Jumat, 21 Desember 2012

Melawan Kemiskinan


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Tidak seorang pun manusia di dunia ini yang menginginkan hidupnya miskin. Melainkan semua manusia berharap bisa hidup sejahtera. Itu jugalah salah satu cita-cita berdirinya republik ini. Namun, harapan tidak menjadi kenyataan. Buktinya, berjuta rakyat terjebak dalam jerat kemiskinan. Ironisnya, para pengambil kebijakan yang seharusnya memerangi kemiskinan, justru terlibat dalam proses pemiskinan.
            Meminjam data Bank Dunia,  sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia yang rentan miskin, mayoritas terdapat di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kurang memerhatikan pembangunan pertanian rakyat. Sehingga tidak mengherankan ketika negara ini mengalami krisis pangan. Sialnya, pemerintah selalu membangga-bangkan pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan versi pemerintah (dari 14,2 persen tahun 2009 menjadi 13,3 persen tahun 2010).  
            Sesungguhnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh para kapitalis dan pejabat pro-kapitalis. Sementara rakyat dieksploitasi dengan upah murah demi kepentingan pemodal. Masuknya para investor asing ke Indonesia memang bisa mengurangi angka pengangguran dalam jangka pendek. Tapi persoalannya, dampak negatif yang muncul sangatlah besar di masa mendatang. Ketergantungan, kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah produknya.
            Sangat mengkhawatirkan jika semua aset bangsa dikuasai oleh asing. Tapi faktanya, hampir semua aset kita sudah dikuasai asing; mulai dari air, minyak, gas, logam, perkebunan, dan aset strategis lainnya. Sementara rakyat dijadikan sebagai pekerjanya. Dimana martabat bangsa ini ketika rakyatnya menjadi pengemis dan pekerja (budak) di tanahnya sendiri. Rasanya kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan keringat dan darah hanya sia-sia karena kini sumber daya alam kita tetap dikuasai asing dengan gaya baru.
Bukan berarti kita harus menutup pintu melawan arus globalisasi. Itu bukanlah solusi yang bijak. Akar masalahnya adalah pemerintah tidak serius melindungi, mengelola, dan mengembangkan produk dalam negeri. Pemerintah lebih taat dengan nasehat-nasehat asing yakni dengan melakukan privatisasi aset-aset negara yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007. Bahkan aset yang strategis seperti minyak dan gas (migas) pun ikut diprivatisasi.
            Privatisasi aset-aset negara sudah jelas tidak bertujuan untuk kepentingan nasional, melainkan demi kepentingan kapitalisme global. Sebagai contoh, meskipun Indonesia termasuk 20 besar negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia, tetapi karena minyak kita diprivatisasi, maka negara ini hanya berfungsi sebagai pendistribusi minyak. Ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan, maka Indonesia kewalahan karena subsidi bahan bakar minyak (BBM) semakin besar. Ujung-ujungnya pemerintah menaikkan harga BBM , yang menyusahkan golongan menengah ke bawah.
Sejalan dengan privatisasi aset-aset negara, pembangunan-pembangunan yang dibuat pun adalah untuk kepentingan pemodal. Pembangunan lebih fokus pada pembangunan fisik yang memuluskan kepentingan pemodal untuk meraup untung yang sebesar-besarnya. Sedangkan pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan yang adil dan bermutu, jauh tertinggal. Justru sistem pendidikan telah terkontaminasi dengan kepentingan pemodal.
            Selain itu, mulusnya produk asing masuk ke Indonesia adalah salah satu persoalan besar karena justru mematikan ekonomi rakyat. Lihatlah mulai kita bangun pagi sampai tidur malam, kita selalu bersentuhan dan memakai produk asing. Mulai dari produk yang sederhana hingga modern, didatangkan dari negara lain. Sebagai negara agraris yang subur, sungguh menyedihkan ketika negara ini mengimpor beras, gandum, kacang kedelai, dan buah-buahan. Demikian juga, sebagai negara maritim dengan luas dua per tiga dari luas wilayah Indonesia, tapi kita masih mengimpor garam dan ikan. Apa yang terjadi dengan negara ini?
Lagi-lagi bukan berarti negara ini harus memberhentikan impor. Persoalannya adalah negara ini mengimpor produk yang sebenarnya masih bisa dihasilkan dan dikembangkan di dalam negeri. Persoalan ini akan mematikan kualitas dan kuantitas produk dalam negeri. Tidak sedikit industri dalam negeri “gulung tikar” akibat serbuan produk asing ke pasar domestik. Akhirnya usaha yang berkembang sekarang adalah usaha memasarkan produk asing di pasar domestik.
Slogan-slogan “mencintai produk dalam negeri” yang selalu didengung-dengungkan tampaknya hanya sebatas retorika. Selama sang pengambil kebijakan tidak melindungi dan mengembangkan produk dalam negeri, maka sesungguhnya slogan-slogan tersebut adalah omong kosong. Penuh kebohongan.
Penjualan aset-aset negara kepada asing dan kebijakan yang tidak melindungi produk dalam negeri, akan membunuh ekonomi rakyat. Sehingga rakyat terjebak dalam kubang kemiskinan. Kemiskinan ini semakin parah akibat perilaku para pejabat (pusat dan daerah) yang asyik melakukan praktik-praktik korupsi.  Otonomi daerah yang bertujuan mempercepat pemerataan pembangunan justru semakin memudahkan raja-raja kecil di daerah merampok uang rakyat. Jika ini terus dipertahankan, maka bisa dipastikan kemiskinan akan semakin menjadi-jadi dan Indonesia menuju negara gagal.
Oleh sebab itu, pemerintah harus bertobat dari kebohongan dan kebijakan sesat. Belum terlambat untuk melakukan perubahan melawan kemiskinan demi terciptanya kesejahteraan rakyat. Pasal 33 UUD 1945 kiranya menjadi fondasi pembangunan ekonomi rakyat. Karena kebijakan yang selama ini telah bertentangan dengan amanat konstitusi, maka sudah saatnya dihentikan sebelum terlambat.
Mencintai produk dalam negeri adalah salah satu solusi melawan kemiskinan. Mencintai produk dalam negeri dalam arti melindungi, mengelola, dan mengembangkan produk dalam negeri demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Produk tersebut bukan hanya barang, tetapi juga produk budaya. Jadi, kebijakan-kebijakan yang dibuat adalah melindungi, mengelola, dan mengembangkan produk negeri dengan modal dan tenaga ahli dari dalam negeri juga.
Dalam melindungi produk dalam negeri, pembatasan impor adalah keharusan. Negara ini boleh mengimpor produk asing, asalkan secara bijak. Misalnya karena produk tersebut tidak ada (minim) di negeri kita, atau karena produk yang diimpor demi mendukung pembangunan nasional. Misalnya mengimpor mesin yang mendukung pembangunan pertanian.
Terakhir, harapan itu harus dimulai dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Jika tidak, kemiskinan akan terus berkembangbiak dan slogan “mencintai produk dalam negeri” hanyalah kebohongan. Sekali lagi, tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik demi bangsa Indonesia.
(Dimuat di Medan Bisnis, 2 Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar