Kalau
berbicara mengenai pendidikan, tentu banyak persoalan pendidikan yang kita
hadapi. Sepertinya sudah menjadi benang kusut yang sulit diurai. Persoalan
pendidikan tersebut antara lain: kebijakan pendidikan, manajemen pendidikan,
kesenjangan pendidikan, anggaran pendidikan, fasilitas pendidikan, korupsi
dalam dunia pendidikan, kekerasan dalam dunia pendidikan, dan juga kualitas
dari tenaga pendidik.
Tidak
bisa dibantah bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh pendidikan.
Pendidikan yang bermutu tentu menghasilkan sumber daya manusia (SDM)
handal. Untuk itu, salah satu penentu
kualitas pendidikan ditentukan oleh guru. Guru yang profesional akan memajukan
bangsa dan demikian sebaliknya. Gurulah yang menjadi obor dunia pendidikan.
Menerangi kegelapan pikiran maupun tindakan. Bahkan menerangi masa depan
bangsa.
Kalau
kita bercermin pada kenyataan, masih banyak guru di negeri ini yang belum
profesional. Profesional dalam arti mempunyai kemaun belajar, memiliki komitmen
pengabdian, terampil, bertanggungjawab, disiplin, dan sungguh-sungguh melayani.
Ada pemahaman
yang keliru ketika guru dijadikan sebagai profesi untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Guru sebagai mata pencaharian. Padahal lebih dari itu, menjadi guru
adalah tugas mulia yaitu melayani, mengabdi, dan berbakti.
Di
satu sisi, sangat prihatin melihat guru yang berpenghasilan minim tidak layak
secara kemanusiaan. Sebagian dari mereka harus mencari penghasilan tambahan
selain mengajar di sekolah. Bagaimana mungkin guru bisa profesional dengan gaji
sedikit? Namun, di sisi lain, tidak ada juga jaminan bahwa profesionalisme
ditentukan oleh tingkat kesejahteraan. Bukankah tidak sedikit guru di sekolah
negeri dengan penghasilan cukup namun tak profesional?
Sertifikasi Guru
Dalam
upaya meningkatkan profesionalisme guru, pemerintah mengeluarkan kebijakan
terbaru yaitu Permendiknas RI No. 10 tahun 2009 tentang Setifikasi Guru dalam
Jabatan. Kebijkan ini juga bertujuan untuk menentukan kelayakan guru, meningkatkan
proses pembelajaran, dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sertifikasi
guru dalam jabatan merupakan proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru
yang bertugas sebagai guru kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan dan
konseling, dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan.
Manfaat sertifikasi ini bagi guru adalah melindungi profesinya dari
praktek-praktek pendidikan yang tidak berkualitas, dan meningkatkan
kesejahteraan guru.
Pertanyaan
mendasar, apakah pelaksanaan sertifikasi guru telah meningkatkan
profesionalisme guru dan kualitas pendidikan kita? Tidak. Sertifikasi guru yang
telah dimulai sejak tahun 2006 belum berhasil sesuai dengan harapan. Justru
kebijakan ini menimbulkan persolan baru.
Memang,
pembicaraan sertifikasi guru selalu hangat dibicarakan khususnya di kalangan
guru. Tapi pembicaraan itu tidak mengarah pada perbaikan kualitas pendidikan
kita. Kebanyakan guru membahas hal ini hanya karena melihat sisi materinya,
bukan esensinya. Maka, segala cara dilakukan demi sebuah sertifikat pendidik
didapatkan dengan instan. Salah satunya adalah dengan mencari sertifikat, bukti
mengikuti seminar.
Guru-guru
berlomba-lomba mendapatkan sertifikat-sertifikat dari berbagai seminar dan loka
karya sebagai bahan penilaian sertifikasi guru. Mengikuti seminar sebagai
peserta seakan-akan menjadi kegiatan tambahan guru saat ini. Padahal di seminar
itu, tidak sedikit dari mereka yang tidur atau keluar-masuk ruangan. Kesadaran
dan kemampuan apa yang didapat dengan perilaku seperti itu? Anehnya, ada guru
mendapatkan sertifikat dari sebuah seminar, padahal guru tersebut tidak
mengikutinya. Artinya sertifikat itu dibeli dari penyelenggara. Terjadilah
proses penipuan dalam sertifikasi guru ini. Semuanya menjadi lahan bisnis.
Jika
proses awal pun sudah dimulai dengan tipuan dan kompromis, maka hasilnya pun
penuh dengan rekayasa. Dari pengakauan beberapa guru, mereka tidak melihat
perubahan dari guru yang lulus sertifikasi. Guru yang telah memegang sertifikat
pendidik tetap menggunakan metode lama dalam proses belajar-mengajar. Tidak
profesional. Mana mungkin kualitas pendidikan meningkat jika tetap diajar
dengan cara-cara lama. Guru tersebut hanya berganti baju. Baju sertifikat
pendidik, namun isinya tetap usang.
Selain
itu, ada juga masalah dalam pemberian gaji kepada guru yang memiliki sertifikat
pendidik. Dalam ketentuan, guru yang bersertifikat pendidik memperoleh
penghasilan tambahan sebesar gaji pokok setiap bulan. Namun dalam kenyataan,
ada potongan-potongan dan belum tentu diberikan sekali dalam sebulan. Artinya,
terdapat banyak kejanggalan yang tak seharusnya.
Perlu Pengawasan
Kebijakan
apapun tanpa mendapat pengawasan, bisa dipastikan menimbulkan persoalan baru.
Kebijakan sertifikasi guru ini mengeluarkan dana yang besar demi tujuan yang
besar. Dana itu akan sia-sia jika tak dikerjakan dengan serius dan
bertanggungjawab. Juga mimpi mewujudkan pendidikan yang bermutu hanyalah
basa-basi kalau tak dikerjakan dengan nurani. Oleh karena itu, pengawasan
kebijakan sertifikasi guru mutlak dilakuakan.
Pertama,
seleksi yang ketat. Kriteria guru yang memenuhi syarat sertifikasi harus jelas
dan diseleksi dengan objektif. Unsur-unsur nepotisme perlu dibuang. Pemalsuan
dan rekayasa dokumen perlu juga disikapi dengan teliti. Cara-cara tak mendidik
seperti pelicinan jalan prosedur melalui suap harus dihilangkan di lembaga
pendidikan yang mendidik calon pemimpin bangsa. Untuk itu, guru, kepala
sekolah, dinas pendidikan, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), dan
Perguruan Tinggi (PT) yang mengelola pengadaan tenaga pendidik terakreditasi
yang diberi izin oleh menteri pendidikan, hendaknya jujur dan terbuka dalam
proses sertifikasi guru.
Kedua,
pendidikan dan pelatihan yang bermutu. Setelah melalui kepala sekolah, dinas
pendidikan, dan LPMP, tentu guru yang lulus syarat sertifikasi akan dinilai
oleh PT pelaksana sertifikasi guru. Bagi yang lulus pasti mendapat sertifikat
pendidik. Sementara bagi yang tidak lulus wajib mengikuti Pendidikan dan
Pelatiahan Profesionalisme Guru (PLPG) di PT tersebut, katakanlah seperti di
Universitas Negeri Medan
(UNIMED). Di sinilah perlu ditekankan bahwa pelatihan yang singkat tersebut
janganlah hanya formalitas, tapi perlu diseriusi mempersipakan guru yang
kompeten. Dimana sesuai dengan UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005, hendaknya
tenaga pendidik memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan
sosial.
Ketiga,
transparansi. Kebijakan sertifikasi guru baik pelaksanaan maupun pendanaan
hendaknya transparan dari pusat hingga ke guru. Janganlah kebijakan ini menjadi
lahan baru bagi para koruptor di lembaga yang seharusnya bersih dari tindakan
tak terpuji ini. Jika cara-cara korup tetap dibiasakan, maka bangsa ini tak
akan mungkin bisa bangit dari keterpurukan.
Keempat,
teladan guru bersertifikat. Guru yang memiliki sertifikat pendidik boleh saja
berbangga diri. Namun kelayakan seorang guru bukanlah terletak pada
sertifikatnya, tapi harus dibuktikan dengan karya dan pengabdian. Guru yang
menjadi teladan. Teladan bagi siswa, guru, dan masyarakat. Guru yang menjadikan
siswa sebagai subjek-subjek sadar sebagai manusia bebas merdeka. Sehingga
setiap masalah selalu didiskusikan dan sama-sama belajar untuk mencari
solusinya. Sebab itulah yang menjadi esensi dari pendidikan, yaitu memanusiakan
manusia (humanisasi).
Kelima,
peran media dan semua elemen masyarakat. Semua warga negara pasti menginginkan
negaranya maju. Kemajuan suatu negara ditentukan oleh negara itu sendiri. Dalam
hal ini, bangsa Indonesia bercita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Itulah yang menjadi mimpi para pendiri bangsa dan kita semua. Maka, kebijakan
sertifikasi guru yang merupakan bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa (jika
dilaksanakan dengan baik), hendaknya kita dukung dan awasi. Media dan semua
elemen masyarakat yang sadar hendaknya secara kritis dan bijak berperan demi
terwujudnya pendidikan bermutu, ilmiah, demokratis, dan mengabdi untuk rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar