Rabu, 13 Februari 2013

Perkebunan Kelapa Sawit (Kepentingan) Siapa?


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Dalam memperingati satu abad perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ada dua kubu yang berbeda pandangan mengenai pengembangan sawit. Kubu pertama adalah pihak pengusaha sawit, yakni Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Sedangkan kubu kedua adalah gabungan 35 lembaga swadaya masyarakat (LSM).
            Syukurlah, Medan Bisnis sebagai harian ekonomi cukup independen, dan pemberitaannya berimbang soal perbedaan pandangan tersebut. Dimana pada halaman pertama edisi 29 Maret 2011, dua berita besar ditampilkan. Berita tersebut berjudul “Industri Sawit Masih Terhambat Black Campaign” dan “35 LSM Tolak 20 Juta Ha Perkebunan Baru”. Dua judul berita ini mewakili pandangan dua kubu yang berbeda.  
            Kubu LSM yang fokus pada permasalahan perkebunan, menolak wacana pemerintah dan pengusaha, untuk membuka lahan baru perkebunan seluas 20 juta hektar. Penolakan itu bukan tidak punya alasan. Alasan utamnya adalah karena pembukaan perkebunan kelapa sawit tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru yang tampak ke permukaan adalah konflik antara masyarakat (adat) dengan pengusaha, upah buruh rendah, beban kerja berat, dan bahkan tanpa ada jaminan kerja.
            Berbeda dengan LSM, pihak pengusaha (Gapki) melihat perkebunan sawit dari aspek ekonomi. Kontribusi kelapa sawit terhadap devisa negara yang mencapai US$ 14,1 miliar dan penyumbang terbesar kedua setelah migas, dijadikan sebagai alasan perlunya pengembangan sawit di Tanah Air. Bagi mereka, penolakan sejumlah LSM tersebut adalah kampanye negatif dan tidak benar. Bagaimanapun juga, logika pengusaha adalah hitungan untung-rugi.
Tidak hanya pengusaha, Ketua DPRD Sumut, Saleh Bangun, juga menyatakan bahwa sawit adalah sahabat rakyat dan sudah terbukti memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Seolah-olah pernyataan beliau itu mewakili suara rakyat, khususnya masyarakat perkebunan di Sumut. Sementara bagi pemerintah, perkebunan sawit dinilai menghasilkan pemasukan negara dan mengurangi pengangguran.
Kepentingan Siapa?
            Tak bisa dimungkiri, perkebunan sawit menghasilkan pemasukan negara yang cukup besar. Tapi persoalannya, mampukah meningkatkan kesejahteraan rakyat? Apakah perluasan perkebunan sawit sudah menjadi prioritas? Pernyataan pemerintah dan pemilik modal bahwa perkebunan sawit adalah sahabat rakyat dan menyejahterkan masyarakat, tidaklah benar. Pertanyaannya, masyarakat yang mana?
            Memang, tidak sedikit masyarakat yang makmur karena memiliki perkebunan sawit. Mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Mungkin masyarakat seperti inilah yang dimaksud pemerintah dan pengusaha. Padahal, masyarakat seperti ini adalah “tuan tanah” yang tidak bisa mewakili masyarakat Indonesia. Mereka memiliki lahan yang luas, sehingga wajar bisa sejahtera.
Bagaimana dengan mayoritas rakyat yang tidak memiliki lahan yang cukup? Sekitar 60 persen rumah tangga petani adalah petani gurem, yakni petani yang hanya memiliki lahan sekitar 0,5 hektar. Jika mereka ikut menanam sawit di tanah yang sempit, maka siap-siaplah menunggu kesengsaraan. Sebab kalau pun sawitnya berbuah, itu tidak akan cukup memenuhi kebutuhannya. Persoalannya, sawit yang ditanam tidak bisa langsung berbuah. Butuh waktu beberapa tahun. Sang petani pun terpaksa menjadi buruh, buruh kebun sawit.
Pada umumnya, buruh kebun sawit hidup sengsara. Mereka menerima upah yang tak layak, sementara beban dan resiko kerja sangat berat. Parahnya, perkebunan sudah seperti negara dalam negara. Terjadi penindasan dengan sistem yang rapi dan mapan. Salah satu contohnya adalah dengan adanya Buruh Harian Lepas (BHL) tanpa ikatan kerja.
Ketika pemerintah mendukung pengembangan sawit dengan alasan mengurangi pengangguran, maka bersiap-siaplah warga negara menjadi budak perkebunan. Artinya pemerintah menginginkan warga negaranya menjadi “sapi perahan” pengusaha. Kalau pandangan seperti ini dilanjutkan, ke depan rakyat akan menjadi budak dan pengemis di tanahnya sendiri. Mereka akan mengemis kepada “tuan-tuan” pemilik modal. Karena pengemis semakin menjamur, sang tuan pun mempunyai posisi tawar tinggi. Syarat agar rakyat diberi pekerjaan yakni; siap bekerja dengan upah rendah, tak boleh kritis, patuh dan taat kepada pengusaha, dan siap dipecat tanpa pesangon.
Sungguh benar pernyataan yang mengatakan bahwa sejarah perkebunan adalah sejarah penindasan. Yang tertindas adalah buruh. Sementara pengusaha “bermain mata” dengan pemerintah. Itu terbukti hingga hari ini. Dan pengusaha tidak menginginkan anak buruh menjadi cerdas, karena akan mengganggu kepentingannya. Anak buruh diupayakan akan tetap menjadi buruh. Maka sistem pendidikan pun tidak pernah berpihak kepada anak buruh. Dengan kata lain, perkebunan sawit tidak memakmurkan rakyat. Hanya menguntungkan si pemilik modal.
Sangat mengherankan, di saat negeri ini mengalami krisis pangan, perhatian pemerintah tercurah pada pengembangan sawit. Padahal perluasan perkebunan sawit dikhawatirkan akan mengurangi produksi pangan. Bagimana tidak, lahan yang seharusnya ditanami tanaman pangan, justru ditanami sawit. Akhirnya produksi pangan relatif tetap bahkan mengalami penurunan, sementara kebutuhan pangan selalu naik tiap tahunnya akibat pertumbuhan penduduk. Ujung-ujungnya terjadilah krisis pangan. Dan lagi-lagi pemerintah di negeri agraris ini mengimpor pangan dari negeri asing. Seharusnya persoalan panganlah yang menjadi prioritas pemerintah.
Selain itu, pembukaan perkebunan sawit sudah jelas-jelas merusak lingkungan. Hutan dirambah, lalu dibakar. Pembakaran lahan itu berkontribusi terhadap kerusakan lapisan ozon. Penggundulan hutan itu juga merusak ekosistem dan merusak irigasi. Jika dikalkulasikan, kerusakan lingkungan yang disebabkan pembukaan lahan dan perluasan perkebunan sawit sangat besar, bahkan bisa melebihi keuntungan ekonominya.
Dalam hal sosial-buudaya juga, perluasan perkebunan sawit seringkali menyebabkan konflik sosial. Konflik tersebut antara masyarakat (adat) dengan korporat, antara buruh dengan pengusaha, dan antara sesama masyarakat. Dan pihak keamanan dan preman tidak jarang melakukan tindakan represif terhadap masyarakat. Konflik itu bisa karena penggusuran, perebutan lahan, dan persoalan lainnya.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengkaji ulang dan menghentikan ekspansi perkebunan sawit. UU yang memuluskan kepentingan pemodal mengeksploitasi potensi alam di negeri ini, seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, hendaknya dicabut. Kita negara Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan segelintir orang (pengusaha). Sedangkan negara liberal sekali pun tidak selonggar itu membuat perundang-undangan yang membuka ruang penanaman modal asing di negerinya. 
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 2 April 2011)

Harapan Baru pada Gubsu


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Sejak 21 Maret, Gatot Pujo Nugroho resmi diangkat menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/P Tahun 2011. Gatot yang sebelumnya menjabat Wakil Gubsu, menggantikan Syamsul Arifin yang diberhentikan sementara karena sudah berstatus terdakwa terkait kasus korupsi APBD Kabupaten Langkat.
            Sebenarnya sejak Syamsul Arifin ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tahun lalu, sudah banyak pihak mengatakan bahwa Gatot akan menggantikannya sebagai Gubsu. Sehingga pergantian ini bukanlah hal yang aneh karena mengikuti arus peraturan yang berlaku.
            Meskipun demikian, bila dicermati secara mendalam, kepemimpinan Syamsul-Gatot bisa dikatakan kurang harmonis apalagi sejak Syamsul Arifin ditetapkan sebagai tersangka. Anehnya, sebelum Syamsul berstatus terdakwa, suhu politik sudah mulai memanas menyangkut posisi Wakil Gubsu jika Gatot menjadi Gubsu.
            Dari sini bisa kita lihat, bahwa pergantian tersebut sudah dinanti-nantikan oleh beberapa pihak karena menyangkut kepentingan. Di pihak lain, pergantian ini juga bisa menjadi mimpi buruk bagi beberapa elite daerah. Terlepas dari itu semua, masyarakat Sumut pasti mempunyai harapan baru pada Gubsu baru.
Komitmen Gatot dan Harapan Masyarakat
            Pada 23 Maret lalu ketika Gatot hadir dalam pertemuan silaturahim dengan para pimpinan media di Medan, beliau mengatakan berkomitmen memprioritaskan pembangunan infrastruktur di segala bidang guna mengembangkan dan menggerakkan roda perekonomian. Beliau juga berkomitmen mengembangkan potensi sumber daya alam dengan membuat program unggulan. Selain itu, menurutnya pertumbuhan ekonomi masyarakat daerah perlu dipacu dengan meningkatkan investasi di semua sektor. Terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah perbaikan birokrasi.
            Sungguh masuk akal komitmen yang disampaikan oleh Gatot. Persoalan infrastrukur di Sumut misalnya; persoalan jalan berlubang, jembatan rusak, krisis listrik, dan masalah air bersih, merupkan persoalan yang harus segera dibenahi. Hal ini mengingat infrastruktur tersebut menyangkut kepentingan masyarakat. Bagaimanapun juga pembangunan ekonomi akan terhambat jika infrastruktur tidak memadai atau rusak. Maka wajar, jika Gatot memprioritaskan pembangunan ini.
            Sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, jika bisa dikelola dengan baik pasti menciptakan kesejahteraan masyarakat. Bahkan kemiskinan dan pengangguran akan cepat berkurang jika potensi alam tersebut digali dan dikembangkan. Program unggulan pengembangan potensi alam tersebut hendaknya mengandalakan modal dan sumber daya manusia dalam negeri. Juga, tetap memerhatikan kelestarian lingkungan hidup dan masyarakat sekitar.
            Dalam perbaikan birokrasi, adalah hal yang wajar jika gatot mengevaluasi kinerja seluruh jajaran Pemerintah Sumatera Utara, khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sebab hanya dengan birokrasi yang bersih dan berkomitmen, proses pembangunan berjalan dengan baik. Hanya saja, janganlah evaluasi birokrasi ini diwarnai nepotisme untuk kepentingan politik dan ekonomi segelintir orang, termasuk kepentingan Gatot sendiri. Atau lebih parahnya, persiapan politik menjelang 2013 dan 2014.
            Komitmen Gatot yang ingin membangun Sumut tentu disambut masyarakat dengan sejuta harapan di dada. Masyarakat berharap agar pembangunan infrastruktur dan pengembangan potensi alam di daerah-daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Yang pasti masyarakat menginginkan pembangunan itu adalah demi kepentingan umum.
            Pembangunan itu janganlah dijadikan sebagai “proyek” memperkaya diri sebagaimana kebiasaan banyak kepala daerah di negeri ini. Pembangunan itu harus berkualitas bukan asal jadi atau tambal sulam. Juga ramah lingkungan. Kesalahan-kesalahan pembangunan yang rapuh di masa lalu tak baik dilanjutkan. Perlu ditekankan, bahwa pemabangunan itu adalah untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pemodal dan penguasa. Jadi, pembangunan itu harus melindungi dan memberdayakan buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, kaum miskin, serta kaum yang terpinggirkan selama ini.
Berpijak pada Visi
            Adapun visi Syamsul Arifin ketika berpasangan dengan Gatot Pujo Nugroho saat kampanye pada 2008 lalu adalah agar rakyat Sumut tidak lapar, tidak bodoh, tidak sakit, dan sejahtera. Oleh sebab itu, Gatot sebagai Pj Gubsu harus tetap berpijak pada visi awal dan melanjutkannya. Visi tersebut hendaknya diterjemahkan ke dalam program-program pembangunan yang pro-rakyat Sumut.
            Rakyat Sumut lapar adalah karena dibelennggu kemiskinan dan pengangguran. Supaya rakyat tak lapar maka kemiskinan dilawan. Program-program perlawanan terhadap kemiskinan sudah mendesak diterapkan. Itu bisa terjawab bukan dengan pembangunan fisik dan bantuan tunai seperti selama ini. Justru kalau dilihat secara kritis, pembangunan yang mengatasnamakan rakyat selama ini justru semakin memiskinkan dan menyiksa rakyat, membahagiakan pemilik modal.
            Yang penting adalah bagaimana supaya rakyat Sumut bisa dilindungi dan diberdayakan. Misalnya melindungi dan mengembangkan usaha kecil menengah, menaikkan upah dan posisi tawar buruh, memberdayakan petani, melindungi produk lokal Sumut dari ancaman impor, melindungi pedagang tradisional, membuka lapangan pekerjaan baru, dan memanfaatkan segala potensi daerah untuk rakyat.
            Sementara, agar rakyat tak bodoh maka jalan satu-satunya adalah memberikan akses pendidikan yang seluas-luasnya kepada seluruh rakyat Sumut secara bermutu dan berkeadilan. Intinya, orang miskin bisa mengecap pendidikan yang layak. Apa pun ceritanya, tanpa pendidikan, rakyat tak akan cerdas. Perlu ada kebijakan khusus dalam pendidikan di Sumut yang mewajibkan seluruh warga yang berusia sekolah, mengecap pendidikan hingga sekolah menengah. Tanpa hal itu, rakyat tak akan cerdas. Yang cerdas hanyalah orang kaya.
            Selanjutnya, agar rakyat tidak sakit, maka pencegahan dan pengobatan penyakit hendaknya diperhatikan. Pada umumnya, rakyat miskin lebih dekat dengan penyakit karena faktor pendidikan, lingkungan, dan keterbatasan dana untuk berobat. Bukan rahasia lagi di Sumut, pihak rumah sakit sering menolak kedatangan orang miskin karena tidak memiliki uang. Bahkan orang miskin yang memiliki jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) pun sering dinomorduakan dalam pelayanan kesehatan. Apalagi yang tidak memiliki uang dan Jamkesmas. Ini terjadi karena dunia kesehatan sudah diserahkan kepada pasar. Padahal kesehatan adalah hak dasar seluruh warga negara. Sudah menjadi hukum wajib, pemerintah daerah dalam hal ini Gubsu menjamin semua warga bisa mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi.
            Kemudian, memberantas korupsi juga merupakan tugas rumah Gubsu, apalagi dengan mengingat Sumut sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Membenahi birokrasi seperti yang akan dikerjakan Gubsu kiranya demi menciptakan birokrasi yang bersih. Bukan sekadar menciptakan birokrasi yang seirama selangkah dengan kemauan Gubsu. Pemberantasan korupsi harus dimualai dari Gubsu sendiri. Mantan Ketua DPW PKS ini harus berada di barisan terdepan dalam memberantas korupsi di Sumut.
            Terakhir, Gubsu hendaknya bisa merangkul semua elemen masyarakat dalam upaya mewujudkan visi tersebut. Keberagaman masyarakat Sumut bisa menjadi potensi besar menciptakan provinsi yang maju. Hingga akhirnya Sumut sebagai “Indonesia mini” bisa menjadi daerah paling bersih, maju, rukun, sejahtera, dan berbudaya. Semoga! 
(Dimuat di Harian Analisa, 2 April 2011)

Membangun Jalan (Membangun) Ekonomi


Oleh: Jhon Rivel Purba

Ketika pers membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk menyampaikan berbagai keluhan seputar pelayanan publik dan permasalahan lainnya, berbagai keluhan pun bermunculan. Salah satu keluhan masyarakat yang sering menghiasi media adalah persoalan jalan berlubang dan rusak. Sehingga persoalan jalan rusak menjadi berita yang “menarik”. Hampir-hampir setiap hari media menampilkan berita tersebut.
Bahkan keluhan pertama Kapoldasu  baru, Irjen Wisjnu Amat Sastro, sejak bertugas di Medan pada Maret 2011 adalah kondisi jalan Medan-Berastagi yang tidak nyaman untuk dilalui. Tapi bagaimanapun juga, masyarakat yang sering melalui jalan itu sudah pasti lebih mengeluh lagi.
Namun, pemerintah kurang menanggapi keluhan masyarakat ini. Paling-paling pihak terkait hanya menjanjikan akan segera melakukan perbaikan jalan dalam waktu yang tak bisa ditentukan. Anggaran yang minim atau belum “cair” selalu menjadi alasan. Padahal, persoalan itu adalah persoalan penting dan mendesak untuk diselesaikan.
Berbeda dengan pelayanan perusahaan swasta. Kritik dan keluhan yang disampaikan masyarakat (konsumen) kepada perusahaan swasta langsung direspon dengan cepat melalui klarifikasi, permintaan maaf, dan perbaikan. Karena demi menjaga nama baik perusahaan dan kepuasan konsumen.
Sepertinya pemerintah (pusat dan daerah) perlu banyak belajar bagaimana melayani kepentingan masyarakat. Demi menjaga kepercayaan terhadap pemerintah dan demi kesejahteraan rakyat. Perlu dipahami secara sadar, bahwa pemerintah adalah pelayan masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah harus mengerahkan semua kemampuan dan energi secara sungguh-sungguh untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Termasuk dalam membangun jalan.
Sesungguhnya banyak faktor yang menyebabkan jalan berlubang. Diantaranya adalah pembangunan asal jadi atau di bawah standar kelayakan,  dan jalan tersebut dilalui kendaraan yang melebihi muatan. Pada umumnya, faktor pembangunan asal jadi adalah yang menyebabkan ketahanan jalan menjadi rapuh.
Mengherankan, banyak jalan yang dibangun masa Pemerintahan Kolonial Belanda pada abad ke-20 masih bagus. Tetapi di era reformasi ini, kualitas jalan yang dibangun tidak lebih baik dari abad sebelumnya. Masyarakat sering bertanya, ada apa dengan hal ini? Barangkali semua proyek pembangunan termasuk pembangunan jalan, sudah kena virus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Apa pun ceritanya, pembangunan yang sarat praktik KKN hanya akan menghasilkan bangunan yang rapuh.
Ujung-ujungnya, masyarakatlah (pengendara) yang menjadi korban. Jalan berlubang tentu berkontribusi pada kemacetan, kecelakaan, pungutan liar dengan dalih memperbaiki jalan, tindakan kriminal, kerusakan kendaraan, pemborosan energi, mengganggu kesehatan, dan menghambat aktivitas ekonomi.
Sebagai contoh, jalan raya dari Pematang Raya-Kaban Jahe-Medan mengalami kerusakan yang cukup parah. Jalan ini mewakili tiga kabupaten (Simalungun, Karo, dan Deli Serdang) dan satu kota (Medan). Ketiga kabupaten itu adalah daerah subur yang mendukung pertanian. Tetapi masyarakat kewalahan membawa hasil pertaniannya ke kota (Medan) karena tidak didukung infrastruktur yang memadai.
Pariwisata juga mati suri karena selain kurangnya pengembangan industri pariwisata, kondisi jalan juga  tak mendukung. Tak ada wisatawan yang nyamaan melakukan perjalanan jika jalannya buruk. Sehingga wajarlah keindahaan alam Tanah Air kita, kurang dikunjungi wisatawan. Padahal sektor wisata bisa memberikan devisa besar untuk negara ini.
Masih banyak lagi kerugian akibat jalan yang rusak, misalnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Jika kerugian itu dikalkulasikan akan lebih besar daripada biaya pembangunan jalan. Bukan hanya merugikan ekonomi, tetapi juga merugikan aspek sosial, budaya, pendidikan, dan lingkungan.
Sangat menyedihkan ketika negara ini masih belum lulus membangun jalan yang berkualitas demi kepentingan publik. Berbeda dengan negara lain katakanlah Jepang yang sudah teruji. Setidaknya persoalan gempa dan tsunami yang dialami Jepang 11 Maret lalu menjadi pembelajaran bagi negara (khususnya pemerintah) untuk membuat pembangunan yang berkualitas dan visioner. Jangankan dengan Jepang, dengan negara jiran saja, kita sudah jauh ketinggalan.
Sebagai bangsa besar seharusnya kita malu pada diri kita sendiri. Tapi entahlah, apakah para pejabat di negeri ini tidak memiliki rasa malu lagi. Lihatlah banyak pejabat tak malu mencuri uang rakyat, bersandiwara dengan mengatasnamakan hukum, asyik jalan-jalan ke negeri orang dengan modus kunjungan kerja, politik pencitraan, dan saling hujat-menghujat. Itulah tontonan yang tak perlu ditiru.
Ada baiknya, jika sekali-kali para pejabat ini turun gunung. Mengunjungi masyarakat desa (pinggiran) dengan melewati jalan rusak. Supaya mereka bisa merasakan apa yang dirasakan rakyat selama ini. Mudah-mudahan perjalanan itu menghasilkan suatu kemauan politik untuk mengutamakan kepentingan rakyat. Karena hanya orang yang memahami persoalanlah yang bisa menyelesaikan persoalan.
Bagi Sumut, perbaikan jalan sudah sangat mendesak dilakukan. Hal ini mengingat kerugian yang ditimbulkan akibat jalan rusak. Selain itu, Sumut merupakan daerah pemicu pertumbuhan perekonomian nasional. Sebagai daerah pertanian, Sumut menyumbang 6,3 persen untuk perekonomian nasional. Pertanian semakin maju jika didukung perbaikan jalan. Ini juga demi kesejahteraan masyarakat (petani) Sumut.
Komitmen Penjabat Gubsu, Gatot Pujo Nugroho, untuk memperbaiki infrastrukur sebagai prioritas utama, patut didukung. Asalkan pembangunan itu adalah untuk kepentingan masyarakat bukan kepentingan segelintir orang (pengusaha), harus bebas dari praktik KKN, dan mengutamakan kualitas. Semogalah benar-benar bersih.
Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan. Pembangunan yang selama ini rapuh dan pro-pemilik modal harus berubah 180 derajat, yakni berkualitas dan pro-rakyat. Terakhir, dibutuhkan kerja sama semua elemen masyarakat baik itu tokoh masyarakat, pers, organisasi kemasyarakatan, dan pengguna jalan untuk membantu dan mengawasi pembangunan jalan tersebut. Sebab, membangun jalan sama dengan membangun ekonomi. Demi rakyat. 
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 29 Maret 2011)

Wajah Penelitian (Negeri) Kita


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Tahun 2010 yang lalu, delapan perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia masuk dalam daftar universitas top dunia menurut survei QS World University Rankings. Kedelapan PTN tersebut adalah Universitas Indonesia (peringkat ke-236), Universitas Gadjah Mada (321), Institut Teknologi Bandung (401-450), Universitas Airlangga (451-500), Institut Pertanian Bogor (501-550), Universitas Diponegoro (601+), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (601+), dan Universitas Brawijaya (601+). Namun, apakah peringkat tersebut menunjukkan kualitas pendidikan kita?
            Peringkat tersebut tidak menunjukkan kualitas pendidikan kita secara nasional. Pertama, kedelapan  PTN tersebut berada di Pulau Jawa. Itu berarti, pembangunan pendidikan masih terpusat di Jawa. Belum ada pemerataan pendidikan. Kedua, lima dari delapan PTN yang masuk peringkat QS itu adalas PTN yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Artinya, mereka yang bisa mengecap pendidikan di sana hanya orang-orang kaya. 
            Kalau kita bandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, perguruan tinggi (PT) kita sudah jauh tertinggal. Beberapa universitas di kedua negara ini sudah pernah menduduki posisi puncak di tingkat Asia. Universiti Malaya menduduki peringkat ke-4 di Asia pada 2004. National University Singapura menduduki peringkat ke-3 di Asia pada 2009. Sementara posisi terbaik kita hanya peringkat ke-50 yang diwakili Universitas Indonesia. Lantas, mengapa peringkat PT kita kalah dengan kedua negara jiran itu?
            Ada pun yang dievaluasi dalam pemeringkatan universitas tersebut adalah kualitas penelitian, rasio mahasiswa terhadap staf pengajar, kesiapan lulusan masuk dunia kerja, publikasi staf pengajar, jumlah mahasiswa asing 2,5 persen, dan jumlah dosen yang mengajar ke luar negeri (Kompas, 20/9/2010). Hal yang paling bermasalah di PT kita adalah lemahnya penelitian. Padahal, penelitian adalah salah satu isi Tri Dharma PT.
Wajah Penelitian
            Tidak ada yang membantah bahwa wajah penelitian di negeri ini lesu. Meskipun hampir semua lembaga pendidikan tinggi memiliki  lembaga penelitian, tapi lembaga penelitian itu tampaknya bisu. Punya nama, punya gedung, tapi miskin karya. Mengapa bisa demikian? Tidak lain dan tidak bukan, karena penyelenggara pendidikan (pemerintah) selama ini kurang mendorong tumbuhnya semangat meneliti di dunia akademisi. Barangkali pemerintah belum menyadari betapa pentingnya penelitian sebab mereka bukan berlatarbelakang peneliti.
            Fasilitas pendidikan yang mendukung penelitian, seperti perpustakaan dan laboratorium, masih minim. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan sangat terbatas, jarang melakukan penambahan buku. Juga, masih banyak PT yang memberikan pelayanan perpustakaan dengan menggunakan sistem manual. Selain itu, laboratorium-laboratorium juga masih banyak yang menggunakan peralatan yang sudah usang. Bagaimanapun juga, tanpa fasilitas pendukung yang memadai maka penelitian tetap lesu.
            Lebih parahnya, tidak sedikit perpustakaan yang diabaikan. Penelantaran Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin adalah salah satu contoh ketidakpedulian negara terhadap penelitian dan pengembangan sastra di Tanah Air. Padahal puluhan ribu dokumen sastra yang terdapat di sini memiliki nilai yang tinggi terhadap peradaban bangsa. Secara ekonomi, pusat dokumentasi tersebut memang tidak menguntungkan. Tapi aspek lain yang menyangkut sejarah, budaya, dan peradaban bangsa, mempunyai nilai yang lebih tinggi.
            Kembali melihat Malaysia, negara ini sangat serius membangun perpustakaannya. Maka tidak heran, kuantitas buku di sana sangat banyak karena ada tim yang ditugaskan untuk mencari buku dan jaringan pemesanan buku. Sehingga buku-buku tentang Indonesia pun tersimpan rapi di sana. Perpustakaannya dilengkapi dengan ruang audio visual, ruang mahasiswa peneliti, ruang diskusi, dan laboratorium. Wajar saja, banyak mahasiswa dan peneliti Indonesia yang betah belajar dan berkarya di sana.
            Meskipun hubungan RI-Malaysia sering memanas karena masalah penganiayaan TKI di sana, tetapi banyak peneliti Indonesia dari berbagai disiplin ilmu pindah ke lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Malaysia. Adapun alasannya adalah persolan kesejahteraan dan sarana pendukung penelitian.
            Sangat sedih mendengar gaji peneliti lulusan program doktoral di Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) tak lebih dari Rp 4 juta. Itu sangat tidak adil dibandingkan dengan anggota DPR yang bergaji di atas Rp 40 juta, belum termasuk tunjangan-tunjangan lainnya. Padahal dengan melihat kinerja anggota DPR ditambah lagi dengan tuntutannya yang ingin hidup mewah, maka sungguh tak elok rasanya. Mungkin karena itu, banyak orang yang berlomba-lomba menjadi “wakil” rakyat. Namun, menjadi peneliti kurang diminati.
            Peneliti di republik ini belum mendapatkan ruang yang layak. Tidak dianggap sebagai pekerjaan yang mulia. Berbeda dengan negara maju yang sangat menghargai peneliti. Memprihatinkan, ketika banyak peneliti asing yang mengkaji segala aspek kehidupan Indonesia. Sejarah, budaya, dan kekayaan alam Indonesia mereka teliti dengan sudut pandangnya. Lucunya, kita belajar tentang  Indonesia dari buku yang mereka buat. Tidak mampukah anak negeri ini mengkaji sejarah dan budayanya sendiri? Saya pikir banyak peneliti-peneliti kita yang berkualitas setara dengan peneliti luar. Hanya saja tidak diberikan ruang berkarya di negeri sendiri.
            Di Malaysia, gaji peneliti maupun dosen minimal Rp 20 juta per bulan, belum termasuk tunjangan perumahan, kendaraan, dan kesehatan. Sehingga peneliti asal Indonesia yang berkiprah di sana tak bisa disalahkan juga. Selain mendapatkan ruang lebar menumpahkan kreatifitas, mereka juga ingin hidup sejahtera.
            Alasan keterbatasan anggaran pendidikan bukanlah alasan yang masuk akal dalam melihat persoalan ini. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN seharusnya mampu menyuburkan penelitian. Persoalannya, apakah anggaran pendidikan tersebut dialokasikan tepat sasaran dan bebas dari korupsi? Yang terpenting adalah adanya kemauan dari sang pengambil kebijakan untuk mendorong semangat penelitian di perguruan tinggi.
            Kalau kita jujur, banyak dosen-dosen yang jarang menghasikan karya/jurnal ilmiah, buku, dan tulisan hasil pemikirannya. Dosen seperti ini sering disebut “dosen pohon pisang” karena hanya berbuah satu kali. Buah yang dimaksud adalah karya ilmiah yakni skripsi atau tesis atau desertasi. Padahal dosen seharusnya berkarya dan mengabdi. Tidak cukup mengajar di depan mahasiswa dengan metode monologis. Mengajar, menulis, dan meneliti adalah tugas utama dosen sebagai bentuk pengabdiannya. Dosen yang gemar meneliti akan dengan sendirinya diikuti oleh mahasiswa.
            Oleh sebab itu, kebijakan pendidikan hendaknya memberikan ruang penelitian serta merangsang perguruan tinggi melaksanakan tugas mulianya. Tentu penelitian yang berguna bagi masyarakat umum demi kemajuan bangsa. 
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 28 Maret 2011)

Supersemar dan Kemiskinan Rakyat


Oleh: Jhon Rivel Purba


Rezim Orde Baru mulai berkusa sejak keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Peristiwa 45 tahun yang lalu tersebut menjadi tonggak berdirinya Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Jadi, tidak ada Orde Baru tanpa Supersemar. Yang menjadi pertanyaan, apakah momen tersebut muembuka pintu gerbang kesejahteraan rakyat?
            Munculnya Supersemar didahului oleh peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan terhadap enam orang jenderal Angkatan Darat (AD). Pihak AD menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pelakunya. Tanpa ada pembelaan dan pembuktian,  PKI dan orang-orang yang diduga dekat dengan PKI pun dibantai. Pembantaian massal ini berlangsung selama tiga bulan (Oktober hingga Desember 1965), menewaskan sekitar setengah jiwa orang.
            Masa-masa menjelang Supersemar ditandai dengan kekacauan politik dan ekonomi. Kekuasaan politik PKI dan Soekarno semakin terjepit. PKI yang dulunya sebagai partai besar, dalam waktu cepat dibasmi oleh AD dan masyarakat. Wibawa Bung Karno juga semakin menurun  dan dijepit oleh Soeharto. Dalam hal ekonomi, terjadi kenaikan harga yang sangat tinggi. Pada saat kondisi politik dan ekonomi yang sedang kacau tersebut, lahirlah Supersemar.
            Hingga kini Supersemar menjadi misteri yang menyisakan tanda tanya besar. Kontroversi Supersemar ini disebabkan oleh hilangnya dokumen asli Supersersemar dan kesaksian pelaku sejarah yang bertolak belakang. Memang tidak ada penafsiran tunggal dalam sejarah. Hanya saja, Orde Baru memaksakan tafsiran sejarah berdasarkan kepentingan penguasa pada masa itu, yakni Soeharto dan militer.
            Bagi Soeharto, Supersemar menjadi alat yang paling mumpuni untuk melegitimasi kekuasaannya. Padahal dalam surat tersebut, Letjen Soeharto hanya diberikan tugas oleh Presiden Soekarno untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah. Namun, tanpa izin Soekarno, Soeharto menjadikan Supersemar menjadi pijakan untuk membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur PKI, dan selanjutnya membentuk kabinet dan membuang orang-orang Bung Karno.
            Teguran Bung Karno melalui Surat Perintah 13 Maret 1965 (Supertasmar) atas penyelewengan pelaksanaan Supersemar, tidak diindahkan Soeharto. Ini berarti bahwa Soeharto melakukan pembangkangan terhadap atasannya. Sehingga banyak kalangan berpendapat bahwa Supersemar dijadikan Soeharto untuk melakukan kudeta. Bagaimana tidak, melalui Supersemar, Soeharto membubarkan PKI, membersihkan kabinet, menguasai Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dan mengasingkan Bung Karno. Setelah kondisi bisa dikendalikan Soeharto dan ketika tidak ada lawan politik, maka Soeharto pun diangkat menjadi pejabat presiden pada 7 Maert 1967, yakni satu tahun setelah Supersemar.
Makna Supersemar
            Belajar sejarah bukanlah menghapal tokoh-tokoh sejarah (pahlawan), tempat kejadian, dan waktu. Belajar sejarah adalah memahami setiap peristiwa sejarah, hubungan sebab-akibat, makna yang bisa diambil, dan antisipasi ke depan. Artinya, sejarah menjadi cermin masa kini untuk menentukan hari esok yang lebih baik.
            Ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari Supersemar. Pertama, mengetahui pihak yang diuntungkan dan dirugikan pasca Supersemar. Pihak yang diuntungkan adalah Soeharto, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan negara-negara kapitalis. Supersemar adalah “jalan tol” bagi Soeharto untuk meraih kekuasaan hingga menjadi kepala negara. Selain itu, ABRI mendapat “kue” dengan porsi yang cukup besar dalam politik dan ekonomi. Dwifungsi ABRI membuka ruang mendapatkan kekuasaan, misalnya mendapat jatah kursi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).  Soeharto pun bisa berkuasa selama 32 tahun tidak terlepas dari dukungan ABRI. Bagi negara Amerika Serikat (AS) dan Barat, mereka sangat beruntung ketika Soeharto membuka pintu slebar-lebarnya bagi negara Barat-Kapitalis.
Sementara pihak yang dirugikan adalah Soekarno dan PKI. Bagi Soekarno dan PKI, Supersemar bagaikan lonceng kematian bagi mereka. Bahkan selama rezim Orde Baru berkuasa, pengikut Soekarno dan PKI disingkirkan dalam politik dan ekonomi. Buku-buku yang berbau Soekarno dan Marxis dibredel. Sementara PKI dianggap sebagai musuh negara yang paling berbahaya. Sehingga orang lebih takut dituduh sebagai anggota PKI daripada dituduh sebagai pembunuh.
            Kedua, perubahan kebijakan politik. Setelah Soeharto memegang kekuasaan politik, arah politik kita pun berubah 180 derajat. Politik yang dulunya dipegang sipil kemudian diambil militer, politik luar negeri yang dulunya condong ke Sosialis-Komunis (kiri) berubah ke Barat-Kapitalis (kanan). Untuk menjaga kelanggeangan kekuasaannya, rezim Orde Baru menyederhanakan partai politik yang dikenal dengan fusi partai politik. Sehingga sejak tahun 1973 hingga 1998 hanya ada dua partai politik (PDI dan PPP) dan Golongan Karya.
            Selain itu, kebebasan bersuara, berserikat, dan pers, dibungkam oleh penguasa. Orang-orang yang dianggap membahayakan pemerintah langsung “diamankan” oleh aparat. Bahkan hingga kini, banyak aktivis yang dihilangkan karena membahayakan penguasa. Salah satu aktivis tersebut adalah Wiji Thukul, sastrawan kritis yang sering membuat puisi-puisi perjuangan rakyat tertindas.
            Ketiga, perubahan kebijakan ekonomi. Pada masa Soekarno, prinsip ekonomi kita adalah berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan anti-nekolim (anti-neokolonialisme dan anti-imperialisme) Barat. Bahkan aset-aset asing yang ada di Indonesia dinasionalisasi oleh Soekarno. Namun, pada masa pemerintahan Soeharto, pintu masuknya kapitalisme dibuka melalui UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Para investor pun berdatangan menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satu perusahaan besar yang dibangun Amerika Serikat di Indonesia pada awal pemerintahan Soeharto (1967) adalah PT Freeport, pertambangan emas di Papua.
            Keempat, harapan masyarakat. Kekacauan ekonomi pada masa Orde Lama menyebabkan rakyat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Oleh karena itu, pada awal Orde Baru, masyarakat berharap banyak pada pemerintahan Soeharto. Namun, pembangunan yang dibuat pemerintah dengan mengandalkan pinjaman luar negeri dan ditambah lagi dengan maraknya parktik-praktik KKN, hanya menguntungkan segelintir orang. Sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial ekonomi. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Kemiskinan
            Pada masa Orde Lama, rakyat kita masih miskin. Hal ini mengingat usia kemerdekaan yang masih muda ditambah lagi fokus pemerintah dalam bidang politik. Selain itu pertarungan politik tiga aliran ideologi (nasionalis, agama, dan sosialis/komunis) yang tidak kunjung reda, menghambat pembangunan ekonomi.
Pada masa Orde Baru bahkan hingga sekarang (Orde Paling Baru), rakyat juga masih tetap miskin. Yang membedakan adalah pada masa Orde Lama, kita masih berdaulat dengan kekayaan alam kita dan kekayaan itu masih tersimpan di perut ibu pertiwi. Sedangkan pada masa Orde (paling) Baru; aset-aset kita sudah dikuasai asing, pasar domestik dibanjiri produk asing, utang luar negeri semakin membengkak, dan terjadi kerusakan alam kita.
Lihatlah; air, minyak, gas, logam, hutan, perkebunan, laut, dan aset-aset negara yang strategis lainnya sudah dikuasai oleh asing. Pasar domestik kita juga dibanjiri produk-produk asing mulai dari produk sederhana hingga modern. Utang kita sekarang hampir Rp1.700 triliun, yang jika dibagi 237 juta penduduk, maka setiap kepala memiliki beban utang sekitar Rp7 juta.
Kemiskinan dan beban rakyat semakin besar ketika para pejabat di negeri “rakus” memakan uang rakyat alias korupsi. Akhirnya rakyat hanya bisa menjadi pengemis dan pekerja (budak) di negeri sendiri. Sebagian diekspor ke luar negeri menjadi pekerja (budak) yang diperlakukan tidak manusiawi. Kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan hanyalah mimpi belaka.
Sebagaimana dengan ketidakpastian Supersemar, demikian juga ketidakpastian rakyat miskin dan ketidakpastian masa depan bangsa ini. Hanya dua pilihan, apakah kita kembali pada prinsip ekonomi berdikari ala Soekarno atau terus berjalan dikendalikan kapitalisme global?
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 15 Maret 2011)