Oleh: Jhon Rivel
Purba
Tidak
seorang pun manusia di dunia ini yang menginginkan hidupnya miskin. Melainkan
semua manusia berharap bisa hidup sejahtera. Itu jugalah salah satu cita-cita
berdirinya republik ini. Namun, harapan tidak menjadi kenyataan. Buktinya,
berjuta rakyat terjebak dalam jerat kemiskinan. Ironisnya, para pengambil
kebijakan yang seharusnya memerangi kemiskinan, justru terlibat dalam proses
pemiskinan.
Meminjam
data Bank Dunia, sekitar 50 persen rumah
tangga di Indonesia
yang rentan miskin, mayoritas terdapat di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah kurang memerhatikan pembangunan pertanian rakyat. Sehingga tidak
mengherankan ketika negara ini mengalami krisis pangan. Sialnya, pemerintah
selalu membangga-bangkan pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan
versi pemerintah (dari 14,2 persen tahun 2009 menjadi 13,3 persen tahun 2010).
Sesungguhnya
pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh para kapitalis dan pejabat pro-kapitalis.
Sementara rakyat dieksploitasi dengan upah murah demi kepentingan pemodal.
Masuknya para investor asing ke Indonesia
memang bisa mengurangi angka pengangguran dalam jangka pendek. Tapi
persoalannya, dampak negatif yang muncul sangatlah besar di masa mendatang. Ketergantungan,
kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah produknya.
Sangat
mengkhawatirkan jika semua aset bangsa dikuasai oleh asing. Tapi faktanya,
hampir semua aset kita sudah dikuasai asing; mulai dari air, minyak, gas,
logam, perkebunan, dan aset strategis lainnya. Sementara rakyat dijadikan
sebagai pekerjanya. Dimana martabat bangsa ini ketika rakyatnya menjadi
pengemis dan pekerja (budak) di tanahnya sendiri. Rasanya kemerdekaan yang
telah diperjuangkan dengan keringat dan darah hanya sia-sia karena kini sumber
daya alam kita tetap dikuasai asing dengan gaya baru.
Bukan berarti
kita harus menutup pintu melawan arus globalisasi. Itu bukanlah solusi yang
bijak. Akar masalahnya adalah pemerintah tidak serius melindungi, mengelola,
dan mengembangkan produk dalam negeri. Pemerintah lebih taat dengan
nasehat-nasehat asing yakni dengan melakukan privatisasi aset-aset negara yang
diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007. Bahkan aset yang strategis seperti minyak
dan gas (migas) pun ikut diprivatisasi.
Privatisasi
aset-aset negara sudah jelas tidak bertujuan untuk kepentingan nasional,
melainkan demi kepentingan kapitalisme global. Sebagai contoh, meskipun Indonesia termasuk 20 besar negara-negara
penghasil minyak terbesar di dunia, tetapi karena minyak kita diprivatisasi,
maka negara ini hanya berfungsi sebagai pendistribusi minyak. Ketika harga
minyak dunia mengalami kenaikan, maka Indonesia kewalahan karena subsidi bahan
bakar minyak (BBM) semakin besar. Ujung-ujungnya pemerintah menaikkan harga BBM
, yang menyusahkan golongan menengah ke bawah.
Sejalan dengan
privatisasi aset-aset negara, pembangunan-pembangunan yang dibuat pun adalah
untuk kepentingan pemodal. Pembangunan lebih fokus pada pembangunan fisik yang
memuluskan kepentingan pemodal untuk meraup untung yang sebesar-besarnya. Sedangkan
pembangunan manusia Indonesia
melalui pendidikan yang adil dan bermutu, jauh tertinggal. Justru sistem
pendidikan telah terkontaminasi dengan kepentingan pemodal.
Selain
itu, mulusnya produk asing masuk ke Indonesia adalah salah satu
persoalan besar karena justru mematikan ekonomi rakyat. Lihatlah mulai kita
bangun pagi sampai tidur malam, kita selalu bersentuhan dan memakai produk
asing. Mulai dari produk yang sederhana hingga modern, didatangkan dari negara
lain. Sebagai negara agraris yang subur, sungguh menyedihkan ketika negara ini
mengimpor beras, gandum, kacang kedelai, dan buah-buahan. Demikian juga,
sebagai negara maritim dengan luas dua per tiga dari luas wilayah Indonesia , tapi
kita masih mengimpor garam dan ikan. Apa yang terjadi dengan negara ini?
Lagi-lagi bukan
berarti negara ini harus memberhentikan impor. Persoalannya adalah negara ini
mengimpor produk yang sebenarnya masih bisa dihasilkan dan dikembangkan di
dalam negeri. Persoalan ini akan mematikan kualitas dan kuantitas produk dalam
negeri. Tidak sedikit industri dalam negeri “gulung tikar” akibat serbuan
produk asing ke pasar domestik. Akhirnya usaha yang berkembang sekarang adalah
usaha memasarkan produk asing di pasar domestik.
Slogan-slogan
“mencintai produk dalam negeri” yang selalu didengung-dengungkan tampaknya
hanya sebatas retorika. Selama sang pengambil kebijakan tidak melindungi dan
mengembangkan produk dalam negeri, maka sesungguhnya slogan-slogan tersebut
adalah omong kosong. Penuh kebohongan.
Penjualan aset-aset
negara kepada asing dan kebijakan yang tidak melindungi produk dalam negeri,
akan membunuh ekonomi rakyat. Sehingga rakyat terjebak dalam kubang kemiskinan.
Kemiskinan ini semakin parah akibat perilaku para pejabat (pusat dan daerah)
yang asyik melakukan praktik-praktik korupsi.
Otonomi daerah yang bertujuan mempercepat pemerataan pembangunan justru
semakin memudahkan raja-raja kecil di daerah merampok uang rakyat. Jika ini
terus dipertahankan, maka bisa dipastikan kemiskinan akan semakin menjadi-jadi
dan Indonesia
menuju negara gagal.
Oleh sebab itu,
pemerintah harus bertobat dari kebohongan dan kebijakan sesat. Belum terlambat
untuk melakukan perubahan melawan kemiskinan demi terciptanya kesejahteraan
rakyat. Pasal 33 UUD 1945 kiranya menjadi fondasi pembangunan ekonomi rakyat.
Karena kebijakan yang selama ini telah bertentangan dengan amanat konstitusi,
maka sudah saatnya dihentikan sebelum terlambat.
Mencintai produk
dalam negeri adalah salah satu solusi melawan kemiskinan. Mencintai produk
dalam negeri dalam arti melindungi, mengelola, dan mengembangkan produk dalam
negeri demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia . Produk tersebut bukan
hanya barang, tetapi juga produk budaya. Jadi, kebijakan-kebijakan yang dibuat
adalah melindungi, mengelola, dan mengembangkan produk negeri dengan modal dan
tenaga ahli dari dalam negeri juga.
Dalam melindungi
produk dalam negeri, pembatasan impor adalah keharusan. Negara ini boleh
mengimpor produk asing, asalkan secara bijak. Misalnya karena produk tersebut
tidak ada (minim) di negeri kita, atau karena produk yang diimpor demi
mendukung pembangunan nasional. Misalnya mengimpor mesin yang mendukung
pembangunan pertanian.
Terakhir,
harapan itu harus dimulai dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Jika
tidak, kemiskinan akan terus berkembangbiak dan slogan “mencintai produk dalam
negeri” hanyalah kebohongan. Sekali lagi, tidak ada kata terlambat untuk
memulai sesuatu yang baik demi bangsa Indonesia .
(Dimuat di Medan Bisnis, 2 Maret 2011)