Jumat, 21 Desember 2012

Melawan Kemiskinan


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Tidak seorang pun manusia di dunia ini yang menginginkan hidupnya miskin. Melainkan semua manusia berharap bisa hidup sejahtera. Itu jugalah salah satu cita-cita berdirinya republik ini. Namun, harapan tidak menjadi kenyataan. Buktinya, berjuta rakyat terjebak dalam jerat kemiskinan. Ironisnya, para pengambil kebijakan yang seharusnya memerangi kemiskinan, justru terlibat dalam proses pemiskinan.
            Meminjam data Bank Dunia,  sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia yang rentan miskin, mayoritas terdapat di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kurang memerhatikan pembangunan pertanian rakyat. Sehingga tidak mengherankan ketika negara ini mengalami krisis pangan. Sialnya, pemerintah selalu membangga-bangkan pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan versi pemerintah (dari 14,2 persen tahun 2009 menjadi 13,3 persen tahun 2010).  
            Sesungguhnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh para kapitalis dan pejabat pro-kapitalis. Sementara rakyat dieksploitasi dengan upah murah demi kepentingan pemodal. Masuknya para investor asing ke Indonesia memang bisa mengurangi angka pengangguran dalam jangka pendek. Tapi persoalannya, dampak negatif yang muncul sangatlah besar di masa mendatang. Ketergantungan, kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah produknya.
            Sangat mengkhawatirkan jika semua aset bangsa dikuasai oleh asing. Tapi faktanya, hampir semua aset kita sudah dikuasai asing; mulai dari air, minyak, gas, logam, perkebunan, dan aset strategis lainnya. Sementara rakyat dijadikan sebagai pekerjanya. Dimana martabat bangsa ini ketika rakyatnya menjadi pengemis dan pekerja (budak) di tanahnya sendiri. Rasanya kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan keringat dan darah hanya sia-sia karena kini sumber daya alam kita tetap dikuasai asing dengan gaya baru.
Bukan berarti kita harus menutup pintu melawan arus globalisasi. Itu bukanlah solusi yang bijak. Akar masalahnya adalah pemerintah tidak serius melindungi, mengelola, dan mengembangkan produk dalam negeri. Pemerintah lebih taat dengan nasehat-nasehat asing yakni dengan melakukan privatisasi aset-aset negara yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007. Bahkan aset yang strategis seperti minyak dan gas (migas) pun ikut diprivatisasi.
            Privatisasi aset-aset negara sudah jelas tidak bertujuan untuk kepentingan nasional, melainkan demi kepentingan kapitalisme global. Sebagai contoh, meskipun Indonesia termasuk 20 besar negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia, tetapi karena minyak kita diprivatisasi, maka negara ini hanya berfungsi sebagai pendistribusi minyak. Ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan, maka Indonesia kewalahan karena subsidi bahan bakar minyak (BBM) semakin besar. Ujung-ujungnya pemerintah menaikkan harga BBM , yang menyusahkan golongan menengah ke bawah.
Sejalan dengan privatisasi aset-aset negara, pembangunan-pembangunan yang dibuat pun adalah untuk kepentingan pemodal. Pembangunan lebih fokus pada pembangunan fisik yang memuluskan kepentingan pemodal untuk meraup untung yang sebesar-besarnya. Sedangkan pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan yang adil dan bermutu, jauh tertinggal. Justru sistem pendidikan telah terkontaminasi dengan kepentingan pemodal.
            Selain itu, mulusnya produk asing masuk ke Indonesia adalah salah satu persoalan besar karena justru mematikan ekonomi rakyat. Lihatlah mulai kita bangun pagi sampai tidur malam, kita selalu bersentuhan dan memakai produk asing. Mulai dari produk yang sederhana hingga modern, didatangkan dari negara lain. Sebagai negara agraris yang subur, sungguh menyedihkan ketika negara ini mengimpor beras, gandum, kacang kedelai, dan buah-buahan. Demikian juga, sebagai negara maritim dengan luas dua per tiga dari luas wilayah Indonesia, tapi kita masih mengimpor garam dan ikan. Apa yang terjadi dengan negara ini?
Lagi-lagi bukan berarti negara ini harus memberhentikan impor. Persoalannya adalah negara ini mengimpor produk yang sebenarnya masih bisa dihasilkan dan dikembangkan di dalam negeri. Persoalan ini akan mematikan kualitas dan kuantitas produk dalam negeri. Tidak sedikit industri dalam negeri “gulung tikar” akibat serbuan produk asing ke pasar domestik. Akhirnya usaha yang berkembang sekarang adalah usaha memasarkan produk asing di pasar domestik.
Slogan-slogan “mencintai produk dalam negeri” yang selalu didengung-dengungkan tampaknya hanya sebatas retorika. Selama sang pengambil kebijakan tidak melindungi dan mengembangkan produk dalam negeri, maka sesungguhnya slogan-slogan tersebut adalah omong kosong. Penuh kebohongan.
Penjualan aset-aset negara kepada asing dan kebijakan yang tidak melindungi produk dalam negeri, akan membunuh ekonomi rakyat. Sehingga rakyat terjebak dalam kubang kemiskinan. Kemiskinan ini semakin parah akibat perilaku para pejabat (pusat dan daerah) yang asyik melakukan praktik-praktik korupsi.  Otonomi daerah yang bertujuan mempercepat pemerataan pembangunan justru semakin memudahkan raja-raja kecil di daerah merampok uang rakyat. Jika ini terus dipertahankan, maka bisa dipastikan kemiskinan akan semakin menjadi-jadi dan Indonesia menuju negara gagal.
Oleh sebab itu, pemerintah harus bertobat dari kebohongan dan kebijakan sesat. Belum terlambat untuk melakukan perubahan melawan kemiskinan demi terciptanya kesejahteraan rakyat. Pasal 33 UUD 1945 kiranya menjadi fondasi pembangunan ekonomi rakyat. Karena kebijakan yang selama ini telah bertentangan dengan amanat konstitusi, maka sudah saatnya dihentikan sebelum terlambat.
Mencintai produk dalam negeri adalah salah satu solusi melawan kemiskinan. Mencintai produk dalam negeri dalam arti melindungi, mengelola, dan mengembangkan produk dalam negeri demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Produk tersebut bukan hanya barang, tetapi juga produk budaya. Jadi, kebijakan-kebijakan yang dibuat adalah melindungi, mengelola, dan mengembangkan produk negeri dengan modal dan tenaga ahli dari dalam negeri juga.
Dalam melindungi produk dalam negeri, pembatasan impor adalah keharusan. Negara ini boleh mengimpor produk asing, asalkan secara bijak. Misalnya karena produk tersebut tidak ada (minim) di negeri kita, atau karena produk yang diimpor demi mendukung pembangunan nasional. Misalnya mengimpor mesin yang mendukung pembangunan pertanian.
Terakhir, harapan itu harus dimulai dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Jika tidak, kemiskinan akan terus berkembangbiak dan slogan “mencintai produk dalam negeri” hanyalah kebohongan. Sekali lagi, tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik demi bangsa Indonesia.
(Dimuat di Medan Bisnis, 2 Maret 2011)

Kenyamanan Bertransportasi Umum: Solusi Mengatasi Kemacetan


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Penyebab utama kemacetan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Medan adalah peningkatan jumlah kendaraan pribadi yang sulit dikendalikan. Sebagai contoh di Jakarta (data tahun 2009), terdapat sekitar 6,7 juta unit kendaraan bermotor. Dari jumlah tersebut, 6,6 juta unit atau 98,5 persen merupakan kendaraan pribadi. Sisanya 91.082 unit atau 1,5 persen adalah angkutan umum (Kompas, 21/2/2011). Padahal, angkutan umum melayani perjalanan lebih banyak dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Hal yang serupa juga dialami Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, yang akhir-akhir ini berjuang melawan kemacetan.
            Meningkatnya pengguna kendaraan pribadi (mobil dan motor) bukan tidak punya alasan. Kemulusan impor kendaraan pribadi, kemudahan kredit, meningkatnya taraf hidup, dan kekurangnyamanan berkendaraan umum, adalah faktor pendorong masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. Akhirnya, jalan raya dipadati kendaraan pribadi yang berkontribusi pada kemacetan. Dan yang pasti merugikan semua pihak. Kerugian itu meliputi pemborosan bahan bakar minyak, polusi udara, mengganggu kesehatan, dan kebisingan. Jika dikalkulasikan pasti mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya.  Tanpa ada kebijakan yang radikal, maka persoalan kemacetan akan menjadi masalah besar ke depan yang mengganggu aktivitas ekonomi.
            Salah satu cara untuk meredam dan mengendalikan peningkatan pemakaian kendaraan pribadi adalah dengan meningkatkan kenyamanan dan keamanan berkendaraan umum. Setidaknya perilaku supir yang ugal-ugalan dan polusi udara yang menyesakkan, membuat penumpang kurang nyaman bertransportasi umum.
Ugal-ugalan
Sopir kendaraan umum berharap agar mendapatkan penumpang yang banyak dan bebas dari kemacetan lalu lintas. Semakin banyak penumpang disertai dengan perjalanan yang lancar otomatis meningkatkan pemasukannya. Sementara penumpang berharap agar perjalanan nyaman, aman, dan lancar menuju tempat tujuan. Artinya sopir dan penumpang sama-sama menginginkan perjalanan yang lancar.
Tetapi di lapangan, harapan sopir dan penumpang sering betolak belakang. Penumpang yang minim, jalan raya yang macet, suara bising, persaingan mendapatkan penumpang semakin ketat, membuat emosi sebagian sopir memanas. Karena targetannya mengejar uang setoran dan kebutuhan hidup, terganggu. Perlombaan merebut penumpang dilakukan dengan ugal-ugalan. Selain itu, ada juga sopir ugal-ugalan karena telah mabuk minuman keras.
Sopir yang ugal-ugalan ini tentu berbahaya, mengancam nyawa penumpang, pengguna jalan raya, dan sopir itu sendiri. Sudah sangat banyak korban kecelakaan lalu lintas akibat sopir ugal-ugalan. Sopir ugal-ugalan juga berkontribusi terhadap kemacetan. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama berbagai pihak seperti aparat, pengusaha kendaraan umum, dan penumpang, guna meminimalisir sopir ugal-ugalan.
Pertama, aparat penegak hukum hendaknya bertindak tegas terhadap sopir ugal-ugalan sesuai peraturan yang berlaku. Tidak ada kompromi bagi yang melanggar peraturan berlalu lintas.
Kedua, pengusaha kendaraan umum harus mengawasi sopir-sopir tersebut, misalnya dengan menerima keluhan-keluhan dari penumpang melalui telepon, surat, dan atau langsung. Sopir yang meresahkan penumpang diberi peringatan, dan apabila tidak bisa lagi ditolerir maka jalan terakhir diberhentikan. Hal itu berarti bahwa pengusaha ikut bertanggungjawab terhadap anak buahnya.
Ketiga, penumpang bisa melaporkan sopir ugal-ugalan kepada aparat dan pengusaha kendaraan umum tersebut. Penumpang juga bisa memberikan perlawanan dan membuat efek jera kepada sopir yang memulai ugal-ugalan dengan meminta turun kemudian menyampaikan alasan atau keluhan kepada sang sopir. Intinya, penumpang melawan cara ugal-ugalan, bukan sopirnya. Dengan demikian, lambat laun sopir yang sering ugal-ugalan menjadi sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap kenyamanan dan keamanan penumpangnya. Sehingga tidak ugal-ugalan lagi.
Polusi udara
            Selain perilaku supir yang ugal-ugalan, polusi udara juga menyebabkan penumpang kurang nyaman menaiki kendaraan umum. Polusi udara yang dimaksud adalah asap rokok. Bagi penumpang yang tidak perokok aktif, sudah pasti sangat dirugikan ketika penumpang lain maupun sopir menghisap rokoknya di dalam angkutan umum. Kondisi yang tidak nyaman ini sering saya alami ketika menaiki angkutan umum. Tidak jarang mayoritas penumpang menyalakan rokoknya, sehingga asap mengepul di dalam angkutan umum. Hal ini benar-benar merugikan penumpang lainnya. Asap rokok itu membuat mata terasa panas dan dada terasa sesak. Lidah terasa berat berucap menegur perokok tersebut apalagi belum saling kenal dan juga belum ada peraturan tertulis melarang merokok di tempat umum yang sifatnya mengikat.
            Saya tidak melarang orang lain merokok. Hanya saja jangan sampai merugikan (kesehatan) orang lain. Merokok di tempat umum sudah jelas merugikan orang lain. Itu intinya. Oleh sebab itu, perlu ada peraturan berupa peraturan daerah (Perda) yang melarang orang merokok di tempat umum, termasuk di dalam kendaraan umum. Jika ini diterapkan, tentu penumpang kendaraan umum sedikitnya merasa lebih nyaman.
Utamakan kenyamanan
            Bagaimanapun juga, semua penumpang menginginkan kenyamanan dalam berkendaraan umum. Itu yang pertama dan terutama. Untuk mencapai harapan tersebut jangan hanya dibebankan kepada supir dan pemilik kendaraan umum, melainkan peran pemerintah sangat dinantikan. Perlu diupayakan agar pengguna kendaraan pribadi beralih pada angkuan umum. Yang jelas, kepentingan umum harus didahulukan dari kepentingan pribadi.
            Membangun terminal yang bersih dan aman, tidak menaikkan pajak kendaraan umum, memberikan subsidi (BBM dan suku cadang), dan membangun tempat penantian kendaraan umum adalah suatu kebijakan yang melindungi kepentingan umum dan menciptakan kenyamanan penumpang.
Untuk mengendalikan dan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi bisa dilakukan dengan meningkatkan beban (pajak, tarif jalan tol, dan parkir) kendaraan pribadi roda empat. Sehingga karena beban pemakaian kendaraan pribadi yang semakin tinggi, sebagian dari mereka beralih ke angkutan umum.
Selanjutnya, angkutan umum massal sudah saatnya dibenahi dan dikembangkan. Selain meningkatkan kualitas pelayanan angkutan umum, peningktan kuantitas juga adalah keharusan. Kendaraan umum yang tidak layak beroperasi hendaknya ditertibkan. Intinya bagaimana agar penumpang merasa nyaman menggunakan angkutan umum, demi kepentingan umum.
            Pelayanan transportasi umum yang baik tentu akan disambut masyarakat dengan baik pula. Di sisi lain, meningkatnya biaya penggunaan kendaraan pribadi akan meredam peningkatan kendaraan pribadi. Sehingga banyak orang memilih menggunakan kendaraan umum.  Dampak positifnya adalah jumlah kendaraan di jalan raya bisa dikendalikan, dan akhirnya masalah kemacetan bisa diantisipasi.
(Dimuat di Harian Analisa, 2 Maret 2011)



Parpol Seharusnya Seperti Sepeda


Oleh: Jhon Rivel Purba

Siapa yang tidak mengenal sepeda? Pasti hampir semua manusia di bumi ini mengenal sepeda. Sebelum dan masa awal kemerdekaan Indonesia, sepeda adalah kendaraan yang sangat populer pada zaman itu. Karena alat kendaraan yang lebih modern dari sepeda seperti motor masih langka. Dulu, orang yang bisa memiliki sepeda adalah golongan menengah ke atas.
            Lain dulu lain sekarang. Seiring perkembangan teknologi transportasi, sepeda bukan lagi menjadi barang mewah. Lambat laun masyarakat mulai meninggalkan sepeda dan beralih ke motor dan mobil. Kita bisa lihat langsung di jalan raya. Sudah sangat jarang seorang mahasiswa atau siswa yang mengayuh sepeda ke kampus atau sekolah. Bahkan kalau di kota-kota besar, lebih banyak siswa yang mengendarai mobil pribadi daripada sepeda. Meskipun jarak yang ditempuh tidak jauh, tetapi banyak masyarakat yang memilih menaiki motor.
            Secara filosofis, mengendari sepeda mengandung beberapa makna, yakni sehat, hemat, dan ramah lingkungan. Dengan membiasakan bersepeda membuat tubuh semakin bugar atau sehat. Juga hemat karena kita tidak perlu mengeluarkan biaya besar. Selain itu, sepeda tidak memakai bahan bakar minyak sehingga ramah lingkungan.
Partai Politik
            Dengan mengendarai sepeda, kita bisa sampai ke tempaat tujuan. Demikian juga untuk mencapai kekuasaan politik dibutuhkan kendaraan. Dalam negara demokrasi, partai politik merupakan kendaraan menuju kekuasaan. Persoalannya, apakah partai politik di negeri ini sudah sehat, hemat, dan ramah lingkungan? Dibutuhkan cermin sejarah untuk menjawab hal ini.
            Pasca kemerdekaan Indonesia, parlemen mendesak pemerintah agar memberikan kesempatan seluas-luasnya mendirikan partai politik. Pemerintah pun memenuhinya melalui Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Akhirnya berdirilah berbagai partai politik baik yang meneruskan partai politik yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan zaman pendudukan Jepang maupun yang baru berdiri sama sekali. Akhirnya, partai politik bermunculan, baik partai politik nasional maupun lokal dengan latar belakang ideologi yang beragam.
            Masa orde lama, apalagi sejak demokrasi liberal/parlementer dijalankan secara penuh di bawah naungan UUDS 1950, perjalanan partai politik tidak sehat. Hal ini ditandai dengan perpecahan politik dalam kubu ideologi Islam dan Nasionalis. Misalnya, pada 1952, Masyumi tinggal Muhammadiyah sedangkan NU menjadi partai politik baru. Selain itu, kepentingan golongan/partai politik lebih menonjol daripada kepentingan negara. Sehingga pemerintahan tak berjalan mulus karena sering terjadi pergantian kabinet yang hanya berumur pendek.
            Orde baru muncul ditandai dengan penyederhanaan (fusi) partai politik pada 1973. Sehingga hanya ada tiga kekuatan politik pada masa itu yakni Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Masalahnya adalah fusi ini bukan kehendak partai politik, melainkan kemauan penguasa orde baru. Sehingga partai politik yang berfusi mengalami guncangan konflik intern berkepanjangan ditambah lagi  intervensi penguasa terhadap partai politik. Sebagai contoh PDI: latar belakang historis,  konflik kepentingan, dan perbedaan ideologi seringkali menyebabkan partai banteng ”tanduk menanduk”.
Sulit menyatukan Partai Murba yang sosialis dengan Partai IPKI yang berwatak militer, tentu cara berpikirnya berbeda. Begitu juga antara Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik, meskipun kitab sucinya sama tapi berbeda secara historis. Sehingga sulit mengakomodir tokoh-tokoh dari masing-masing partai dari pusat sampai ke kabupaten/kota. Apabila ada kelompok yang dominan, maka sering terjadi konflik. Kondisi demikian juga dialami PPP meskipun mempunyai ideologi yang sama. Ini menunjukkan tubuh partai politik tidak sehat.
Memang lagi-lagi partai politik pada masa ini lebih hemat daripada masa sekarang. Cuma Golkar yang lebih boros karena partai politik yang tidak mau mengakui dirinya sebagai partai politik ini didukung oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), birokrat, dan penguasa. Sedangkan PDI dan PPP seolah-olah hanya sebagai ”pelengkap” demokrasi ala Soeharto.
Soal ramah lingkungan (rakyat), PDI dan PPP diceraikan dengan rakyat melalui politik massa mengambang dengan dikeluarkannya UU No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat 1 undang-undang tersebut, struktur kepengurusan partai politik dan Golongan Karya yang bersifat otonom hanya di ibu kota kabupaten/kotamadya. Di kota kecamatan dan desa, struktur kepengurusannya hanyalah merupakan komisaris pembantu atau sebagai pelaksana Pengurus Daerah Tingkat II. Kondisi seperti ini mengakibatkan terputusnya hubungan organisatoris antara partai dengan massa di daerah pedesaan. Yang diuntungkan hanya Golkar, karena golongan ini memanfaatkan fasilitas negara, birokrasi pemerintahan untuk mempengaruhi masyarakat sampai ke desa-desa.
Era Reformasi
Bagaimana di era reformasi? Reformasi yang bergulir sejak 1998 ditandai dengan kebebasan bersuara, berserikat, dan mendirikan partai politik. Partai politik pun menjamur dengan berbagai ideologi. Kita lihat pada1999 jumlah partai politik peserta pemilu berjumlah 48, kemudian pemilu 2004 berjumlah 24 partai, dan pemilu 2009 berjumlah 38 partai.
Tapi lagi-lagi, partai politik tidak sehat yang ditandai dengan konflik internal partai dan partai hanya berfungsi menjelang pelaksanaan pesta demokrasi. Setelah itu hilang bagai ditelan bumi dan muncul kembali menjelang pesta berikutnya.  Fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat belum  terwujud hingga kini. Justru partai politik hanya milik para pemodal dan politisi pro-modal demi kepentingan segelintir orang.
Soal hemat jangan ditanya. Soalnya, partai politik pada masa kini sudah sama dengan perusahaan yang bertujuan mencari laba. Terbukti dengan maraknya politik uang dalam tubuh partai, baik dalam penentuan pengurus partai maupun penentuan calon pemimpin (eksekutif dan legislatif). Dimana-mana uang dihambur-hamburkan demi mendapatkan kursi kekuasaan. Dari 244 pilkada selama tahun 2010, hampir seluruhnya dinodai oleh praktik-praktik politik uang.
Partai juga sudah semakin jauh dari rakyat, tidak ramah. Keramahan hanya tampak pada saat menjelang pemilu dan pilkada dengan menawarkan janji-janji manis kepada rakyat. Ketika kekuasaan didapatkan, maka rakyat kembali ditinggalkan dan dibiarkan terombang-ambing di atas gelombang penderitaan.
Itulah yang menjadi persoalan politik kita pada saaat ini. Sehingga upaya menciptakan masyarakat adil dan sejahtera hanyalah khayalan belaka. Jika kondisi partai politik kita tetap penyakitan, boros, dan jauh dari rakyat, maka perubahan yang selalu  dinantikan rakyat, tidak akan datang. Oleh sebab itu,  partai politik di republik ini perlu belajar dari filosofi sepeda, yakni sehat, hemat, dan ramah lingkungan.
(Dimuat di Medan Bisnis, 24 Februari 2011)

Bersama Mengatasi Krisis Pangan


Oleh: Jhon Rivel Purba

Akhir-akhir ini, penderitaan rakyat akibat kenaikan harga pangan telah membuktikan bahwa pemerintah gagal menepati janjinya mewujudkan swasembada pangan.  Sehingga wajar sejumlah tokoh agama gelisah dan menuduh rezim SBY melakukan kebohongan publik. Pertumbuhan ekonomi yang selalu dibangga-banggakan pemerintah, ternyata tidak sejalan dengan peningkatan daya beli masyarakat. Karena sesungguhnya pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang, yakni para kapitalis dan pejabat pro-modal.
Sementara bagi rakyat miskin, berhadapan dengan kenaikan harga pangan sama halnya dengan mempertaruhkan nyawa. Bagaimana tidak, pilihan bagi rakyat hanya mengurangi jatah makan, atau mengganti makanan pokok yang lebih murah meski berisiko tinggi seperti tiwul, dan atau mengakhiri hidup. Kematian enam anak gara-gara mengonsumsi tiwul, di Jepara beberapa waktu yang lalu, adalah salah satu contoh ketidakberdayaan rakyat menghadapi kenaikan harga beras. Yang pasti,  di negeri yang subur ini, jutaan rakyat masih menderita dalam memenuhi kebutuhan sejengkal perut. Buktinya, sekitar 70 juta dari 237 juta penduduk Indonesia harus antri mendapatkan jatah beras untuk rakyat miskin (raskin).
Pertumbuhan penduduk yang tidak bisa diimbangi dengan peningkatan produksi pangan menyebabkan harga pangan naik. Ujung-ujungnya adalah impor pangan dari negara lain. Persoalan kembali muncul ketika negara-negara pengekspor beras seperti Vietnam telah membatasi ekspornya guna menjamin ketahanan pangan negerinya, tentu membuat negara importir pangan seperti Indonesia, kewalahan.
Jika dikaji lebih dalam, menurunnya produksi pangan dalam negeri tidak hanya disebabkan oleh faktor cuaca dan bencana alam, melainkan karena alih fungsi lahan dan hutan, serta kurangnya keseriusan pemerintah mengembangkan pertanian pangan dan melindungi petani pangan.
Sawitisasi
Salah satu penyebab merosotnya produksi pangan di negeri ini adalah akibat alih fungsi lahan dan hutan. Lahan yang dulunya ditumbuhi tanaman pangan seperti padi, diganti menjadi kelapa sawit. Hutan pun dibabat dan ditanami kelapa sawit. Proses alih fungsi lahan dan hutan yang ditanami kelapa sawit ini disebut sawitisasi.
Sawitisasi diminati oleh para pemilik modal, sehingga investor asing berlomba-lomba menanamkan modalnya di tanah air. Perkebunan kelapa sawit pun terhampar luas. Kini, tanaman kelapa sawit Indonesia terluas di dunia. Tidak bisa dimungkiri, perkebunan kelapa sawit ini menyumbang pertumbuhan ekonomi kita. Hanya saja yang menikmati hasilnya adalah pengusaha (asing dan nasional) dan tuan tanah. Sementara buruh kebun kelapa sawit tidak mendapatkan hak yang selayaknya.
Sangat aneh, di tengah-tengah penderitaan buruh kebun kelapa sawit dan ancaman ketahanan pangan nasional, sawitisasi justru semakin menjamur. Meskipun negara ini sering menghadapi bencana alam seperti banjir, namun penebangan hutan untuk dijadikan lahan kelapa sawit, tak berhenti juga. Di sini tampak jelas bahwa pertimbangan kepentingan ekonomi (sesaat) telah mengalahkan kepentingan ekologi. Konsekuensi logisnya, rakyat semakin terpuruk.
Kerusakan hutan juga mengakibatkan terganggunya irigasi bagi tanaman pangan. Ditambah lagi banjir yang merusak atau menenggelamkan tanaman pangan. Akhirnya, produksi pangan nasional mengalami penurunan, padahal kebutuhan pangan semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk sekitar empat juta jiwa per tahun. Dalam kondisi demikian, sudah barang tentu harga pangan naik. Harga pangan naik, maka rakyat menderita kelaparan.
 Persoalan krisis pangan ini tidak boleh berlarut-larut dibiarkan, apalagi dipolitisasi. Karena sawitisasi adalah salah satu akar masalah krisis pangan pangan, maka sudah seharusnya dihentikan. Biarlah tanaman sawit yang sudah ada diberdayakan. Sudah saatnya fokus menanam tanaman pangan, tanpa merusak alam. Harapan ini bisa menjadi kenyataan jika pemerintah berperan aktif dan sungguh-sungguh memprioritaskan pembangunan pertanian pangan. Rakyat hanya membutuhkan bukti, bukan janji-janji manis.
Tanpa ada kebijakan visioner pro-rakyat dalam menjaga ketahanan pangan, maka rakyatlah yang terus menjadi korban kebijakan. Perlu diwaspadai, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik sosial yang semakin besar jika persoalan ini tidak dituntaskan. Sebab tidak ada kedamaian di tengah-tengah kelaparan.
Oleh sebab itu, dalam menyikapi krisis pangan, pemerintah tidak cukup hanya melakukan operasi pasar. Itu sama saja dengan memadamkan kebakaran. Tetapi hal yang perlu dikerjakan ke depan adalah melindungi petani dan pertanian pangan kita. Misalnya dengan memberikan bantuan subsidi (lahan, modal, bibit, pupuk, obat-obatan, mesin) kepada petani pangan, tanpa praktik-praktik KKN. Pembangunan pertanian pangan bukan hanya bertujuan menjaga ketahanan pangan melainkan juga dalam upaya mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Lalu bagaimana peran sederhana kita?
Partisipasi Masyarakat
Saat ini tak perlu mempersalahkan siapa pun atau mencari kambing hitam. Cukup mencari jalan keluar. Kita berikan kontribusi untuk negeri ini sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. Sebagai pemerintah, jadilah pemimpin yang melayani kepentingan bersama. Demikian juga rakyat biasa, harus berpartisipasi menjaga ketahanan pangan nasional.
Salah satu bentuk partisipasi masyarakat adalah dengan menanam tanaman pangan. Banyak lahan atau ruang kosong yang selama ini tidak dimanfaatkan. Misalnya di sekitar pekarangan rumah, bisa ditanam ubi, jagung dan cabai. Lagian tanaman cabai bisa ditanam dalam pot seperti halnya bunga. Jadi penduduk yang tinggal di kota-kota besar sekali pun bisa menghasilkan produk tanaman pangan, meskipun terbatas untuk kebutuhan rumah tangga. Andaikan ada 10 juta rumah tangga yang menanam cabai di sekitar rumah dengan menghasilkan rata-rata satu kilogram per rumah tangga setiap tahunnya, maka totalnya secara keseluruhan adalah 10 juta kilogram atau 10.000 ton. Jumlah yang lumayan besar. Jika dikalikan dengan harga cabai, katakanlah Rp20.000, maka hasilnya adalah 200 miliar rupiah. Itu belum termasuk perkalian tanaman yang lain. Uang sebesar itu sudah bisa menggaji anggota DPR kita selama beberapa bulan.
Jika kesadaran menanam tanaman pangan ini dimiliki oleh jutaan penduduk Indonesia, maka ketahanan pangan nasional semakin kuat. Bahkan bisa menjadi negara swasembada pangan. Yang perlu ditekankan adalah bahwa menjaga ketahanan pangan bukanlah pekerjaan pemerintah dan petani, melainkan tanggungjawab bersama untuk kepentingan bersama (nasional).
Sekarang, persoalannya adalah bagaimana supaya ajakan menanam tanaman pangan ini bisa disadari dan dilakukan masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerja sama berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga pendidikan, pers, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Dan yang terpenting harus kita mulai dari diri sendiri.
(Dimuat di Harian Analisa, 22 Februari 2011)

Rabu, 19 Desember 2012

Ultimatum Pemberantasan Korupsi


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Seandainya Tuhan datang menemui dan mengultimatum Presiden SBY agar memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya selama 100 hari. Dalam ultimatum itu ditegaskan, jika satu hari saja SBY tidak serius memberantas korupsi, maka satu anggota keluarganya meninggal pada hari itu juga. 100 hari tidak serius berarti 99 anggota keluarganya meninggal dan ditambah dirinya. Seandainya Tuhan itu benar-benar mengultimatum SBY dengan ganjaran tersebut, maka kemungkinan besar Presiden SBY akan bangkit bergerak memimpin pemberantasan korupsi secara tegas tanpa memandang bulu. Dia tidak akan mengeluh atau lamban seperti yang disoroti publik selama ini. Dia pasti membuat terobosan maha dahsyat tanpa takut kehilangan kekuasaannya.
            Demikian juga, seandainya Tuhan mengultimatum semua koruptor di negeri ini yang telah menghisap uang rakyat (minimal Rp100 juta) supaya dalam tempo 24 jam mengaku dan menyerahkan diri kepada kepolisian. Dalam ultimatum tersebut juga ditegaskan, selama koruptor tidak menyerahkan diri maka tiap hari satu anggota keluarganya meninggal, dan hari ke-100, koruptor yang tidak juga menyerahkan diri ikut meninggal. Kalau itu benar-benar nyata, maka sudah bisa ditebak, koruptor akan berbondong-bondong ke kantor polisi, sehingga kantor tidak muat menampung mereka. Bahkan tidak sedikit polisi yang ikut menyerahkan dirinya. Lebih parahnya, mungkin SBY pun ikut menyerahkan diri kepada kepolisian.
            Persoalannya adalah Tuhan tidak akan datang mengultimatum Presiden SBY dan para koruptor. Jadi para koruptor tidak begitu takut dengan upaya pemberantasan korupsi yang selama ini disuarakan. Kalaupun terbukti bersalah, hukumannya tidak berat. Dari segi ekonomi masih untung, lebih banyak pemasukan (hasil korupsi) dari pada pengeluaran. Koruptor tidak mempunyai rasa takut dan malu lagi. Tidak takut kepada Tuhan, meskipun rajin ke tempat ibadah. Sepertinya itu hanyalah topeng, padahal sesungguhnya menghambakan diri pada uang dan kekuasaan. Bagi koruptor, uang adalah Tuhan dan Tuhan adalah uang. Ini sangat memalukan bagi kita sebagai negara yang beragama.
            Bila dibandingkan dengan orde baru, pemberantasan korupsi di era reformasi ini bisa dikatakan lebih baik. Sudah banyak pelaku praktik korupsi yang masuk penjara. Meskipun demikian, itu masih jauh dari harapan reformasi 1998 yang menginginkan pemerintahan yang bersih dari KKN. Setidaknya ada tiga persoalan mendasar gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Pertama, belum bisa menjerat pelaku kelas kakap. Kedua, hukuman ringan bagi koruptor. Ketiga, tersangkut di bawah kepentingan politik. Keempat, kepolisian dan kejaksaan tidak profesional.
            Semua lembaga/instansi dari pusat hingga daerah, dari Sabang hingga Merauke, terjangkit korupsi. Otonomi daerah juga justru makin membuat elite-elite daerah makin “buas” melahap uang rakyat. Bagaimana tidak proses melahirkan kepala daerah adalah melalui politik uang dan transaksional dengan sektor swasta, sehingga pejabat yang terpilih didorong untuk korup. Makanya tidak heran, separuh dari kepala daerah berurusan dengan hukum.
Yang sering dipertanyakan publik, mengapa kelas kakap belum bisa disentuh hukum. Misalnya kasus rekening gendut perwira polisi yang hingga hari ini belum diproses. Sungguh aneh ketika petinggi Polri hanya melakukan klarifikasi sepihak. Bagaimana kelas kakap lainnya seperti menteri atau mantan menteri, bisakah disentuh hukum? Masyarakat sudah pasti bisa menjawab.
            Selain itu, rasanya hukum begitu lembek bagi koruptor. Pencuri seekor kambing dihukum lebih berat dari pada pencuri uang rakyat. Pencuri kambing yang tertangkap basah atau telah terbukti, hanya memiliki dua pilihan, yakni babak belur dimassakan atau dijebloskan dengan hukuman yang berat. Padahal si pencuri kambing tersebut terpaksa mencuri demi kebutuhan sejengkal perut. Semenatara koruptor sering bersembunyi di balik hukum. Kalaupun akhirnya dihukum, “tikus berdasi” ini masih santai karena hukumannya ringan. Bahkan rumah tahanan khusus bagi mereka bisa seperti hotel, memiliki fasilitas yang mewah. Itu semua karena mereka memiliki uang. Uang yang bisa mengatur segalanya.
            Pemberantasan korupsi yang tersangkut pada kepentingan politik tampak jelas pada kasus Bank Century. Padahal sidang paripurna DPR tahun lalu melimpahkan kasus ini diproses secara hukum. Tapi apa yang terjadi, kasus yang dulunya panas, lama-lama menjadi dingin dan membeku. Dibekukan oleh kepentingan politik. Apakah memang semua pejabat politik di republik ini sudah terlibat (langsung dan tidak langsung) korupsi?
            Kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan juga semakin memudar. Bagaimana tidak, kedua lembaga penegak hukum ini justru melanggar hukum, melindungi koruptor, dan tak tahan “manis”. Kasus Gayus HP Tambunan yang diduga melibatkan perwira polisi adalah salah satu contoh  Memang lagi-lagi yang dipersalahkan adalah oknum, bukan lembaganya. Tanpa kepolisian dan kejaksaan yang bersih, maka sampai kapan pun pemberantasan korupsi hanya berjalan di tempat. Maka sudah menjadi hukum wajib, pemberantasan korupsi harus dimulai di kedua lembaga ini. Masalahnya siapkah pemerintah?
            Tentu rakyat sudah jenuh dengan pemberantasan korupsi yang tidak bisa tuntas sampai ke akar-akarnya. Semenatara persoalan rakyat makin beranak-pinak. Belum selesai masalah bencana alam, muncul masalah kenaikan harga, dan masalah lainnya yang membuat rakyat makin menderita. Jangan sampai rakyat tidak percaya lagi dengan pejabat negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Ketidakpercayaan itu bisa ditunjukkan melalui dua hal yakni apatis atau melakukan perlawanan.
            Dalam negara demokrasi, rakyat adalah pemberi amanah kepada penyelenggara negara. Artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat melalui wakilnya di DPR. Tetapi masalahnya, DPR (meskipun dipilih rakyat) bukanlah benar-benar wakil rakyat. Melainkan wakil pemilik kepentingan, seperti pengusaha dan partai politik. Di DPR tidak ada fraksi petani, fraksi buruh,  pedagang kaki lima, nelayan, dan kaum miskin. Yang ada adalah fraksi partai politik yang sesungguhnya bukan milik rakyat. Sehingga perjuangan-perjuangan kepentingan rakyat menjadi langka. Sialnya, tidak sedikit anggota dan mantan anggota DPR adalah pelaku korupsi.
            Seandainya DPR memang benar-benar adalah wakil rakyat, maka sudah pasti bisa memiliki kekuasaan mengultimatum pemerintah agar menepati janjinya memberantas korupsi.  Barangkali karena mandulnya kinerja DPR dan pemerintah sehingga beberapa tokoh agama dan LSM gelisah dan menyimpulkan SBY telah berbohong. Sayang tokoh agama ini tidak memiliki kekuasaan mengultimatum presiden agar mengerjakan janjinya.
            Semoga tanpa ada ultimatum, SBY tidak lagi berbohong, melainkan menepati janjinya memimpin pemberantasan korupsi di negeri ini dengan sungguh-sungguh. Demi perubahan.

Andaikan Saya Bupati Simalungun


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Sebagai pemuda yang lahir dan dibesarkan di tanah Simalungun, saya bangga jika Simalungun maju dan jaya. Maju dalam bidang pendidikan, sosial ekonomi, budaya, dan dalam aspek kehidupan lainnya. Itu wajar karena saya adalah putra Simalungun Indonesia. Secara umum, semua orang juga menginginkan daerahnya maju.
            Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa Simalungun adalah daerah yang kaya. Tanahnya subur, sehingga perkebunan terhampar luas dan mayoritas penduduknya hidup dari pertanian. Selain itu, memiliki peninggalan sejarah dan budaya yang unik. Dengan melihat kekayaan tersebut, sudah seharusnya Simalungun maju dan jaya. Tetapi kenyataan tidak selalu semanis harapan.
            Setidaknya ada tiga persoalan pokok di Simalungun, barangkali sama dengan daerah lain. Pertama, persoalan kesejahteraan rakyat. Banyak petani khususnya di pedalaman, hidup miskin. Persoalannya bukan karena malas bekerja, melainkan karena faktor struktural (kebijakan) yang tidak pernah berpihak kepada mereka.
            Kedua, persoalan pendidikan. Seiring dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, tidak sedikit dari masyarakat yang mengurungkan niatnya mengecap pendidikan karena tak mampu secara ekonomi. Saya pikir ini juga persolan yang dialami oleh seluruh rakyat miskin di negeri ini. Tidak bisa mengecap pendidikan karena miskin, dan miskin karena tak “berpendidikan”.
            Ketiga persoalan budaya. Ada kesan bahwa Simalungun menuju kehilangan identitas. Banyak generasi Simalungun yang tidak tahu bahasa dan adat istiadatnya, lebih senang berbahasa daerah lain padahal dirinya bermarga dan dilahirkan di Simalungun. Ada kecenderungan  generasi Simalungun menerima dan menggunakan bahasa orang lain yang datang ke Simalungun. Misalnya, ketika orang Karo memasuki daerah Simalungun, maka penduduk setempat menerimanya dengan berbahasa Karo. Atau ketika orang Toba datang, maka penduduk setempat menyambutnya dengan bahasa Toba.
            Oleh karena itu, daerah Simalungun yang berbatasan dengan tanah Karo atau dimasuki oleh orang Karo, maka lambat laun daerah tersebut berbahasa Karo. Contoh daerah ini adalah Saribu Dolok. Demikian juga, daerah Simalungun yang dimasuki orang Toba, maka daerah itu mulai berbahasa Toba. Contohnya di Pematang Siantar, ibu kota Simalungun sebelum Pematang Raya. Di Pematang Siantar, bahasa Toba adalah bahasa pasaran. Datanglah ke Pasar Horas atau Parluasan, bahasa yang umum digunakan di sana bukanlah bahasa Simalungun, melainkan Toba.
            Hampir-hampir setiap saya menaiki bis dari Pematang Raya menuju Pematang Siantar dan atau dari Pematang Raya menuju Kaban Jahe, sopir bis jarang memutar lagu-lagu Simalungun. Padahal sopir dan mayoritas penumpangnya adalah generasi Simalungun. Artinya, generasi Simalungun cenderung tidak mempertahankan bahasa dan adat istiadatnya. Memang tidak semua generasi Simalungun seperti itu.
            Persoalan budaya bukan hanya soal bahasa dan adat istiadat, tetapi juga soal nilai-nilai budaya yang memudar. Misalnya nilai-nilai kebersamaan. Tahun 1990-an ketika saya masih di bangku sekolah dasar (SD), masyarakat petani masih sering bekerja sama di ladang atau sawah secara berganti-gantian, dikenal dengan istilah haroan. Tetapi sekarang, semangat haroan (gotong-royong) itu sudah mulai ditinggalkan. Semangat ini jugalah yang tidak diterapkan dalam membangun Simalungun.
            Tahun lalu, JR Saragih terpilih menjadi bupati Simalungun. Harapan masyarakat kepada bupati yang tidak didukung partai besar ini , sangatlah luar biasa. Apalagi beliau menjanjikan perubahan. Perubahan yang diharapakan masyarakat adalah bebas dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakberdayaan. Tetapi seiring bergantinya waktu, perubahan yang dikerjakan bupati ini tampaknya tidak (belum) sejajar dengan harapan masyarakat.
            Pematang Raya yang dulunya tidak memiliki bandara, kini berubah karena sedang dibangun bandara di sana sejak Desember 2010 lalu. Barangkali, itulah salah satu perubahan yang dikerjakan bupati Simalungun. Perubahan seperti ini tidak diharapkan masyarakat, karena bukan kepentingan publik, apalagi itu bukanlah pembangunan yang prioritas. Lebih baik membangun jalan raya yang rusak, karena itu menyangkut kepentingan publik.
            Sudah pasti, arah pembangunan daerah yang sudah otonom ditentukan oleh sang kepala daerah bersangkutan, meskipun memang tidak terlepas dari seluruh elemen masyarakat. Kepala daerahlah yang harus merangkul semua pihak untuk mewujudkan pembangunan. Hanya saja persoalannya, sering rangkulan itu diikat oleh transaksi politik dan ekonomi. Sehingga pembangunan keluar dari jalur, tidak menyentuh persoalan rakyat. Di sinilah perlu pengawasan dari masyarakat, pers, dan organisasi kemasyarakatan (ormas). Yang menjadi persoalan, pengawasan itulah yang belum kuat di daerah. Apalagi organisasi kemasyarakatan lebih condong mendekatkan diri dengan kekuasaan. 
Saya kaget, 15 Januari 2011 lalu, bupati Simalungun dilantik menjadi ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Presidium Partuha Maujana Simalungun (PMS) periode 2010-2015 (Medan Bisnis, 17/2011). Dalam hati saya bertanya, apakah lembaga sosial budaya ini miskin kaderisasi? Apakah lembaga ini perpanjangan tangan pemerintah daerah? Atau barangkali supaya JR Saragih bisa merangkul semua tokoh-tokoh Simalungun. Demi kepentingan siapa, masyarakat atau segelintir elite? Semogalah lembaga sosial budaya terbesar di Simalungun ini tidak dipolitisasi.
Andaikan
Andaikan saya bupati Simalungun, maka prioritas pembangunan yang dikerjakan adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan budaya. Pemberdayaan adalah kunci membuka gerbang kesejahteraan rakyat. Roda birokrasi digerakkan memberdayakan masyarakat melalui pemberian bantuan subsidi, penyuluhan, dan perlindungan. Misalnya bagi petani diberikan suntikan modal, lahan, bibit, pupuk, dan mesin pertanian. Pembangunan juga diupayakan untuk melindungi dan memuluskan usaha petani, misalnya pembangunan jalan sampai ke pelosok desa, pembangunan irigasi, dan pembangunan industri pengolahan hasil pertanian.
Dalam bidang pendidikan diupayakan bagaimana semua anak Simalungun itu bisa mengecap pendidikan yang bermutu. Jadi kata kuncinya adalah adil dan bermutu. Agar semua anak bisa mengecap pendidikan, maka sekolah negeri (dasar hingga menengah atas) digratiskan. Bagi yang kurang mampu diberikan kemudahan (subsidi) dari kas daerah ditambah dari pusat yakni Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pokoknya, semua anak Simalungun bisa mengecap pendidikan. Titik.
Selanjutnya dalam pelestarian budaya Simalungun, yang pertama dan terutama dibangun adalah generasi mudanya, bukan bangunan fisik. Pendidikan sebagai pewaris budaya sangat strategis membina generasi muda yang berpikir global bertindak lokal. Pelestarian budaya dalam pendidikan formal bisa melalui mata pelajaran muatan lokal, misalnya sejarah dan budaya Simalungun. Tentu siswa bukan hanya diajari mengetahui, melainkan memahami dan membudayakan nilai-nilai budaya yang relevan.
Juga perlu mendorong seniman, sastrawan, budayawan, sejarawan, dan antropolog Simalungun berkarya membangun budaya Simalungun. Bahkan pusat sejarah dan budaya, serta perpustakaan dan museum Simalungun perlu dibangun untuk menggali dan melestarikan budaya Simalungun. Pelestarian sejarah dan budaya diarahkan mempertahankan identitas Simalungun sekaligus bisa menghasilkan pendapatan daerah dari wisatawan nantinya.
Barangkali itu hanya mimpi yang muluk-muluk. Meskipun memang semua berawal dari mimpi (visi). Sekali lagi, andaikan saya buipati Simalungun, maka sisa kekuasaan yang saya miliki digunakan untuk membangun Simalungun yang adil, makmur, dan berbudaya. Tetapi saya bukan bupati Simalungun, saya hanyalah anak petani di Simalungun  yang “gila” bermimpi. Oleh sebab itu, saya harus sadar dan mengakhiri tulisan ini dengan harapan bupati Simalungun yang sekarang, membuat kebijakan pro-rakyat.

Pembangunan yang (tak) Berpihak pada Rakyat


Oleh: Jhon Rivel Purba

Awal Januari 2011 yang lalu, ketika saya melewati jalan raya dari Pematang Raya menuju Kota Medan, timbul kekecewaan di benak saya. Bagaimana tidak, jalan yang saya lewati berlubang-lubang. Di sekitar Raya Bayu, terdapat kerusakan yang sangat parah. Jalan raya sudah seperti tempat kubangan kerbau karena terdapat genangan air di badan jalan. Tampaknya belum ada tanda-tanda pembangunan jalan raya ini. Kerusakan jalan tersebut tentu merugikan banyak pihak, termasuk saya.
            Sungguh tak masuk akal ketika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun yang dipimpin DR JR Saragih merencanakan pembangunan bandara di Pematang Raya. Padahal, permasalahan jalan raya yang rusak saja belum dituntaskan. Proses pembangunan bandara di Pematang Raya, Kabupaten Simalungun, yang dimulai sejak Desember 2010, setidaknya menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, apakah pembangunan bandara sudah menjadi prioritas? Kedua, apakah pembangunan tersebut demi kepentingan masyarakat Simalungun?
            Logika Pemkab Simalungun yang memandang bahwa pembangunan Bandara bertujuan mempercepat pembangunan dan meningkatkan kunjungan wisatawan, adalah sesuatu yang keliru. Saya katakan keliru dari kaca mata rakyat kecil, bukan pemodal atau pengusaha. Maka sebenarnya perlu dipertanyakan, percepatan pembangunan yang seperti apa diharapkan oleh Pemkab Simalungun.
            Jika pembangunan menitikberatkan pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan modal dan teknologi, maka sesungguhnya model pembangunan tersebut adalah warisan Orde Baru. Dimana pembangunan dikendalikan oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan modal dan kekuasaan. Sehingga yang dibangun adalah fisik, demi memudahkan kepentingan ekonomi para pemodal/pengusaha.
            Sekilas bercermin pada masa Orde Baru, sejak Soeharto memegang tampuk kekuasaan, pintu kapitalisme global terbuka lebar. Wajah republik ini pun cepat berubah dengan maraknya pembanguna fisik seperti jalan raya, pelabuhan, listrik, bandara, dan lainnya yang mendukung kepentingan kapitalis (asing). Pertumbuhan ekonomi pun mengalami kenaikan, hanya saja secara makro. Tetapi kenyataannya rakyat semakin kehilangan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.
            Dalam situasi yang demikian, tidak sedikit (pihak yang diuntungkan) yang memuja-muja Soeharto sebagai bapak pembangunan. Lembaga pendidikan pun digiring membesarkan nama jenderal besar berbintang lima ini selama puluhan tahun. Pada akhirnya terbukti, pembangunan model Orde Baru memiliki kerapuhan, sehingga tak mampu menghadapi krisis ekonomi 1997. Akibat dari model pembangunan ini juga yang akhirnya memaksa Soeharto turun dari kursi kepresidenan pada 1998.
            Tentu kita prihatin, semangat otonomi daerah sebagai salah satu buah reformasi ternyata tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Justru melahirkan raja-raja kecil di daerah yang berselingkuh dengan para pemodal. Ujung-ujungnya pembangunan dijadikan sebagai proyek mencari keuntungan. Pembangunan tambal sulam pun menjamur hinga ke desa-desa.
Barangkali itulah keluhan banyak masyarakat, dimana reformasi tidak menghadirkan pemimpin sejati yang berpihak kepada rakyat. Kursi kekuasaan dari pusat hingga daerah masih dominan diduduki oleh elite lama pro status quo bermental korup ditambah kaum reformis gadungan yang pragmatis. Memang melahirkan pemimpin sejati membutuhkan proses pemulihan mengingat depolitisasi Orde Baru selama 32 tahun. Rakyat pasti semakin cerdas.
            Kembali menyoal pembangunan bandara di Kabuapten Simalungun, saya pikir pembangunan ini buknalah prioritas utama yang harusnya dikerjakan oleh Pemkab Simalungun. Prioritas dalam arti penting dan mendesak. Juga, pembangunan ini bukanlah kebutuhan masyarakat banyak. Kalau dikatakan demi mempercepat proses pembangunan, tidak masuk akal juga. Karena jalan raya saja belum bagus, buat apa membangun bandara dengan biaya yang cukup besar. Lagian, perjalanan dari Pematang Raya menuju Bandara Polonia, Medan, masih bisa ditempuh dalam waktu 3-4 jam dengan tarif Rp20.000 sampai Rp30.000. Siapa nantinya yang akan menaiki pesawat dari Bandara Pematang Raya tersebut? Tidak lain dan tidak bukan adalah golongan menengah ke atas (pengusaha atau pejabat pro-modal). Tentu tarifnya ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
            Kalau melalui pembangunan bandara ini diharapkan meningkatkan kunjungan wisatawan, perlu juga dilihat sisi yang lain, katakanlah daerah objek wisata di Simalungun, sejauh ini kurang mendapat perhatian. Misalnya Parapat, Haranggaol, Rumah Bolon Purba, dan objek wisata lainnya. Alangkah lebih baiknya jika jalan raya dan daerah objek wisata dibenahi terlebih dahulu. Minimnya kunjungan wisatawan dalam pesta Danau Toba beberapa waktu lalu yang diadakan di Parapat, menjadi satu bukti pentingnya pembenahan objek wisata ke depan.
            Pembangunan bandara dengan cara swadaya  dengan melibatkan pengusaha-pengusaha di Simalungun ini, seperti yang dikatakan oleh Bupati Simalungun (Harian Global, 4/12/2010), menimbulkan pertanyaan mendasar. Setidaknya, apa kepentingan para pengusaha tersebut? Logika pengusaha sudah pasti mencari keuntangan (jangka pendek, menengah, dan panjang). Artinya, pengusaha yang ikut berkontribusi akan mendapatkan balasan atau “kue” kepentingan ekonomi dari  pembangunan bandara.
            Sebenarnya tidak ada masalah dalam pembangunan bandara, hanya saja harus terlebih dahulu memprioritaskan pembangunan yang berhubungan langsung dengan kepentingan orang banyak. Pembangunan berkeadilan yang sejalan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bukan pembangunan yang memuluskan kepentingan segelintir orang.
            Sejatinya, pembangunan bertujuan untuk mrewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan makmur. Memang selama ini pembangunan di negara kita bertolak belakang dari tujuan semula. Pembangunan menciptakan yang kuat bertambah kuat dan yang lemah bertambah lemah. Inilah namanya pembangunan eksploitatif, yang tak berpihak pada rakyat, melainkan kepada pemilik modal.
            Sudah menjadi hukum wajib, pembangunan berpihak kepada rakyat. Bagaimana agar rakyat itu bisa mandiri dan sejahtera. Berdikari dalam ekonomi, seperti yang dikatakan Soekarno. Oleh sebab itu, pemerintah berkewajiban melindungi dan memberdayakan masyarakat, misalnya memberikan bantuan (subsidi, penyuluhan, pelatihan) kepada petani, pelaku usaha kecil menengah (UKM), dan kaum miskin. 
Selanjutnya, cara strategis menciptakan masyarakat mandiri adalah melalui pendidikan bermutu yang berkeadilan. Jika semua warga negara betul-betul bisa mengecap pendidikan, pasti bangsa ini bangkit dari keterpurukan. Artinya, pembangunan pendidikan sangat strategis menentukan peradaban bangsa.
            Pembangunan pendidikan inilah hendaknya diseriusi pemerintah di seluruh daerah di Indonesia, termasuk di Simalungun. Alangkah bijak jika semangat otonomi daerah dijadikan pemerintah daerah untuk membangun pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan pro-rakyat. Adakah pemerintah daerah yang memberikan pendidikan gratis bagi rakyat? Adakah pemerintah daerah yang serius dan sungguh-sungguh membangun pendidikan? Rakyat menantinya.

Minggu, 02 Desember 2012

Pilkada, Politik Uang, dan Korupsi

Oleh: Jhon Rivel Purba

Secara teoritis, desentralisasi politik bertujuan untuk mendistribusikan kekuasan sentralistik menjadi lebih merata ke tingkat lokal demi kesejahteraan rakyat. Namun dalam kenyataannya, desentralisasi menjadi lahan basah bagi raja-raja di daerah. Pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi ajang pertarungan memperebutkan istana kekuasaan di daerah. Pertarungan yang mengandalkan kekuatan modal melalui politik uang. Ini bukan rahasia lagi, sebab di depan mata kita proses transaksi ini menjamur menjelang dan saat pilkada. Hanya saja fakta politik ini agak sulit menjadi fakta hukum.
            Dari 244 pilkada selama tahun 2010, hampir seluruhnya dinodai oleh praktik-praktik politik uang. Tak ada kucing yang menolak ikan. Demikian juga kebanyakan masyarakat yang tergiur dengan uang. Apalagi dalam kondisi yang miskin, sangat aneh jika masyrakat pemilih tidak menerima uang tersebut. Yang menjadi persoalan adalah masyarakat pemilih memilih calon kepala daerah yang telah memberikan sejumlah uang atau barang lainnya. Padahal uang itu adalah umpan yang nantinya menjadi racun demokrasi. Sehingga harapan rakyat dalam lima tahun akan menjadi kesengsaraan. Bagimana tidak, pasca pilkada, kepala daerah menjauh dari rakyat dan semakin merapat kepada pemodal. Akhirnya, rakyat kecil tergusur.
            Apapun ceritanya tak mungkin seorang calon kepala daerah yang telah menghabiskan uang miliran rupiah dalam kampanye, akan membuat program-program kerakyatan jika nantinya ia terpilih. Sudah pasti yang dikerjakan adalah bagaimana mengembalikan modalnya dan atau membayar utangnya kepada investor/pengusaha. Ujung-ujungnya, kepala daerah melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika dalam proses mencari kekusaan saja calon kepala daerah melakukan praktik-praktik korupsi, maka sudah pasti ketika berkuasa akan melanjutkan praktik yang sama. Maka tidak heran, banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
            Berdasarkan catatan Kompas, selama 2005 hingga 2010, sejumlah Gubernur dan Wakil Gubernur terseret masalah korupsi. Diantaranya adalah Abdullah Puteh (Gubernur NAD), Djoko Munandar (Gubernur Banten), Ali Mazi (Gubernur Sulawesi Tenggara), Suwarna Abdul Fatah (Gubernur Kalimantan Timur), Aminuddin Ponulele (Mantan Gubernur Sulawesi Tengah), Sjachriel Darham (Mantan Gubernur Kalimantan Selatan), Lalu Serinata (Gubernur NTB), Saleh Djasit (Mantan Gubernur Riau), Danny Setiawan (Mantan Gubernur Jawa Barat), Agusrin Maryono Namajuddin (Gubernur Bengkulu), Anthony Zeidra Abidin (Wakil Gubernur Jambi), Syahrial Oesman (Mantan Gubernur Sumatera Selatan), Freddy Sualang (Wakil Gubernur Sulawesi Utara), Ismeth Abdullah (Gubernur Kepulauan Riau), Rudy Arifin (Gubernur Kalimantan Selatan), dan Syamsul Arifin (Gubernur Sumatera Utara). Mereka sebagian sudah divonis dan sebagian lagi masih dalam proses pemeriksaan.
            Praktik-praktik korupsi yang dilakukan pejabat daerah tidak terlepas dari lemahnya partisipasi politik rakyat. Selama ini, dalam berpolitik, rakyat selalu dijadikan objek. Apalagi uang dan isu primordial lebih ampuh menjaring suara rakyat, dari pada melihat rekam jejak dan kualitas calon kepala daerah. Jika ini terus berlanjut, maka praktik korupsi akan terus subur. Tetapi pembangunan rakyat akan semakin tandus. Oleh sebab itu, dalam melawan politik uang dan korupsi, harus sejalan dengan kecerdasan berpolitik rakyat, menutup ruang politik bagi politisi busuk, dan pendidikan anti korupsi.
            Kecerdasan berpolitik rakyat bukan hanya dipahamai bagaimana memilih calon kepala daerah sesuai nurani (rasional). Tetapi lebih dalam lagi, bagaimana agar rakyat mempunyai posisi tawar politik dan mempersiapkan calon pemimpin yang berasal dari rakyat itu sendiri. Memang mengharapkan pemilih yang rasional saja sudah agak sulit apalagi mempunyai posisi tawar politik. Kita bisa lihat dalam perjalanana pilkada di berbagai daerah. Sangat aneh, ketika calon kepala daerah yang tersangka korupsi bisa dipilih mayoritas pemilih. Dari penelitian Indonesia Corruption Watch, lima petahana tersangka korupsi memenangi pilkada periode 2010-2015 (Kompas, 8/10/2010). Ada apa dengan pemilih? Sudah barang tentu pemilih menentukan pilihannya berdasarkan kedekatan emosional dengan si calon.
Harapan mendapatkan pendidikan politik dari partai politik sudah agak kabur. Sebab partai politik hanya sibuk dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan. Untuk itu, peran organisasi mahasiswa, pers, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat dinantikan mencerdaskan rakyat.
            Ruang politik bagi politisi busuk yang mengandalkan kekuatan modal melalui politik uang, hendaknya ditutup. Tidak masalah jika pemilih menerima uangnya, tetapi jangan sekali-kali memilihnya karena uang yang telah diberikan. Maka dengan sendirinya politik uang ke depan akan berkurang karena tak mampu lagi menjerat suara rakyat. Selain itu, politisi yang telah terbukti melakukan korupsi sudah saatnya diasingkan. Sehingga tak ada ruang politik bagi koruptor. Harus ada pemahaman dasar bahwa koruptor itu lebih berbahaya dari pada teroris, pembunuh, dan setan terkutuk sekali pun.
            Dalam jangka panjang, pemberantasan korupsi semakin baik jika generasi muda mempunyai kesadaran hukum dan berintegritas. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang mencetak calon pemimpin bangsa harus mempertisiapkan generasi yang jujur, berkarakter, dan anti korupsi. Pendidikan anti korupsi yang rencananya masuk ke dalam kurikulum pendidikan tahun 2011 adalal langkah yang bijak. Tapi yang terpenting adalah kesadaran untuk melawan korupsi, bukan pengetahuan tentang korupsi.
            Selanjutnya, upaya pemberantasan korupsi yang dipimpin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu kita dukung bersama. Segala pihak yang ingin melemahkan upaya pembernatasan korupsi atau yang melindungi para koruptor adalah lawan kita.
(Dimuat di Medan Bisnis, 30 Oktober 2010)

Akar Persoalan Keterpurukan Bangsa

Oleh: Jhon Rivel Purba

Pertanyaan mendasar yang sering muncul ke permukaan adalah: apakah negara yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya selama 65 tahun ini, benar-benar sudah merdeka? Merdeka dalam arti berdaulat dalam segala aspek kehidupan bernegara. Untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut, tentu kita harus melihat situasi global dan nasional saat ini.
Situasi Global
            Situasi global saat ini ditandai dengan pertarungan bangsa-bangsa dalam membangun pengaruh demi kepentingan ekonomi. Setelah runtuhnya Uni Soviet sebagai panglima kubu sosialis, maka kubu kapitalis yang dikomandani Amerika Serikat semakin menunjukkan pengarunya di muka bumi ini. Dunia yang sekarang diwarnai perdagangan bebas, krisis energi, krisis pangan, dan krisis lingkungan hidup.
Perdagangan bebas yang dimotori oleh negara-negara maju/industri melalui WTO, WB, dan IMF, pada dasarnya adalah bagaimana agar produk industri dari negara-negara maju bisa disebarkan ke seluruh dunia dan bagaimana agar negara maju bisa mengeksploitasi kekayaan alam negara berkembang.
Era perdagangan bebas ditandai dengan kebutuhan energi yang semakin banyak, sementara jumlah energi terbatas. Negara yang paling banyak menggunakan energi adalah Amerika Serikat, yakni sepertiga dari pemakaian energi di dunia. Untuk memenuhi kebutuhan dan cadangan energinya, maka berbagai penghisapan dilakukan terhadap negara penghasil minyak. Oleh sebab itu, negara adikuasa ini sangat berkepentingan terhadap negara penghasil minyak bumi, seperti negara-negara di Timur Tengah.
Perdagangan bebas hanya menguntungkan negara-negara industri. Sementara negara-negara berkembang selalu menjadi objek penindasan yang menyebabkan kemiskinan. Dari 6,6 miliar penduduk bumi, sekitar 925 juta penduduk terancam kelaparan. Dari jumlah tersebut, banyak terdapat di Indonesia, negara yang katanya subur tetapi rakyatnya lapar. FAO mencatat setiap 6 detik seorang anak mati kelaparan di jagad raya ini.
Eksploitasi alam yang berlebihan menyebabkan rusaknya lingkungan hidup. Salah satu akibatnya adalah pemanasan global. Sehingga negara-negara industri mengalihkan perhatian dan mengharapkan negara berkembang seperti Indonesia untuk menjaga hutannya. Ini adalah suatu ketidakadilan global.
Selain itu, isu terorisme semakin mendunia sejak peristiwa pemboman gedung WTC 11 September 2001. Terorisme pun akhirnya menjadi musuh dunia. Bahkan di Indonesia, isu ini terus menghiasi media. 
Situasi Nasional
Adapaun berbagai persoalan yang mengakibatkan bangsa ini terus terpuruk, diantaranya adalah: aset-aset negara dikuasai asing (melalui privatisasi BUMN dan aset-aset strategis lainnya seperti minyak dan gas), pasar domestik dibanjiri produk asing (menggulung industri rakyat dan menjadikan Indonesia menjadi negara yang tergantung pada asing), utang luar negeri semakin meningkat, kenaikan harga barang (tak terlepas dari kenaikan BBM dan TDL), krisis listrik (seringkali terjadi pemadaman listrik, khususnya di Jawa dan Bali), kemiskinan (sekitar 31 juta jiwa penduduk Inonesia hidup miskin, dan mayoritas tinggal di pedesaan), pengangguran (sekitar 8,59 juta penduduk usia kerja menganggur), kelaparan (sekitar 14,7 juta orang kurang gizi, khususnya di Indonesia bagian Timur, seperti di NTT), bencana alam (sesungguhnya akibat ekslpoitasi yang berlebihan), sawitisasi (pengalihfungsian lahan pertanian menjadi lahan kelapa sawit), kecelakaan transportasi, korupsi (baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif), kekerasan (mengatasnamakan agama dan kelompok, serta kekerasan dari negara itu sendiri), aksi-aksi perampokan yang diduga dilakukan kelompok teroris, masalah perbatasan dengan negara tetangga, komersialisasi pendidikan (semakin memarjinalkan golongan menengah ke bawah), dan berbagai persoalan lainnya.
Akar Persoalan
            Situasi yang terjadi sekarang di negara ini bukan kebetulan atau berdiri sendiri. Persoalan tersebut saling berhubungan dengan yang lain dan mempunyai hubungan kausalitas (sebab-akibat). Karena persolan sekarang adalah produk masa lalu. Ada beberapa hal yang menyebabkan bangsa ini tetap terpuruk.
Pertama, situasi nasional dikendalikan kepentingan kapitalisme global (negara maju). Metode penjajahan sekarang bukan lagi dengan kekuatan militer (senjata) melainkan melalui ekonomi (perdagangan). Dalam hal ini negara maju mengintervensi ekonomi Indonesia melalui pinjaman, perjanjian perdagangan, penanaman modal, dan relokasi industri
Kedua, kebijakan nasional mengikuti arus neoliberalisme. Segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia sudah dirasuki oleh neoliberalisme. Pendidikan, kesehatan, pertanian, energi, dan perdagangan telah diserahkan kepada pasar melalui pengurangan atau pencabutan subsidi.
Ketiga, perselingkuhan antara penguasa dengan pemodal. Pada umumnya penguasa berasal dari pengusaha, atau penguasa ditopang oleh pengusaha. Sehingga kekuasaan digunakan untuk mengembangbiakkan kepentingan modal dan melindungi para pemodal. Tentu yang menjadi tumbal adalah rakyat (buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin kota).
Keempat, mandulnya penegakan hukum. Kepercayaan publik terhadap penegakan hukum semakin menurun. Hal ini karena aparat penegak hukum sendiri yang melanggar hukum. Koruptor dilindungi hukum, dengan hukuman yang seringan-ringannya, ditambah lagi remisi. Sementara rakyat kecil yang dihukum seberat-beratnya. Frustrasi masyarakat terhadap ketidakadilan hukum bisa jadi ditunjukkan dengan perilaku kekerasan.
Beberapa Pertanyaan
Dengan melihat situasi nasional, apakah negara ini masih berdaulat? Siapa yang diuntungkan atau berkepentingan dari situasi nasional saat ini? Jika situasi nasional tetap dipertahankan, negara ini mau ke mana? Apakah kita hanya diam atau menonton persoalan nasional? Bagaimana peran kita?
(Dimuat di Medan Bisnis, 26 Oktober 2010)

Menggugat Korporatisasi Pendidikan

Oleh: Jhon Rivel Purba

Bapak pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, ketika mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, berharap agar pendidikan bisa menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka. Merdeka dari belenggu penjajahan, penindasan, kekerasan, kemiskinan, kelaparan, kebodohan dan ketidakberdayaan. 
Hal yang sama juga ditegaskan seorang tokoh pendidikan dari Amerika Latin, Paulo Freire, dalam bukunya "Pendidikan Kaum Tertindas". Menurutnya, pendidikan adalah media pembebasan untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Membebaskan kaum tertindas dari penjara penindasan.
            Timbul pertanyaan, apakah pendidikan kita telah membentuk manusia merdeka dan menjadi media pembebasan? Tentu jawabannya beragam. Tapi untuk menjawabnya, kita bisa melihat realitas yang ada. Misalnya wajah kemiskinan, kebodohan, kekerasan dan ketidakberdayaan rakyat. 
            Lantas, siapa yang patut dipersalahkan? Prof MT Zen menjawab, bahwa departemen pendidikanlah yang merusak pendidikan. Sejak Indonesia merdeka 65 tahun silam hingga saat ini, pendidikan tidak dijadikan sebagai media strategis untuk membangun bangsa. Justru pendidikan berada dalam himpitan politik, sebagai alat penguasa melanggengkan kekuasaannya. 
            Tampak jelas di masa orde baru, melalui pendidikan, generasi muda diajari dan dipaksa mengagumi Soeharto sebagai pahlawan dan bapak pembangunan. Distorsi sejarah pun disebarkan. Sehingga pendidikan tidak lagi berfungsi untuk mencerahkan alam pemikiran, melainkan menjinakkan pikiran dengan doktrinisasi penguasa.
            Kebobrokan dunia pendidikan diperparah lagi dengan budaya korupsi yang merasuki jiwa dan tindakan para penyelenggara pendidikan dari pusat hingga ke sekolah-sekolah. Departemen pendidikan yang seharusnya bersih dari korupsi, justru menjadi salah satu departemen terkorup di republik ini. Konsekuensi logisnya adalah pembangunan pendidikan terhambat. 
            Reformasi 1998 memberi ruang dan harapan untuk melakukan perubahan, khususnya dalam bidang pendidikan. Sudah 12 tahun reformasi berjalan, tapi angin segar reformasi pendidikan tak berhembus juga. Jutaan rakyat tidak bisa mendapatkan hak-hak dasarnya mengecap pendidikan bermutu secara adil. Semakin mahalnya biaya pendidikan membuat rakyat miskin tak mampu mengecap pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan disebabkan oleh komersialisasi pendidikan secara sistematis dan legal melalui korporatisasi pendidikan. 
Korporatisasi Pendidikan
            Aktivis pendidikan, Darmaningtyas, dalam tulisannya mengartikan korporatisasi sebagai perusahaan besar yang memisahkan antar kepemilikan saham dan manajemen. Sedangkan korporatisasi pendidikan adalah proses pembentukan korporasi dalam dunia pendidikan (Kompas, 22/12/2008). Akhir-akhir ini, korporatisasi pendidikan semakin tumbuh. Bukan hanya di perguruan tinggi (PT), tetapi sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) juga ikut-ikutan.
            Secara legal, proses pembentukan korporasi dalam dunia pendidikan dimulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan. Dilanjutkan lagi dengan PP Nomor 152-155 tahun 2000 tentang Pembentukan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Teknik Bandung (ITB) menjadi PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Univeritas Airlangga (Unair), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Sumatera Utara (USU) kemudian ikut menyusul masuk dalam PT BHMN. 
            Untuk menyelenggarakan pendidikan, PT BHMN mencari dana dengan mendirikan badan usaha, kerja sama dengan pemilik modal, membuka jalur penerimaan mahasisa dengan pungutan mahal, menaikkan uang kuliah, dan komersialisasi fasilitas kampus. Sebagai contoh, USU sebagai salah satu PT BHMN, tahun ajaran 2010 menaikkan uang kuliah 100% untuk mahasiswa baru. Selain itu membuka kelas-kelas mandiri dan internasional dengan uang kuliah puluhan juta rupiah.
            Sudah barang tentu, orang miskin semakin sulit mengecap pendidikan di kampus karena mahalnya biaya pendidikan. Apalagi mahasiswa yang diterima melalui jalur subsidi semakin sempit. Bercermin dari harapan Ki Hadjar Dewantara, mustahil pendidikan bisa memerdekaan rakyat dari belenggu kemiskinan, jika orang miskin dilarang mengecap pendidikan. 
            Korporatisasi pendidikan ini menjadikan kampus sebagai pabrik, dosen/pengajar sebagai buruh dan mahasiswa sebagi produk. Mungkin karena itulah, USU mendengungkan slogan University for Industry. Mahasiswa sebagai produk dipolesi agar siap menjadi pekerja-pekerja (budak) di pasar bebas.
            Tidak cukup sampai di situ, korporasi dalam dunia pendidikan kemudian dilegalkan melalui Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disahkan pada 17 Desember 2008. Ini lebih parah. Sebab UU BHP ditujukan pada semua lembaga pendidikan formal dari SD hingga PT. Memang, pada akhirnya UU ini dicabut pada 31 Maret 2010 lalu oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Masalahnya tidak bisa menghentikan korporatisasi pendidikan. Semangat otonomi pendidikan tetap mekar.
            Korporatisasi pendidikan dari tingkat SD hingga SMA atau sederajat juga terjadi. Hal ini tampak jelas dengan adanya sekolah-sekolah tertentu yang menjual status, yakni Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Kementerian Pendidikan Nasional mencatat, pada 2009, program RSBI diikuti 136 SD, 300 SMP, 118 SMK dan 320 SMA (Kompas, 26/5/2010). Dari jumlah tersebut, program RSBI di Sumatera Utara terdiri dari 9 SD, 11 SMP, 16 SMK, dan 11 SMA. 
            Dengan status bertaraf internasional, tarif yang dikenakan kepada siswanya juga sangat besar. Orang yang bisa masuk ke sekolah ini hanyalah orang kaya. Bagaimana tidak, supaya bisa diterima di sekolah ini, siswa harus membayar uang jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Belum lagi termasuk uang sekolah ratusan ribu rupiah setiap bulannya. Bagaimana dengan orang miskin? Yang pasti gerbang bagi siswa miskin tertutup untuk mengecap pendidikan di RSBI. 
            Sesungguhnya korporatisasi pendidikan sudah bertentangan dengan konstitusi kita. Korporatisasi pendidikan secara halus telah melarang orang miskin mengecap pendidikan. Oleh sebab itu, korporasi dalam dunia pendidikan harus dihentikan.
(Dimuat di Medan Bisnis, 22 September 2010)

Membebaskan Indonesia dari Jebakan Utang

Oleh: Jhon Rivel Purba

Semakin meningkatnya jumlah utang Indonesia tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pada masa lalu. Pembayaran utang serta bunga utang yang jatuh tempo, biasanya dibayar dengan membuat utang baru. Model seperti ini dinamakan pengelolaan utang secara konvensional. Ibarat gali lubang tutup lubang. 
            Konsekuensi logis dari pengelolaan utang seperti ini justru meningkatkan jumlah utang negara. Utang inilah yang akan kita wariskan kepada anak-cucu kita. Selama kurun waktu 10 tahun, dari 2000 hingga 2010, jumlah kenaikan utang kita sekitar Rp 420 triliun. Rata-rata Rp 42 triliun per tahun. Hingga per Agustus 2010, total utang sebesar Rp 1.654,19 triliun. Kalau dibagikan dengan 230 juta penduduk, maka jumlah utang setiap penduduk adalah sekitar Rp 7.192.000. Jumlah yang sangat besar. 
            Parahnya, untuk membayar utang dan cicilan utang, pemerintah juga menjual aset-aset negara strategis melalui privatisasi BUMN dan migas. Alasannya adalah karena dana dari APBN tidak cukup untuk membayar utang. Selain itu, tidak sedikit BUMN yang setiap tahunnya defisit. Mengapa dana dari APBN tidak cukup? Mengapa BUMN sering defisit? Itu sebenarnya yang harus dijawab dengan jujur. 
            Bagaimanapun juga, ekonomi bangsa ini tak akan bisa mandiri selama utang makin menumpuk dan aset-aset negara dikuasai oleh pemilik modal. Jika tradisi pengelolaan utang secara konvensional dan penjualan aset-aset negara terus dilakukan, maka ekonomi kita akan semakin lemah. Mengakibatkan peningkatan kemiskinan, pengangguran, ketidakberdayaan, dan ketergantungan kepada negara lain.
            Seperti yang ditegaskan Profesor David T Elwood, Dekan Harvard Kennedy School, bahwa tanpa ekonomi yang kuat tak akan bisa menghapuskan kemiskinan. Sehingga wajar saja kemiskinan terus menjadi persoalan klasik di negara ini karena lemah dalam ekonomi. Tidak bisa mandiri (berdikari) dalam ekonomi seperti yang diperjuangkan oleh  pendiri bangsa, Soekarno. 
            Oleh karena itu, harus dicari solusi untuk mengurangi utang negara dan menghentikan penjualan aset-aset negara. Memang ini bukanlah hal yang mudah. Tetapi ini demi masa depan bangsa. Yang perlu dipikirkan dan dikerjakan adalah bagaimana meningkatkan pendapatan negara dan melakukan efisiensi penggunaan APBN. 
            Salah satu upaya meningkatkan pendapatan negara adalah melalui pemberantasan korupsi. Lihat saja, korupsi yang dilakukan oleh pegawai pajak Gayus Tambunan telah merugikan uang negara miliaran rupiah. Dia itu masih pegawai biasa golongan menengah. Bagaimana pula dengan petingginya? Tentu uang negara yang dilahapnya juga semakin besar. Apalagi penyakit korupsi ini menyebar dimana-mana dan sifatnya sudah berjemaah, sehingga sulit disentuh hukum. 
            Kalau kita jujur, tidak bisa dipungkiri bahwa hampir semua lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dinodai praktek-praktek korupsi. Dari pusat hingga daerah. Lembaga hukum saja korupsi. BUMN selalu defisit sudah pasti karena korupsi. Tetapi lagi-lagi, tidak bisa diproses secara hukum. Justru pelaku korupsi bersembunyi di balik hukum. 
            Seandainya dikalkulasikan, jumlah uang yang dikorupsikan oleh semua pelaku korupsi, pasti sangat besar, triliunan rupiah. Sudah bisa mengurangi utang negara bahkan melunasinya dalam tempo beberapa tahun. Agak sulit memang mengharapakan lembaga penegak hukum mengingat lembaga ini juga bermasalah. Harapan kita, sembari menunggu reformasi di tubuh lembaga penegak hukum adalah pada komisi pemberantasan korupsi (KPK). 
            Selain itu, penambahan pendapatan negara bisa juga melalui peningkatan pajak yang dibebankan bagi orang kaya. Misalnya pajak kendaraan bermotor, khusunya mobil pribadi atau pun kendaraan mewah. Ini juga sejalan dengan meredam peningkatan jumlah kendaraan di Indonesia sehingga mengurangi kemacetan, kebisingan, pencemaran udara, dan pengurangan impor. 
            Masih banyak lagi hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan negara, misalnya, membangun industri pariwisata dengan memperhatikan kearifan lokal dan lingkungan. Selain menambah devisa, juga meningkatkan ekonomi rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. 
            Selanjutnya, efisiensi penggunaan APBN mutlak dilakukan. Prioritas pembangunan hendaknya melihat hal yang strategis, berjangka panjang dan berdampak luas. Misalnya dalam hal pendidikan, kesehatan, pertanian, kelautan, dan program-program pemberdayaan masyarakat. Rencana pembangunan gedung baru DPR yang menganggarkan dana dari APBN sebesar Rp 1,6 triliun, bukanlah hal yang strategis. Atau kunjungan "jalan-jalan" DPR ke luar negeri hanyalah pemborosan. 
            Jika beberapa hal di atas bisa berjalan dengan baik dan bersih, maka perlahan tapi pasti, Indonesia akan bebas dari jebakan utang tanpa menjual aset-aset negara. Dengan demikian, ekonomi negara ini makin kuat, mandiri. Sehingga kemiskinan akan sendirinya berkurang. Mungkinkah?
(Dimuat di Medan Bisnis, 18 September 2010)