Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan jenjang terakhir dari hirarki
pendidikan formal yang mempunyai tiga peran yaitu pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Tiga
peran tersebut lebih dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pertanyaannya,
sudahkah perguruan tinggi melaksanakan perannya?
Kondisi Obyektif
Jika kita melihat secara
kritis dan obyektif, tampaklah bahwa perguruan tinggi (PT) di republik ini
hampir-hampir “mandul” dalam melaksanakan perannya. Padahal perguruan tinggi
diharapkan sebagai agen perubahan sosial sekaligus pengawas sosial, yang
memberi solusi pemecahan masalah dan mengawal proses pembangunan menuju
masyarakat adil dan makmur. Kondisi yang terjadi di perguruan tinggi misalnya,
dosen yang tidak profesional, mahasiswa yang apatis, dan tentu masalah utamanya
adalah kebijakan pendidikan yang tidak ilmiah, adil, kritis, dan demokratis.
Para dosen sudah jarang
melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Penelitian yang seharusnya bisa
menjawab persoalan rakyat tampaknya hanya mimpi belaka. Hampir-hampir dosen
hanya memberikan pengajaran kepada mahasiswa yang tak jauh beda dengan guru
mengajar di sekolah. Pengajaran yang diberikan pun adalah ilmu “kadaluarsa”
yang tidak relevan dan tidak bersentuhan dengan persoalan kekinian. Barangkali
dosen tersebut kurang mengikuti perkembangan teknologi informasi. Memang tidak
semua dosen demikian. Masih ada dosen yang produktif menghasilkan karya ilmiah.
Bagaimana mungkin mahasiswanya produktif dan kreatif, jika diajar oleh dosen
yang tidak produktif berkarya.
Selain itu, kampus telah
diisi oleh mahasiswa apatis, hedonis, individualis, dan terjerat dalam budaya
komsumtif. Tidak lagi peduli terhadap persoalan bangsa karena yang ada di
pikirannya adalah bagaimana mendapatkan nilai yang bagus (termasuk dengan cara
instan), cepat tamat tanpa memikirkan kualitas, dan cepat dapat kerja.
Ujung-ujungnya perguruan tinggi menghasilkan sarjana-sarjana yang siap berloma
mencari pekerjaan termasuk dengan mengemis/menyuap. Sehingga, pengangguran kaum
terdidik (lulusan PT) semakin menjamur di negeri ini karena lapangan pekerjaan
yang semakin sempit.
Selain itu, lemahnya peran
mahasiswa sebagai agen-agen perubahan (agent of change) dapat dilihat
dari minimnya hasil karya mahasiswa yang bermanfaat bagi masyarakat. Masih
jarang mahasiswa yang bisa menghasilkan penelitian untuk kepentingan
masyarakat, menulis ke media massa, membuat buku, mendampingi masyarakat,
memberdayakan masyarakat, dan menghasilkan karya sesuai dengan disiplin
ilmunya.
Apa yang salah?
Kesalahan utama tidak
terletak pada dosen dan mahasiswa. Ada hubungan sebab-akibat (kausalitas) dari
persoalan ini. Dosen dan mahasiswa yang tidak produktif merupakan akibat dari
sistem pendidikan kita yang dikendalikan oleh pasar (neoliberalisasi
pendidikan). Pendidikan diserahkan kepada pasar sehingga peran pemerintah dalam
pengelolaan pendidikan berkurang, atau bisa dikatakan lepas tangan, terbukti
dengan pencabutan subsidi pendidikan. Padahal, di dalam konstitusi republik
ini, pendidikan adalah tanggung jawab negara. Tapi masalahnya, pemerintah kita
lebih taat pada nasehat pemerintah/swasta asing melalui IMF, WTO, dan Bank
Dunia.
Neoliberalisasi pendidikan
hanya menguntungkan pemilik modal. Lembaga pendidikan tak ada bedanya dengan
pabrik yang menghasilkan produk yang siap dijual ke pasar, yaitu kaum terdidik.
Untuk menghasilkan untung yang sebesar-besarnya, maka biaya produksi semakin
ditekan. Makanya, biaya penelitian dan pengabdian masyarakat tidak mendapat
prioritas karena tidak menguntungkan bagi pemodal. Justru hal itu menjadi
bumerang bagi mereka. Bagaimanapun, watak neoliberalisme yang rakus tidak
menginginkan objeknya lepas (bebas) begitu saja.
Seandainya penelitian dan
pengabdian masyarakat berjalan dengan lancar, maka hal ini menjadi tantangan
bagi pemodal dalam meraup keuntungan. Rakyat yang selama ini miskin dan bodoh,
apabila semakin cerdas (kritis) melalui pemberdayaan masyarakat, maka usaha
pemodal bisa jadi berantakan. Oleh karena itu, pemodal sangat berkepentingan
dalam menentukan arah kebijakan pendidikan di negeri ini. Sebab, siapa yang
mengendalikan pendidikan maka dialah yang berkuasa. Sehingga kita tidak perlu
heran, yang berkuasa di tanah merdeka ini adalah pemodal (asing).
Perlu perombakan
Untuk
menjalankan Tri Dharma PT dan menyelamatkan pendidikan serta masa depan bangsa,
maka tidak ada jalan lain kecuali perombakan total dalam dunia pendidikan
(reformasi pendidikan). Intinya bertujuan menciptakan pendidikan yang mampu
mengatasi persoalan rakyat. Tentu, melalui keadilan pendidikan, dana yang cukup
(minimal 20% dari APBN), pembangunan pendidikan (sarana dan prasarana yang
mendukung penelitian dan pemberdayaan masyarakat), dan peningkatan kualitas
tenaga pengajar, serta perbaikan kurikulum.
Keadilan
pendidikan tercermin ketika anak petani, buruh, nelayan, dan kaum miskin, bisa
mengecap pendidikan hingga PT. Tidak ada kesenjangan antara daerah dan tingkat
sosial-ekonomi masyarakat. Sebab jelas, semua warga negara berhak mendapat
pendidikan. Anak petani, buruh, nelayan, dan kaum miskin, jika mengecap
pendidikan tinggi tentu tidak akan
mengikuti jejak orangtuanya dan dia pasti lebih paham memberikan solusi
pemecahan masalah yang biasa dihadapinya.
Dalam hal mendukung
pembangunan pendidikan dan peningkatan kualitas tenaga pengajar tentu tidak
terlepas dari anggaran yang cukup. Fasilitas pendidikan, dana penelitian dan
pengembangan masyarakat, serta gaji tenaga pengajar yang cukup, akan menentukan
keberhasilan pendidikan kita. Juga, kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian
sudah seharusnya diterapkan. Misalnya kewirausahaan, pengabdian masyarakat, kemandirian
ekonomi, ekonomi kerakyatan, koperasi, dan kurikulum yang berkaitan dengan
upaya melaksanakan Tri Dharma PT. Dengan demikian, mahasiswa akan terdorong
maju mengatasi masalah dan memberi diri di garis depan dalam memperjuangkan
kehendak rakyat, seperti menciptakan lapangan pekerjaan.
Terakhir, pemerintah
sebagai pengambil kebijakan merupakan pemegang kunci pintu pendidikan kita.
Jika kunci itu digunakan untuk membuka gerbang pendidikan dan memperbaiki
bangunan yang rusak, maka pendidikan kita ke depan secara perlahan dan pasti
akan bangkit menyelesaikan persolan rakyat menuju cita-cita kemerdekaan. Tetapi
jika kunci itu diserahkan pada pasar, maka kita tinggal menunggu waktu
kehancuran dunia pendidikan. Kehancuran dunia pendidikan yang akan menghancurkan
bangsa. Tentu kita mengharapkan yang pertama.
(Dimuat di Suara USU, Oktober 2009)