 jam mengaku
dan menyerahkan diri kepada kepolisian. Dalam ultimatum tersebut juga
ditegaskan, selama koruptor tidak menyerahkan diri maka tiap hari satu anggota
keluarganya meninggal, dan hari ke-100, koruptor yang tidak juga menyerahkan
diri ikut meninggal. Kalau itu benar-benar nyata, maka sudah bisa ditebak,
koruptor akan berbondong-bondong ke kantor polisi, sehingga kantor tidak muat
menampung mereka. Bahkan tidak sedikit polisi yang ikut menyerahkan dirinya.
Lebih parahnya, mungkin SBY pun ikut menyerahkan diri kepada kepolisian.
Persoalannya
adalah Tuhan tidak akan datang mengultimatum Presiden SBY dan para koruptor.
Jadi para koruptor tidak begitu takut dengan upaya pemberantasan korupsi yang
selama ini disuarakan. Kalaupun terbukti bersalah, hukumannya tidak berat. Dari
segi ekonomi masih untung, lebih banyak pemasukan (hasil korupsi) dari pada
pengeluaran. Koruptor tidak mempunyai rasa takut dan malu lagi. Tidak takut
kepada Tuhan, meskipun rajin ke tempat ibadah. Sepertinya itu hanyalah topeng,
padahal sesungguhnya menghambakan diri pada uang dan kekuasaan. Bagi koruptor,
uang adalah Tuhan dan Tuhan adalah uang. Ini sangat memalukan bagi kita sebagai
negara yang beragama.
Bila
dibandingkan dengan orde baru, pemberantasan korupsi di era reformasi ini bisa
dikatakan lebih baik. Sudah banyak pelaku praktik korupsi yang masuk penjara.
Meskipun demikian, itu masih jauh dari harapan reformasi 1998 yang menginginkan
pemerintahan yang bersih dari KKN. Setidaknya ada tiga persoalan mendasar
gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Pertama, belum bisa menjerat
pelaku kelas kakap. Kedua, hukuman ringan bagi koruptor. Ketiga, tersangkut di
bawah kepentingan politik. Keempat, kepolisian dan kejaksaan tidak profesional.
Semua
lembaga/instansi dari pusat hingga daerah, dari Sabang hingga Merauke,
terjangkit korupsi. Otonomi daerah juga justru makin membuat elite-elite daerah
makin “buas” melahap uang rakyat. Bagaimana tidak proses melahirkan kepala
daerah adalah melalui politik uang dan transaksional dengan sektor swasta,
sehingga pejabat yang terpilih didorong untuk korup. Makanya tidak heran,
separuh dari kepala daerah berurusan dengan hukum.
Yang sering
dipertanyakan publik, mengapa kelas kakap belum bisa disentuh hukum. Misalnya
kasus rekening gendut perwira polisi yang hingga hari ini belum diproses.
Sungguh aneh ketika petinggi Polri hanya melakukan klarifikasi sepihak. Bagaimana
kelas kakap lainnya seperti menteri atau mantan menteri, bisakah disentuh
hukum? Masyarakat sudah pasti bisa menjawab.
Selain
itu, rasanya hukum begitu lembek bagi koruptor. Pencuri seekor kambing dihukum
lebih berat dari pada pencuri uang rakyat. Pencuri kambing yang tertangkap
basah atau telah terbukti, hanya memiliki dua pilihan, yakni babak belur
dimassakan atau dijebloskan dengan hukuman yang berat. Padahal si pencuri
kambing tersebut terpaksa mencuri demi kebutuhan sejengkal perut. Semenatara koruptor
sering bersembunyi di balik hukum. Kalaupun akhirnya dihukum, “tikus berdasi”
ini masih santai karena hukumannya ringan. Bahkan rumah tahanan khusus bagi
mereka bisa seperti hotel, memiliki fasilitas yang mewah. Itu semua karena
mereka memiliki uang. Uang yang bisa mengatur segalanya.
Pemberantasan
korupsi yang tersangkut pada kepentingan politik tampak jelas pada kasus Bank
Century. Padahal sidang paripurna DPR tahun lalu melimpahkan kasus ini diproses
secara hukum. Tapi apa yang terjadi, kasus yang dulunya panas, lama-lama
menjadi dingin dan membeku. Dibekukan oleh kepentingan politik. Apakah memang
semua pejabat politik di republik ini sudah terlibat (langsung dan tidak
langsung) korupsi?
Kepercayaan
masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan juga semakin memudar. Bagaimana
tidak, kedua lembaga penegak hukum ini justru melanggar hukum, melindungi
koruptor, dan tak tahan “manis”. Kasus Gayus HP Tambunan yang diduga melibatkan
perwira polisi adalah salah satu contoh
Memang lagi-lagi yang dipersalahkan adalah oknum, bukan lembaganya.
Tanpa kepolisian dan kejaksaan yang bersih, maka sampai kapan pun pemberantasan
korupsi hanya berjalan di tempat. Maka sudah menjadi hukum wajib, pemberantasan
korupsi harus dimulai di kedua lembaga ini. Masalahnya siapkah pemerintah?
Tentu
rakyat sudah jenuh dengan pemberantasan korupsi yang tidak bisa tuntas sampai
ke akar-akarnya. Semenatara persoalan rakyat makin beranak-pinak. Belum selesai
masalah bencana alam, muncul masalah kenaikan harga, dan masalah lainnya yang
membuat rakyat makin menderita. Jangan sampai rakyat tidak percaya lagi dengan
pejabat negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Ketidakpercayaan itu
bisa ditunjukkan melalui dua hal yakni apatis atau melakukan perlawanan.
Dalam
negara demokrasi, rakyat adalah pemberi amanah kepada penyelenggara negara.
Artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat melalui wakilnya di DPR.
Tetapi masalahnya, DPR (meskipun dipilih rakyat) bukanlah benar-benar wakil
rakyat. Melainkan wakil pemilik kepentingan, seperti pengusaha dan partai
politik. Di DPR tidak ada fraksi petani, fraksi buruh, pedagang kaki lima, nelayan, dan kaum miskin.
Yang ada adalah fraksi partai politik yang sesungguhnya bukan milik rakyat.
Sehingga perjuangan-perjuangan kepentingan rakyat menjadi langka. Sialnya,
tidak sedikit anggota dan mantan anggota DPR adalah pelaku korupsi.
Seandainya
DPR memang benar-benar adalah wakil rakyat, maka sudah pasti bisa memiliki
kekuasaan mengultimatum pemerintah agar menepati janjinya memberantas
korupsi. Barangkali karena mandulnya
kinerja DPR dan pemerintah sehingga beberapa tokoh agama dan LSM gelisah dan
menyimpulkan SBY telah berbohong. Sayang tokoh agama ini tidak memiliki
kekuasaan mengultimatum presiden agar mengerjakan janjinya.
Semoga
tanpa ada ultimatum, SBY tidak lagi berbohong, melainkan menepati janjinya
memimpin pemberantasan korupsi di negeri ini dengan sungguh-sungguh. Demi
perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar