Sabtu, 27 Oktober 2012

Menyoal Tri Dharma Perguruan Tinggi

Oleh: Jhon Rivel Purba

Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan jenjang terakhir dari hirarki pendidikan formal yang mempunyai tiga peran yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tiga peran tersebut lebih dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pertanyaannya, sudahkah perguruan tinggi melaksanakan perannya?
Kondisi Obyektif
            Jika kita melihat secara kritis dan obyektif, tampaklah bahwa perguruan tinggi (PT) di republik ini hampir-hampir “mandul” dalam melaksanakan perannya. Padahal perguruan tinggi diharapkan sebagai agen perubahan sosial sekaligus pengawas sosial, yang memberi solusi pemecahan masalah dan mengawal proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Kondisi yang terjadi di perguruan tinggi misalnya, dosen yang tidak profesional, mahasiswa yang apatis, dan tentu masalah utamanya adalah kebijakan pendidikan yang tidak ilmiah, adil, kritis, dan demokratis.
            Para dosen sudah jarang melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Penelitian yang seharusnya bisa menjawab persoalan rakyat tampaknya hanya mimpi belaka. Hampir-hampir dosen hanya memberikan pengajaran kepada mahasiswa yang tak jauh beda dengan guru mengajar di sekolah. Pengajaran yang diberikan pun adalah ilmu “kadaluarsa” yang tidak relevan dan tidak bersentuhan dengan persoalan kekinian. Barangkali dosen tersebut kurang mengikuti perkembangan teknologi informasi. Memang tidak semua dosen demikian. Masih ada dosen yang produktif menghasilkan karya ilmiah. Bagaimana mungkin mahasiswanya produktif dan kreatif, jika diajar oleh dosen yang tidak produktif berkarya.
            Selain itu, kampus telah diisi oleh mahasiswa apatis, hedonis, individualis, dan terjerat dalam budaya komsumtif. Tidak lagi peduli terhadap persoalan bangsa karena yang ada di pikirannya adalah bagaimana mendapatkan nilai yang bagus (termasuk dengan cara instan), cepat tamat tanpa memikirkan kualitas, dan cepat dapat kerja. Ujung-ujungnya perguruan tinggi menghasilkan sarjana-sarjana yang siap berloma mencari pekerjaan termasuk dengan mengemis/menyuap. Sehingga, pengangguran kaum terdidik (lulusan PT) semakin menjamur di negeri ini karena lapangan pekerjaan yang semakin sempit.
            Selain itu, lemahnya peran mahasiswa sebagai agen-agen perubahan (agent of change) dapat dilihat dari minimnya hasil karya mahasiswa yang bermanfaat bagi masyarakat. Masih jarang mahasiswa yang bisa menghasilkan penelitian untuk kepentingan masyarakat, menulis ke media massa, membuat buku, mendampingi masyarakat, memberdayakan masyarakat, dan menghasilkan karya sesuai dengan disiplin ilmunya.
Apa yang salah?
            Kesalahan utama tidak terletak pada dosen dan mahasiswa. Ada hubungan sebab-akibat (kausalitas) dari persoalan ini. Dosen dan mahasiswa yang tidak produktif merupakan akibat dari sistem pendidikan kita yang dikendalikan oleh pasar (neoliberalisasi pendidikan). Pendidikan diserahkan kepada pasar sehingga peran pemerintah dalam pengelolaan pendidikan berkurang, atau bisa dikatakan lepas tangan, terbukti dengan pencabutan subsidi pendidikan. Padahal, di dalam konstitusi republik ini, pendidikan adalah tanggung jawab negara. Tapi masalahnya, pemerintah kita lebih taat pada nasehat pemerintah/swasta asing melalui IMF, WTO, dan Bank Dunia.
            Neoliberalisasi pendidikan hanya menguntungkan pemilik modal. Lembaga pendidikan tak ada bedanya dengan pabrik yang menghasilkan produk yang siap dijual ke pasar, yaitu kaum terdidik. Untuk menghasilkan untung yang sebesar-besarnya, maka biaya produksi semakin ditekan. Makanya, biaya penelitian dan pengabdian masyarakat tidak mendapat prioritas karena tidak menguntungkan bagi pemodal. Justru hal itu menjadi bumerang bagi mereka. Bagaimanapun, watak neoliberalisme yang rakus tidak menginginkan objeknya lepas (bebas) begitu saja.
            Seandainya penelitian dan pengabdian masyarakat berjalan dengan lancar, maka hal ini menjadi tantangan bagi pemodal dalam meraup keuntungan. Rakyat yang selama ini miskin dan bodoh, apabila semakin cerdas (kritis) melalui pemberdayaan masyarakat, maka usaha pemodal bisa jadi berantakan. Oleh karena itu, pemodal sangat berkepentingan dalam menentukan arah kebijakan pendidikan di negeri ini. Sebab, siapa yang mengendalikan pendidikan maka dialah yang berkuasa. Sehingga kita tidak perlu heran, yang berkuasa di tanah merdeka ini adalah pemodal (asing).
Perlu perombakan
            Untuk menjalankan Tri Dharma PT dan menyelamatkan pendidikan serta masa depan bangsa, maka tidak ada jalan lain kecuali perombakan total dalam dunia pendidikan (reformasi pendidikan). Intinya bertujuan menciptakan pendidikan yang mampu mengatasi persoalan rakyat. Tentu, melalui keadilan pendidikan, dana yang cukup (minimal 20% dari APBN), pembangunan pendidikan (sarana dan prasarana yang mendukung penelitian dan pemberdayaan masyarakat), dan peningkatan kualitas tenaga pengajar, serta perbaikan kurikulum.
            Keadilan pendidikan tercermin ketika anak petani, buruh, nelayan, dan kaum miskin, bisa mengecap pendidikan hingga PT. Tidak ada kesenjangan antara daerah dan tingkat sosial-ekonomi masyarakat. Sebab jelas, semua warga negara berhak mendapat pendidikan. Anak petani, buruh, nelayan, dan kaum miskin, jika mengecap pendidikan  tinggi tentu tidak akan mengikuti jejak orangtuanya dan dia pasti lebih paham memberikan solusi pemecahan masalah yang biasa dihadapinya.
            Dalam hal mendukung pembangunan pendidikan dan peningkatan kualitas tenaga pengajar tentu tidak terlepas dari anggaran yang cukup. Fasilitas pendidikan, dana penelitian dan pengembangan masyarakat, serta gaji tenaga pengajar yang cukup, akan menentukan keberhasilan pendidikan kita. Juga, kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian sudah seharusnya diterapkan. Misalnya kewirausahaan, pengabdian masyarakat, kemandirian ekonomi, ekonomi kerakyatan, koperasi, dan kurikulum yang berkaitan dengan upaya melaksanakan Tri Dharma PT. Dengan demikian, mahasiswa akan terdorong maju mengatasi masalah dan memberi diri di garis depan dalam memperjuangkan kehendak rakyat, seperti menciptakan lapangan pekerjaan.
            Terakhir, pemerintah sebagai pengambil kebijakan merupakan pemegang kunci pintu pendidikan kita. Jika kunci itu digunakan untuk membuka gerbang pendidikan dan memperbaiki bangunan yang rusak, maka pendidikan kita ke depan secara perlahan dan pasti akan bangkit menyelesaikan persolan rakyat menuju cita-cita kemerdekaan. Tetapi jika kunci itu diserahkan pada pasar, maka kita tinggal menunggu waktu kehancuran dunia pendidikan. Kehancuran dunia pendidikan yang akan menghancurkan bangsa. Tentu kita mengharapkan yang pertama.
(Dimuat di Suara USU, Oktober 2009)

Menakar Kualitas PT Kita

Oleh: Jhon Rivel Purba

Dalam pemeringkatan perguruan tinggi (PT) yang dikeluarkan oleh Times Higher Education-Quacquarreli Symonds (THE-QS) pada 2009, beberapa PT di Asia mengalami peningkatan kualitas. Indikator penilaiannya adalah performa akademis (pengajaran seperti selektivitas, efisiensi internal, dan prestasi mahasiswa), performa lulusan (penyerapan lulusan PT terhadap pasar kerja), performa riset ilmiah, dan dari sisi rasio mahasiswa fakultas.
            Dari 5.000 universitas dunia yang disurvei THE-QS, posisi Universitas Indonesia (UI) berada di peringkat 201, naik 86 peringkat dari tahun 2008 (peringkat 287). Universitas Gajah Mada (UGM) berada di peringkat 250, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) berada di peringkat 350. Kita patut berbangga dengan prestasi tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah peringkat tersebut menggambarkan kualitas pendidikan di negeri ini?
            Masyarakat pasti bisa menilai, bahwa PT di Indonesia masih (sudah) jauh tertinggal dari negara tetangga, katakanlah Malaysia. Padahal, negeri jiran tersebut pernah belajar pada kita pada tahun 1980-an. Tapi kini, kita yang berbondong-bondong belajar di negara tetangga ini. Berobat. Mencari kerja. Sungguh menyedihkan.
            Pembangunan PT di republik ini belumlah merata, masih berpusat di Pulau Jawa. UI, UGM, ITB, IPB, Unpad,  merupakan universitas favorit yang berada di Jawa. Sementara di luar Jawa, hanya terdapat beberapa universitas yang lumayan besar seperti Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Hasannuddin (Unhas), dan Universitas Andalas (Unand).
Otonomi PT
            Sejak UU BHP (Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, PT di negara ini berlomba mencari mahasiswa baru dengan berbagai jalur tergantung lembaga pendidikan bersangkutan. Jalur tersebut bervariasi dengan biaya yang berbeda-beda. Jalur mandiri dan kelas internasional memungut biaya dari mahasiswa baru puluhan hingga ratusan juta rupiah.
            Pada dasarnya UU BHP (yang sudah dicabut namun masih diterapkan) ini melegalisasi pelepasan tanggungjawab pemerintah dalam dunia pendidikan khususnya dalam pendanaan. Pendidikan diserahkan kepada pasar. Otonomi pendidikan. Kebijakan ini jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan masalah baru.
Ada beberapa persoalan dari otonomi PT ini. Pertama, kesenjangan PT. Bagi PT yang sudah besar dan dikenal masyarakat, tidak ada masalah dalam penerimaan mahasiswa baru. Karena bagaimanapun, minat masyarakat memasuki PT ini tetap besar meskipun dengan biaya besar. Namun bagi PT yang masih kecil khususnya PT swasta, sangat kewalahan dalam menjaring mahasiswa baru.
Kedua, beberapa jurusan menjadi kering. Semakin besar daya tampung pada jurusan favorit seperti di fakultas kedokteran, ekonomi, teknik, dan hukum menyebabkan minimnya jumlah mahasiswa di fakultas sastra, sosial politik, dan pertanian. Sehingga tidak jarang beberapa jurusan (hampir) tutup.
Ketiga, tertutupnya ruang untuk orang miskin. Biaya kuliah yang semakin mahal menyebabkan orang miskin sulit mengakses pendidikan di PT. Meskipun pintar tapi jika tidak punya dana, maka tidak bisa kuliah. Tidak mungkin anak buruh atau pun petani dengan penghasilan pas-pasan bisa menguliahkan anaknya dengan biaya mahal. Sehingga mereka tetap mewariskan kemiskinan itu kepada anak-cucunya.
Keempat, terciptanya sarjana instan. Kualitas lulusan PT bukan (hanya) dilihat dari nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) dan masa studinya, tetapi dilihat dari sejauh mana dia menghasilkan karya ataupun memberi diri untuk kepentingan rakyat. Seringkali mahasiswa terjebak  merasa hebat apabila mendapat nilai tinggi dan cepat tamat. Pola pikir seperti ini memang tidak terlepas dari sistem pendidikan yang belum memerdekakan dan dari pandangan masyarakat sendiri. Sehingga segala cara dilakukan demi mencapai ambisi tersebut seperti suap, penipuan, tugas kuliah yang di copy paste, dan cara tak intelek lainnya. Memang tidak semua demikian.
Kelima, berkurangnya kepedulian sosial. Ketika kampus semakin membuka pintu bagi si kaya, maka pintu bagi si miskin tertutup. Mahasiswa yang berasal dari keluarga ningrat/kaya cenderung kurang mempunyai kepedulian sosial. Hal ini karena mereka nyaman dengan harta orangtuanya (mungkin harta yang dihisap dari rakyat) sehingga nurani terbungkus tidak peduli dengan kondisi di sekitarnya. Karena hanya orang miskin yang lebih mengerti persoalan kemiskinan. Jika si miskin tak bisa mengecap pendidikan tinggi, bagaimana mungkin kepedulian sosial membahana dari kampus.
Lima persoalan otonomi PT tersebut merupakan daun permasalahan pendidikan tinggi akibat kebijakan pendidikan nasional yang salah urus. Akar permasalahannya adalah sistem pendidikan yang tidak ilmiah, kritis, demokratis, dan mengabdi bagi rakyat. Hal itu karena tidak jelasnya visi pendidikan nasional. Visi yang kabur dan dilakukan dengan cara keliru akhirnya menghasilkan bangunan yang rapuh.
Kualitas
Untuk menilai kualitas PT, dapat dilihat dari sejauh mana lembaga pendidikan tersebut mampu mengatasi persoalan bangsa seperti kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan. Di sinilah lemahnya PT kita. Selama ini PT menghasilkan kaum terdidik yang siap mencari pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan. Sehingga tidak mengherankan banyak penganggur intelektual, berlomba menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dan mengemis pekerjaan. Artinya, PT tidak mampu mengatasi persoalan pengangguran. Justru menambah masalah baru.
Selain itu, sangat jarang PT menghasilkan produk yang bisa membantu persoalan rakyat. Artinya, kampus masih lemah melakukan riset ilmiah. Penelitian dan pengabdian masyarakat yang merupakan bagian Tri Dharma PT tampaknya mandul. Jauh berbeda dengan negara tetangga yang mendorong dosen dan mahasiswanya melalukan penelitian dan riset ilmiah. Makanya dalam hal riset ilmiah, PT di Indonesia sangat jauh tertinggal. Dari 402 PT di wilayah Asia yang disurvei, ITB berada pada peringkat 283, UI (peringkat 312), dan UGM (peringkat 319) dalam hal performa riset ilmiah.
Hal ini tidak boleh dipertahankan. Untuk itu, PT kita harus bangkit dengan terobosan-terobosan segar meningkatkan kualitasnya. Kualitas yang dapat dirasakan dan dinikmati rakyat, bukan sekedar peringkat-peringkat seperti yang dikeluarkan oleh THE-QS. Tentu peran pemerintah sebagai pengambil kebijakan pendidikan sangat dinantikan dalam mewujudkan Tri Dharma PT yang berpihak kepada rakyat. Sesuai dengan konstitusi, pendidikan adalah tanggung jawab negara dan semua warga negara berhak mendapat pendidikan. Maka, pemerintah hendaknya mengembalikan pendidikan kepada rakyat, demi rakyat. PT hadir untuk rakyat.
(Dimuat di Harian Analisa, Desember 2009)

Melahirkan (Organisasi) Guru Kritis

Oleh: Jhon Rivel Purba

Sangat aneh dan menggelisahkan. Indikator kualitas pendidikan masih dilihat pemerintah dari sudut pandang angka-angka. Sehingga, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, ujian nasional (UN) dijadikan sebagai standar kelulusan. Pemerintah berpandangan bahwa sekolah yang bermutu adalah sekolah yang mampu meluluskan siswanya 100 persen dengan nilai baik.
            Dengan pandangan seperti itu, mau tidak mau, sekolah berupaya mempersiapkan siswanya agar lulus 100 persen. Caranya, siswa dilatih menjawab contoh-contoh soal yang mirip dengan soal UN. Akhirnya, arah pendidikan terjebak dalam tradisi belajar menjawab soal-soal. 
            Bukan hanya di lembaga pendidikan formal, tempat-tempat bimbingan belajar pun sibuk mempersiapkan anak bimbingannya agar lulus UN, seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), sekolah tinggi akuntansi negara (STAN), dan calon pegawai negeri sipil (CPNS). Caranya tetap dengan melatih menjawab soal-soal.
            Jika metode pendidikan seperti ini tetap dipertahankan, maka akan berdampak buruk bagi kehidupan bangsa. Generasi muda bisa saja mampu menjawab soal-soal tapi tidak mampu menjawab persoalan. Orang bisa menjawab soal-soal adalah karena dilatih terus menghafal, bukan karena kesadaran. Sementara untuk menjawab persoalan, dibutuhkan kesadaran kritis dan analitis.
            Seseorang bisa saja menghafal berbagai isi perundang-undangan, tapi belum tentu menjiwainya. Tahu tapi tidak sadar. Bisa jadi, orang yang berada di instansi pemerintahan, lulus PNS hanya karena “pintar” menjawab ujian tertulis. Sehingga, ketika berada di kursi kekuasaan, tidak mampu menjawab persoalan. Justru membuat kebijakan-kebijakan penambah persoalan.
Menjawab Persoalan
            Sejatinya, pendidikan lahir untuk menjawab persoalan umat manusia demi kemaslahatan hidupnya. Mana lebih penting seorang siswa mampu menjawab soal UN dengan nilai 10, atau mampu menjahit, menulis, menenun, bercocok tanam, dan mengerjakan hal yang berguna bagi dirinya maupun orang lain? Tak ada guna nilai angka 10 tanpa bisa berbuat apa-apa.
            Dalam konteks berbangsa dan bernegara, beragam persoalan tiada henti menyapa kita. Kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kerusakan lingkungan, serta persoalan lainnya harus kita jawab dengan bijak. Salah satu solusi menjawab persoalan tersebut adalah dengan mempersiapkan generasi muda yang berkualitas. Masalahnya, sistem pendidikan kita tidak mempersiapkan SDM tangguh, melainkan generasi instan “tukang hafal”.
            Persoalan sederhana, misalnya kebersihan lingkungan. Mulai dari sekolah dasar (SD), sudah diajarkan bahwa membuang sampah secara sembarangan adalah tindakan tak terpuji. Namun, lihatlah di sekitar kita sampah-sampah berserakan. Sampai-sampai persoalan sampah ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang tak pernah tuntas. Tingkat pendidikan seseorang juga tidak menjamin kesadaran membuang sampah pada tempatnya. Bahkan di tempat-tempat kaum intelektual, katakan di kampus, sampah-sampah menghiasi “istana” calon pemimpin bangsa ini. Itu masih contoh persoalan sederhana. Belum lagi masalah yang lebih rumit seperti kemiskinan. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan di negara yang telah merdeka hampir 65 tahun ini, tidak bisa menjawab persoalan.
            Metode pendidikan seperti ini tidak boleh diteruskan karena hanya akan membuat bangsa ini terpuruk dan larut dalam persoalan. Metode pendidikan yang  memanusiakan manusia (humanisasi) dan menjawab persoalan harus segera diterapkan. Metode tak manusiawi diganti dengan metode demokratis.
Hadap Masalah
            Metode pendidikan “hadap masalah” yang diperkenalkan oleh Paulo Freire, tokoh pendidikan Amerika Latin, sangat tepat untuk menggantikan metode pendidikan kita saat ini. Dalam metode ini, posisi guru dan murid adalah sebagai subjek, sedangkan objeknya adalah masalah itu sendiri. Jadi, guru dan murid bersama-sama belajar melalui hubungan dialogis menjawab masalah (persoalan).
            Reformasi pendidikan mutlak dilakukan untuk menciptakan generasi yang sadar, berkarakter, bermoral, mandiri, dan memiliki kepedulian sosial. Salah satunya dengan menerapkan metode hadap masalah. Jangan seperti sekarang, tujuannya memang meningkatkan kualitas pendidikan, tapi metode dan caranya justru bertolak belakang dari tujuan tersebut.
            Misalnya untuk menjawab persoalan kemiskinan, arahan pendidikan kita justru membunuh orang miskin. Privatisasi pendidikan telah melarang orang miskin mengecap pendidikan. Berkembangnya sekolah-sekolah favorit berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) dengan biaya masuk jutaan rupiah serta iuran bulanan ratusan ribu rupiah, lambat laun mempersempit harapan si miskin menikmati pendidikan. Belum lagi biaya kuliah di perguruan tinggi yang semakin mahal. Hanya orang kaya dan anak pejabat yang bisa menikmati layanan pendidikan seperti itu.
            Oleh sebab itu, selain kebijakan pendidikan yang adil bagi seluruh warga negara, metode pendidikan hadap masalah sudah menjadi hukum wajib dilaksanakan. Intinya bagaimana supaya persoalan itu bisa terjawab. Itu hanya bisa jika subjek (guru dan murid) secara sadar memahami persoalan. Dalam menjawab persoalan kemiskinan (objek), guru dan siswa (subjek) hendaknya memahami akar kemiskinan sehingga proses belajar dilakukan untuk mencabut akar objek tersebut.
            Tidak hanya persoalan kemiskinan, banyak lagi persoalan yang patut dijawab. Untuk itu, hendaknya pemerintah mau belajar dari kesalahan masa lalu dan sekarang, guna masa depan yang lebih baik. Kata kuncinya adalah belajar menghadapi persoalan.
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 11 Mei 2010)

Merealisasikan Anggaran Pendidikan yang Tepat Sasaran

Oleh: Jhon Rivel Purba

Tahun 2010 ini, Dinas Pendidikan (Disdik) Sumatera Utara (Sumut) kembali berupaya menghadirkan pendidikan berkualitas dan bermutu. Tentu dana yang akan digunakan untuk mewujudkan itu bukanlah sedikit. Tak tanggung-tanggung, ada sebesar Rp 1,684 triliun dikeluarkan dari kantung APBD dan APBN, membiayai program-program pembangunan pendidikan di Sumut.
            Adapun program Kepala Disdik Sumut, Bahrumsyah, adalah pembangunan 132 unit sekolah binaan rintisan, optimalisasi teknologi informasi dan komunikasi bagi pendidik dan tenaga kependidikan, peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan khususnya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan kualifikasi guru, sekolah siap online sebanyak 200 unit, program permintaan siaran TV berbasis edukasi, pembentukan SMK model terintegrasi dengan Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) Propinsi Sumut, serta peningkatan kualitas dan kuantitas pembelajaran bagi pendidik di daerah terpencil dan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Semua program dan kegiatan Disdik Sumut sepanjang 2010 ini merupakan materi dari Grand Strategi Pendidikan Sumut (Medan Bisnis, 14/4/2010). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah program tersebut sejalan dengan upaya mencerdaskan masyarakat Sumut?
Pembangunan fisik
            Tampaknya dari program-program Disdik Sumut, pembangunan pendidikan memprioritaskan pembangunan fisik, yaitu bangunan sekolah dan fasilitasnya. Memang tidak ada yang salah dengan program tersebut mengingat sarana dan prasarana pendidikan kita masih minim khususnya di daerah-daerah terpencil. Tapi yang menjadi persoalan besar adalah program tersebut tidak mengarah pada keadilan pendidikan bagi kaum marginal. Buat apa gedung dan fasilitas pendidikan, kalau tak bisa dinikmati oleh anak buruh, petani, dan kaum miskin.
            Seharusnya ada upaya serius dari Disdik Sumut menggunakan anggaran pendidikan tersebut sejalan dengan pemberantasan kemiskinan. Salah satunya adalah dengan memberikan akses pendidikan kepada anak miskin. Sebab semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu (Pasal 31 UUD 1945). Kalau masih ada anak yang buta huruf dan putus sekolah, berarti negara dalam hal ini pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan telah lalai melaksanakan tugasnya. Namun bukankah lebih dari dua juta anak yang berusia 7-15 tahun tak mengecap pendidikan di negeri ini? Padahal pemerintah selalu mendengungkan program wajib belajar sembilan tahun.
            Kita lihat di Sumut, tidak sedikit anak-anak yang buta huruf dan putus sekolah karena keterbatasan dana. Banyak anak-anak yang hidup di jalanan, bekerja mempertahankan hidup sebagai kuli, pemulung, pengamen, pengemis, sementara teman-teman seusia mereka dengan merdeka mengecap pendidikan di bangku sekolah. Akankah kita pura-pura tak tahu dan menutup mata dengan kondisi demikian?
Keberhasilan dalam membangun pendidikan bukan dilihat dari seberapa banyak dan mewah bangunan-bangunan sekolah dan fasilitas-fasilitasnya. Tidak, itu gaya pembangunan masa Orde Baru. Pembangunan fisik yang berorientasi bisnis. Juga dalam pembangunan fisik, penyelewengan-penyelewengan marak terjadi. Parkatek-praktek KKN, mark-up, proyek asal jadi alias tambal sulam, sering terjadi dalam pembangunan fisik. Yang diuntungkan hanyalah pengusaha dan pejabat yang korup. Cara-cara dan tradisi seperti ini hanya akan membawa bangsa ini ke jurang kehancuran.
Program pembangunan 132 sekolah binaan rintisan Disdik Sumut, pasti rentan terhadap penyelewengan jika tak diawasi. Pembangunan itu diserahkan kepada siapa? Bagaimana prosedur, proses pengerjaan, transparansi dan akuntabilitasnya? Jangan sampai ini menjadi lahan basah bagi koruptor untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Mau tidak mau, masyarakat dan pers perlu melakukan pengawasan.
Tepat Sasaran
            Program-program pembangunan fisik tersebut bukanlah hal terpenting meskipun penting dalam upaya mencerdaskan masyarakat Sumut. Lebih kongkret jika sebagian anggaran tersebut digunakan untuk memberikan pendidikan gratis dari SD hingga SMU dan bantuan-bantuan beasiswa bagi anak miskin. Seandainya 10 persen dari anggaran Rp 1,684 triliun digunakan untuk orang miskin, maka 100.000 anak miskin tersenyum menikmati pendidikan dengan bantuan sebesar Rp 1,684 juta per anak dalam satu tahun. Itu hitungan matematisnya.
            Alangkah bijaknya pemerintah daerah (Pemda) jika merealisasikan anggaran pendidikan tepat sasaran kepada anak miskin. Ketika anak miskin bisa mengecap pendidikan, kemungkinan besar dirinya tidak mengikuti jejak orangtuanya yang miskin.  Itu tergantung juga dengan arah dan kebijakan pendidikan yang pro-rakyat, bukan pasar. Selain itu, hendaknya dikerjakan dengan penuh tanggung jawab dan minus korupsi. Bekerjalah dengan mendengarkan suara hati nurani, bukan keserakahan. 
            Apa yang dimimpikan oleh Gubernur Sumut agar rakyat tak bodoh, bisa terwujud jika penggunaan anggaran pendidikan tepat sasaran. Sudah lebih satu tahun beliau berkuasa, sudahkah masyarakat Sumut pintar? Apapun jawabannya, pemerintah hendaknya bijak dan berjuang keras mempersipakan anak bangsa yang handal, terampil, bermoral, mandiri. Itu sangat penting dan mendesak mengingat pertarungan di era globalisasi ini yang semakin berat. Jangan sampai generasi bangsa menjadi pengemis di negara sendiri.
Masalahnya sekarang adalah seriuskah pemerintah dengan dana yang tersedia melaksanakan terobosan-terobosan segar untuk meningkatkan kualitas generasi bangsa tanpa mengorupsikannya? Semoga saja.
(Dimuat di Harian Global, 7 Mei 2010)

Pendidikan yang Membebaskan

Oleh: Jhon Rivel Purba 

Sangat jarang menemukan siswa maupun mahasiswa di negeri ini yang bercita-cita menjadi petani, nelayan, peternak, pedagang, pengrajin dan pengusaha. Pada umumnya bermimpi menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dokter, polisi, guru, dan pegawai swasta. Jika ada seorang mahasiswa yang bermimpi menjadi petani, maka kebanyakan orang lain menganggapnya bodoh. Bahkan keluarganya pun menganggapnya sinting.
            Seseorang mengambil jurusan ekonomi di perguruan tinggi (PT) bercita-cita agar kelak dirinya bisa menjadi akuntan ataupun manejer di perusahaan-perusahaan besar, bukan menjadi penggerak ekonomi kerakyatan atau membangun perusahaan baru. Ada juga mengambil jurusan pertanian, tapi cita-citanya adalah menjadi mandor ataupun pengawas di perkebunan-perkebuanan milik negara maupun swasta, bukan mengembangkan pertanian rakyat. Atau seseorang mengambil jurusan pendidikan keguruan yang tujuan utamanya adalah menjadi PNS, bukan menjadi tenaga pendidik yang memerdekakan generasi bangsa.
            Bercita-cita menjadi akuntan/manejer perusahaan, mandor perkebunan, dan PNS, dan pegawai swasta, bukanlah salah. Tetapi jika motif utamanya adalah untuk jaminan kesejahteraan dan jaminan hari tua, maka hal itu salah besar. Orang yang bermotif demikian sama saja mencari kenyamanan dan kemapanan. Ketika kenyamanan dan kemapanan telah diraih, maka jiwa dan pikiran akan dibungkus oleh uang dan jabatan. Bekerja untuk uang dan jabatan, yang pada akhirnya menghalalkan segala cara termasuk korupsi, demi memuaskan dirinya.
            Kita tak perlu heran jika menyaksikan pelayanan publik yang kacau. Birokrasi yang seharusnya memudahkan segala urusan justru dipersulit. Praktek suap menyuap sangat kental. Itulah produk pendidikan masa lalu, yang berorientasi hasil. Sangat langka kita menyaksikan pelayanan birokrasi pemerintahan yang murni menyelesaikan persoalan rakyat. Justru persoalan rakyat dijadikan sebagai lahan memperkaya diri.
            Neoliberalisme telah merasuki sistem pendidikan kita, termasuk merasuki pola pikir masyarakat dan penguasanya. Pendidikan yang sifat dasarnya adalah membebaskan manusia dari masalah, berubah menjadi alat penguasa dan milik pemodal untuk kepentingan politik dan ekonomi. Pendidikan diserahkan kepada pasar. Lembaga pendidikan bertujuan mempersiapkan lulusannya untuk mencari pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan.
            Perselingkuhan antara penguasa dan pemodal melahirkan kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada kepentingan umum. Bagaimanapun juga, pengusaha menginginkan buruh murah dan cadangan buruh. Penguasa mengharapkan uang “receh” dari keuntungan pengusaha. Semakin banyak jumlah buruh dan cadangannya, maka keuntungan pengusaha makin besar dan uang receh yang diterima penguasa pun semakin banyak.
Untuk mencapai itu, dibuatlah kebijakan pendidikan yang berorientasi pasar. Lembaga pendidikan sudah hampir sama dengan industri. Siswa dan mahasiswa adalah produk, guru/pendidik adalah buruh, kepala sekolah dan rektor adalah manejernya.  Sebagaian kecil lulusan kaum terdidik diterima di birokrasi pemerintahan, mandor perkebunan, akuntan/manejer perusahaan, tetapi sebagian besar menjadi buruh-buruh dengan upah rendah. Sisanya menjadi cadangan buruh dan penganggur terdidik. Sialnya, orang yang diterima di birokrasi pemerintahan terkontaminasi dengan sistem yang korup. Alhasil, pekerjaan rumah memberantas kemiskinan tak bisa selesai. Justru angka kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat dari tahun ke tahun.
            Selain itu, pola pikir dan perilaku masyarakat menjadi individualis dan hedonis. Ilmu menyelamatkan diri atau “cuci tangan” tanpa mempedulikan orang lain semakin berkembang. Berlomba-lomba menuju zona aman, nyaman, dan mapan. Orangtua menganjurkan anaknya menjadi PNS demi jaminan hari tua. Dia akan bangga jika anak-anaknya menjadi PNS atau pegawai yang berpenghasilan tetap. Guru dan dosen juga sering menganjurkan siswa/mahasiswanya agar “baik-baik” belajar supaya dapat nilai baik, lulus, dan cepat dapat kerja. Pemahaman yang keliru.
            Jika pemahaman dan “tradisi” ini tetap dipertahankan di tengah-tengah arus globalisasi dan perdagangan bebas seperti ACFTA, maka akan menghasilkan gelombang pengangguran dan kemiskinan yang semakin besar. Aset-aset negara akan habis dikuasai oleh kapitalisme global, produk-produk asing akan merajai pasar dalam negeri  dan pada akhirnya rakyat menjadi budak dan pengemis di negeri sendiri. Akankan kita biarkan?
Pendidikan yang Membebaskan
            Selama pendidikan kita dirasuki paham neoliberalisme, maka bangsa ini tak akan bisa bangkit. Untuk itu, pendidikan harus dikembalikan ke rel sesungguhnya yaitu Pasal 31 UUD 1945. Pendidikan hak semua warga negara. Pendidikan yang bermutu dan mampu membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan dan persoalan
rakyat lainnya. Juga membentuk pola pikir dan tindakan sederhana, mandiri, pekerja keras, kreatif dan inovatif, bermoral, dan memiliki kepedulian sosial. Intinya adalah pendidikan yang membentuk karakter bangsa.
            Suatu kabar gembira ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU BHP pada 31 Maret yang lalu. Karena UU tersebut melegalkan komersialisasi pendidikan yang bertentangan dengan konstitusi dan filosofi pendidikan. Namun kita juga harus kritis, mengingat akhir-akhir ini otonomi pendidikan gencar disuarakan. Sebab otonomi pendidikan khususnya di PT, merupakan semangat UU BHP. Otonomi pendidikan adalah mimpi buruk bagi orang miskin.
            Dengan semangat otonomi pendidikan, tidak sedikit PT yang membuka berbagai jalur masuk bagi calon mahasiswa baru. Misalnya jalur mandiri dan kelas internasional. Jalur-jalur ini semakin membuka pintu bagi orang kaya dan menutup pintu bagi orang miskin. Bagaimana tidak, uang kuliahnya sangat mahal bagi orang miskin. Kalaupun ada jalur “murah”, kuota yang diterima jauh lebih sedikit. Itu pun belum tentu anak miskin bisa lulus karena ketatnya persaingan. Bagaimana dengan anak miskin dengan kemampuan intelektual sedang dan sedang ke bawah? Itulah salah satu persoalan yang tak pernah disentuh pemerintah. Artinya pendidikan belum difungsikan untuk membebaskan bangsa dari belenggu persoalan.
            Sudah menjadi hukum wajib, pendidikan harus milik rakyat dan menjawab persoalan rakyat. Oleh sebab itu, kebijakan pendidikan pro-rakyat, pemerataan pendidikan, keadilan pendidikan, kurikulum pembebasan, peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, dan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, hendaknya berorientasi pada upaya membebaskan negeri ini dari keterpurukan. Tanpa itu, Indonesia hanya menjadi penonton di negara sendiri. Menyaksikan ketidakberdayaan bangsa yang tunduk pada kepentingan kapitalisme global. Menyaksikan penderitaan rakyat yang semakin melarat.
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 27 April 2010)

Menggugat UU BHP

Oleh: Jhon Rivel Purba 


Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, ketakutan, kemiskinan, penindasan, dan permasalahan lain yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Artinya pendidikan hadir untuk memanusiakan manusia (humanisasi).
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak terlepas dari peran pendidikan yang telah membentuk kesadaran kritis melihat persoalan yang ada. Kesadaran tersebut menjadi api perjuangan membebaskan rakyat yang tertindas akibat penjajahan. Setelah negeri ini merdeka, para pendiri bangsa menyadari bahwa pendidikan sangat penting dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sehingga salah satu cita-cita kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pendidikan adalah hak warga negara, tanpa memandang status, termasuk status ekonomi.
Negara harus memudahkan masyarakat mendapat pendidikan bermutu, ilmiah dan demokratis. Memang tidak sedikit upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan kita. Namun kalau kita melihat secara kritis, upaya tersebut seringkali tidak mempunyai pijakan yang jelas, tujuan yang kabur, target yang tidak logis, cara yang salah, pengelolaan yang amburadul, sehingga hasilnya pun tidak jelas juga. 
UU BHP: Bukan Solusi

Di tengah-tengah kebobrokan sistem pendidikan Indonesia, pemerintah kembali menawarkan solusi perbaikan pendidikan. Setelah sekian lama pemerintah gonta-ganti kebijakan, yang tidak pernah mampu menjawab persoalan pendidikan, akhirnya pada 17 Desember 2008, disahkan UU Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, atau disingkat dengan UU BHP.
Undang-undang ini menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Bahkan sebelum disahkan, sudah banyak aksi protes yang disuarakan oleh tokoh pendidikan, mahasiswa, LSM, dan pihak yang peduli terhadap pendidikan. Sialnya, pemerintah bersama legislatif tetap mensahkannya, dan terkesan buru-buru.
Aksi penolakan UU BHP akhir-akhir ini mulai menurun karena perhatian masyarakat terfokus pada pemilu 2009. Padahal, persoalan pendidikan adalah hal yang paling penting dan mendesak segera diatasi. Pendidikanlah dasar pembangunan negara. Sementara pemilu hanyalah pertarungan kekuasaan yang dinikmati segelintir orang, yaitu penguasa dan pemodal.
Ada beberapa alasan menggugat UU BHP. Pertama, UU BHP bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang ini merupakan turunan dari pasal 53 UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, yang bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945. Pemerintah harus memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negara dan memenuhi anggaran 20 persen dari APBN untuk biaya pendidikan. Anggaran pendidikan yang 20 persen tidak ada ditatur dalam UU BHP.
Kedua, tidak bisa menjawab persoalan pendidikan. UU BHP hanya membahas masalah-masalah teknis dalam pendidikan, yaitu pendanaan. Padahal yang terpenting dalam lembaga pendidikan adalah bagaimana menghasilkan subjek-subjek sadar yang mempunyai semangat nasionalisme, kepedulian sosial, kemandirian, dan karakter yang baik. Tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan koruptor, politisi busuk, penjahat HAM, pelaku kekerasan. Namun, mengapa banyak di negeri ini orang seperti itu? Hal tersebut jelas-jelas kegagalan lembaga pendidikan, dan inilah yang harus diperbaiki.
Ketiga, melegalisasi komersialisasi pendidikan. Otonomi pendidikan formal dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan ini akan semakin memperlebar kesenjangan dalam dunia pendidikan kita. Lembaga pendidikan akan berlomba-lomba mencari dana guna mempertahankan dan mengembangkan lembaganya masing-masing. Lembaga pendidikan yang tidak mampu bersaing akan bubar sendiri atau menggabungkan diri dengan BHP yang lain.
Komersialisasi pendidikan sudah terjadi pada beberapa PTN yang berstatus PT BHMN sejak 1999. Hal ini sangat jelas terlihat dalam penerimaan mahasiswa baru, penggunaan fasilitas kampus, dan pengelolaan usaha. Kampus membuka jalur-jalur khusus seperti jalur mandiri, internasional dan jalur lain dengan biaya kuliah yang sangat mahal. Tentunya orang yang bisa mengikutinya hanyalah orang-orang kaya. Semakin besar mahasiswa yang diterima melalui jalur khusus tersebut maka semakin kecil kesempatan orang menengah ke bawah mengakses pendidikan.
Fasilitas kampus yang seharusnya diperuntukkan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kreatifitas berubah fungsi menjadi alat mencari keuntungan. Fasilitas dijadikan barang dagangan melalui penyewaan yang cukup memberatkan mahasiswa. Selain itu, kampus lebih disibukkan mencari keuntungan melalui usaha yang dikelolanya daripada mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Hal ini juga terjadi di USU yang resmi menjadi PT BHMN sejak tahun 2003.
Kondisi di atas akan semakin parah dengan diberlakukannya UU BHP. Kebijakan ini bukanlah solusi melainkan malapetaka dalam dunia pendidikan kita. Untuk itu, UU BHP harus dicabut kembali karena bertentangan dengan konstitusi dan tidak sesuai dengan filosofi pendidikan. Seandainya, Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, masih hidup, mungkin dia akan marah dan menangis menyaksikan kondisi pendidikan saat ini, termasuk dengan disahkannya UU BHP.


Mencari Pemimpin Pejuang Rakyat

Oleh: Jhon Rivel Purba

Sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Bung Karno pernah menegaskan, bahwa bila nanti Indonesia Merdeka, jangan sampai kaum borjuis, kaum hartawan, kaum kapitalis, kaum feodalis, dan kaum kompromis yang memegang kekuasaan negara. Hal ini bisa kita pahami karena beliau menentang kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme. Namaun, apakah harapan itu terwujud?
            Kini negeri telah merdeka selama 64 tahun, namun harapan dari Bapak Revolusi itu justru terbalik. Bukan rakyat yang menjadi penentu arah perjalanan bangsa, melainkan dikendalikan oleh segelintir orang yang berasal dari kaum pemodal atau yang dimodali. Kebijakan yang dibuat pun tak terlepas dari kepentingan modal dan kekuasaan. Praktek-praktek seperti ini membengkak pada masa orde baru, dan hingga kini masih tetap menggurita menebar racun bagi rakyat.
            Kebijakan politik dan ekonomi seirama bagaikan sendok dan garpu menguras lumbung-lumbung kekayaan negara. Kekayaan alam dieksploitasi dan rakyat dijadikan sapi perah. Semakin lama semakin banyak aset-aset negara dikuasai oleh kapitalis dan semakin banyak pula rakyat yang mengemis. Rakyat terus menjadi korban bulan-bulanan dengan mengatasnamakan pembangunan. Pembangunan yang memuluskan penghisapan. Atau dengan kata lain, pemabangunan yang menyengsarakan rakyat.
            Jika pemimpin negara bukan berasal dari rakyat, maka sudah pasti rakyat tetap sengsara. Karena hanya rakyatlah yang mengerti persoalannya. Jadi, seharusnya rakyatlah penentu pengambilan kebijakan untuk mencapai cita-cita bersama. Demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Lantas, mengapa selama ini bukan rakyat yang memimpin? Bagaimana agar rakyat menjadi pemimpin?
Mandulnya peran politik rakyat
            Orde baru yang berkuasa selama 32 tahun, berupaya menjauhkan rakyat dari partisipasi politik. Penyederhanaan partai politik, penerapan sistem massa mengambang (floating mass), peraturan pengebirian partai politik, dan pemberlakuan dwifungsi ABRI telah memandulkan peran politik rakyat. Rakyat tetap diupayakan “jinak” patuh dan taat pada kebijakan penguasa, walaupun kebijakan itu bertentangan dengan konstitusi. Akibatnya, muncullah apatisme dalam politik. Bagi mereka yang kritis, mendapat tekanan dari pemerintah.
            Meskipun reformasi telah bergulir, namun bentukan-bentukan orde baru masih menghiasi era demokratisasi saat ini. Memang pintu kebebasan berpolitik telah dibuka, bersuara, berserikat, mendirikan partai politik, tapi kebebasan itu belum sepenuhnya digunakan untuk menciptakan perubahan sesuai dengan tuntutan reformasi. Justru sialnya, era reformasi dijadikan oleh segelintir orang, baik di pusat maupun daerah, untuk mencari lahan baru kepentingan politik dan ekonomi. Otonomi daerah menjadi ruang bari raja-raja kecil daerah untuk mengembangbiakkan kekayaannya. Partai politik juga dijadikan sebagai perusahaan.
            Menjamurnya partai politik ternyata tidak serta merta mencerdaskan rakyat dan mengakomodir kepentingan rakyat. Pemilu 1999 diikuti 48 parpol, Pemilu 2004 (24 parpol), dan Pemilu 2009 (38 parpol). Betulkah semua parpol itu memperjuangkan rakyat? Kalau kita jujur, parpol selama ini tidaklah lebih dari kendaraan politik untuk meraih maupun mempertahankan kekuasaan. Kendaraan politik ini dinaiki oleh segelintir elite yang mempunyai modal dan demi kepentingan modal. 
            Partai politik sudah seperti perusahaan pencari laba. Sibuk menjelang pemilu, pilpres, dan pilkada. Setelah itu absen bagai ditelan bumi. Kantor-kantornya yang dulu ramai menjelang pertarungan politik, tiba-tiba sepi setelah pertarungan berakhir. Ramai lagi menjelang pertarungan selanjutnya dan demikian seterusnya. Politik tidak  dijadikan alat untuk mensejahterakan rakyat, tetapi menjadi alat meraup keuntungan yang dinikmati elite-elite politik. Politik menjadi mata pencaharian.
            Di sinilah dosa besar partai politik yang tidak memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Sistem kaderisasi yang baku dan berkelanjutan adalah sesuatu yang langka. Sehingga parpol belum benar-benar mempersiapkan pemimpin sejati berjiwa kenegaraan. Lucunya, parpol mengusung orang yang bukan kadernya untuk menjadi calon pemimpin asal punya modal (uang). Lebih lucu lagi, yang diusung adalah orang yang dari partai lain. Bagai “kutu-kutu” loncat yang hinggap di mana saja demi kenyamanan, keamanam, dan kemapanan. Hal ini menegaskan bahwa parpol tidak serius melahirkan pemimpin pejuang rakyat, tetapi parpol lebih mempertimbangkan kepentingan-kepeningan modal dan kekuasaan.
Larut dalam Sistem
            Suara-suara kritis seringkali tidak didengarkan oleh penguasa, karena arogansi kekuasaan telah menulikannya. Suara kritis hanya dianggap seperti angin berlalu. Melihat kenyataan ini, ada dua pandangan lahir dari para aktivis. Pertama, sebaiknya tak masuk ke dalam sistem yang bobrok karena hanya akan tergelincir di dalamnya. Kedua, sebaiknya masuk ke dalam sistem guna mempengaruhi dan mengubah sistem. Sehingga, tidak sedikit orang-orang yang berasal dari kalangan aktivis, akademisi, dan  orang-orang yang selama ini kritis terhadap kebijakan penguasa, mencoba masuk ke dalam sistem. Semangat idealisme yang selama ini berkibar, dipertaruhkan guna memperbaiki sistem. Mereka masuk ke dalam sistem dengan harapan mengubah sistem yang korup dan berbelit-belit. Kenyataannya, mereka tak mampu melawan gelombang sistem yang tak beres, justru terlarut dalam sistem tersebut.
            Adalah So Hok Gie, aktivis mahasiswa angkatan 66, mengkritik rekan-rekannya yang duduk di parlemen maupun pemerintahan karena hanya pandai ‘bersolek”. Empuknya kursi kekuasaan, fasilitas-fasilitas mewah, dan gaji, telah menguburkan sikap idealis para pemimpin tersebut. Perkataan bisa idealis, tetapi perbuatan sudah kapitalis kompromis. Di sinilah tidak ada integritas seorang pemimpin.
            Hingga hari ini, pemimpin kita masih larut (nyaman) dalam sistem yang ada. Angktan 98 yang selama orde baru getol mengkritisi kebijakan pemerintah, tiba-tiba tak berbuat apa-apa untuk rakyat ketika dirinya memperoleh kue kekuasaan. Reformis gadungan. Memang tidak semua para aktivis yang duduk di parlemen maupun pemerintahan berlaku sama. Tapi ruang bagi mereka sempit untuk mengubah sistem. Mereka menghadapi pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, yang belum tentu kehendak rakyat. Belum lagi “tekanan” dari partai politik yang mengusung mereka.         
Pemimpin Pejuang Rakyat
            Bangsa ini membutuhkan pemimpin sejati yang membebaskan rakyat dari belenggu kesengsaraan. Pemimpin yang berasal dari rakyat. Rakyat dalam arti kaum buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, dan kaum tertindas lainnya. Karena hanya rakyatlah yang bisa membebaskan dirinya dari kesengsaraan, bukan pemodal. Untuk itu, mata kesadaran rakyat harus terbuka agar bangkit bergerak.
Sejalan dengan harapan menunggu “pertobatan” partai politik agar memberikan pendidikan politik bagi rakyat, maka upaya mencerdaskan rakyat tetap diupayakan. Mencerdaskan rakyat yang didukung oleh golongan menengah seperti mahasiswa. Juga, pers yang independen dan berani mutlak dibutuhkan. Sederhananya, rakyat harus tahu hak-hak dasarnya sebagai warga negara dan berani memperjuangkan hak-haknya.
Kemudian, persiapan melahirkan pemimpin pejuang rakyat hendaknya dipersiapkan. Organisasi-organisasi rakyat harus mandiri, solid, dan kuat baik dari segi kualitas maupun  kuantitas anggota. Organisasi yang pada akhirnya mempunyai kekuatan politik menentukan arah kebijakan negara dan dalam melahirkan pemimpin rakyat. Jika perlu, organisasi-organisasi rakyat yang sudah kuat, melebur menjadi sebuah partai politik rakyat. Partai yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seandainya ini terwujud, pasti kedaulatan ada di tangan rakyat sesuai dengan konstitusi kita. Masalahnya, mungkinkah ini terwujud dengan melihat realita politik yang ada dan derasnya kepentingan kapitalisme global?
(Dimuat di Harian Medan Bisnis, 16 April 2010)

Pendidikan dan Upaya Pemberantasan Korupsi

Oleh: Jhon Rivel Purba

Akhir-akhir ini upaya pemberantasan korupsi bergema di negara kita. Setiap hari media (cetak dan elektronik) selalu menyajikan berita-berita tentang kasus korupsi dan berbagai upaya pemberantasannya. Hal ini sejalan dengan salah satu  agenda reformasi yaitu pemberantasan korupsi.
Karena disadari, jika korupsi tetap mengakar dan membudaya di Republik Indonesia (RI), maka bangsa ini tidak akan bisa bangkit.  Bangsa tetap terpuruk akibat kelakuan para koruptor yang menghisap uang rakyat. Uang yang seharusnya digunakan mengatasi persoalan-persoalan rakyat, justru dihambur-hamburkan oleh pengkhianat bangsa (koruptor).
Masyarakat berharap banyak agar upaya pemberantasan korupsi bisa tuntas sampai ke akar-akarnya demi kelancaran pembangunan nasional. Namun, harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Upaya pemberantasan korupsi juga mendapat hambatan dan tantangan terutama dari mereka yang tetap ingin mempertahankan status quo. Bagi mereka yang mempunyai “dosa-dosa” masa lalu. Bagi mereka yang serakah akan  uang dan kekuasaan. Bagi mereka yang mencari, mempertahankan dan mengembangbiakkan jabatan dengan menghalalkan segala cara. Tidakkah mereka pernah dididik di lembaga pendidikan? Pasti pernah. Berarti ada sesuatu yang salah (kurang) dalam dunia pendidikan kita.
            Pada hakekatnya, pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia (humanisasi) dan mengatasi masalah yang dihadapi manusia demi kemaslahatan hidupnya. Bagi republik ini, secara ideal pendidikan diupayakan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur. Tapi kenyataannya, lulusan lembaga pendidikan seringkali justru menciptakan masalah baru bukan mengatasi masalah. Misalnya, masalah penganguran kaum terdidik. Ada juga yang menjadi koruptor-koruptor kecil yang akan membesar berjemaah. Berarti pendidikan kita telah bertolak belakang dari hakekat pendidikan.
            Kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan ketidakberdayaan adalah masalah yang seharusnya diselesaikan melalui pendidikan. Itu tak mungkin terjadi jika korupsi masih merajalela. Pemberantasan korupsi juga tak akan bisa tuntas jika arah pendidikan bermuara pada hasil, bukan proses. Untuk itu, perlu diupayakan agar usaha pemberantasan korupsi sejalan dengan upaya perbaikan sistem pendidikan.
            Selama ini di lembaga pendidikan pun banyak terjadi kebohongan dan ketidakadilan. Pelaksanaan UN (Ujian Nasional) yang penuh sandiwara merupakan sebuah kebohongan besar. Ketika UN dijadikan sebagai syarat kelulusan siswa tanpa mempertimbangkan keadilan dan pemerataan pendidikan, sesungguhnya adalah kebijakan sesat. Seolah-olah mutu pendidikan dilihat dari angka-angka yang didapatkan dalam beberapa jam di bangku ujian. Padahal angka-angka tersebut penuh rekayasa.
Bukti-bukti kecurangan memberikan kunci jawaban kepada siswa yang mengikuti UN terungkap jelas. Tim investigasi Komunitas Air Mata Guru (KAMG) telah membuktikannya sejak tahun 2007. Bahkan pada pelaksanaan UN berikutnya juga, kecurangan kembali terungkap dimana soal UN telah beredar sebelum pelaksanaan ujian. Perlu ditekankan, kecurangan itu bukan kesalahan siswa ataupun sang guru. Tak lain dan tak salah lagi, itu adalah kebijakan sesat. Kebijakan yang memaksa sang guru mengorbankan nuraninya. Kebijakan yang terpaksa mempertontonkan kebohongan-kebohongan dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, UN (jika masih dijadikan sebagai penentu kelulusan) harus dihapuskan karena telah mengorbankan siswa, orangtua siswa, dan guru-guru.
            Tampaknya kedangkalan visi pendidikan ini menyebabkan kaum terdidik berorientasi angka (hasil) bukan proses ataupun kualitas. Makanya, tempat bimbingan belajar akan diramaikan siswa khususnya dari kalangan menengah ke atas. Karena lembaga bimbingan belajar tersebut menjanjikan lulus UN maupun PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Belajar untuk lulus, bukan untuk mengatasi masalah. Belajar untuk mendapatkan pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan. Inilah kekeliruan sistem pendidikan kita yang bertolak belakang dari hakekatnya. Itulah yang ditanamkan sehingga pada akhirnya menuai segudang masalah. Salah satunya adalah korupsi. 
            Jika dari lembaga pendidikan telah (terpaksa maupun dipaksa) mempertontonkan dan mengajarkan kebohongan kepada kaum terdidik seperti kecurangan UN tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan ketika kaum terdidik lulus dan bekerja, ia akan mempraktekkan kebohongan yang lebih besar. Tidak ada lagi rasa malu melakukan korupsi. Karena itu juga yang didapatkan dari bangku sekolah. 
            Salah satu jalan untuk menyelamatkan bangsa ini adalah dengan memperbaiki sistem pendidikan. Korupsi dicegah melalui sistem pendidikan yang menanamkan kejujuran. Memang memberantas korupsi harus dilakukan dari semua lini karena faktor penyebabnya juga beragam. Sembari mendukung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat penegak hukum, melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi, kita juga berharap dan berjuang agar sistem pendidikan benar-benar mengutamakan kepentingan bangsa.
            Kita harus jujur. Itu yang terutama. Jujur pada masa lalu, masa sekarang, dan menanamkan kejujuran demi hari depan. Dalam penuntasan kasus-kasus korupsi, seperti kasus Bank Century dan lainnya, kejujuran menjadi kunci penyelesaian. Pemerintah, legislatif, dan eksekutif hendaknya menunjukkan kunci ini kepada rakyat agar bangsa ini bangkit dan maju. Kalau terus berdusta dan bersandiwara, maka republik ini akan hancur.
            Dalam dunia pendidikan, kejujuran sudah seharusnya ditanam di dalam jiwa kaum terdidik. Berani mengakui kesalahan dan siap mempertanggungjawabkaannya. Pendidikan moral dan spritual perlu ditekankan agar kaum terdidik mempunyai fondasi yang kuat dalam melangkah ke depan. Fondasi yang kuat  dibarengi dengan kemampuan dan ketrampilan akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas bermoral.
            Untuk itu, kebijakan pendidikan yang selama ini keliru harus diluruskan. Kebijakan yang jujur, berkeadilan, bermartabat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan adalah harapan rakyat. Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi adalah pendidikan yang membentuk kesederhanaan, kepedulian sosial, kemandirian, dan semangat nasionalisme.
            Orang yang berjiwa sederhana tidak akan tergiur diperbudak uang dan kekuasaan sebab bukan itu kepuasan hidupnya. Orang yang mempunyai kepedulian sosial tidak akan meraup harta rakyat demi kepentingan pribadi maupun golongannya. Orang yang mandiri tidak akan menambah beban negara justru mendukung pembangunan. Dan orang yang mempunyai semangat nasionalisme, akan mengutamakan kepentingan bangsa dan tidak ingin bangsanya terus terpuruk.
            Jujur kita akui, kejujuranlah yang langka di negara ini. Oleh sebab itu, sebagai anak bangsa yang tidak menginginkan kehancuran negeri, maka tugas kitalah menanamkan kejujuran terutama dalam dunia pendidikan. Kemudian bagi sang guru, hendaknya menunjukkan teladan dan menanamkan kejujuran sejak dini bagi muridnya. Semoga lahirlah generasi bangsa yang jujur yang tidak mengikuti jejak para koruptor. Itulah harapan kita semua.

Seputar Persoalan Sertifikasi Guru

Oleh: Jhon Rivel Purba

            Kalau berbicara mengenai pendidikan, tentu banyak persoalan pendidikan yang kita hadapi. Sepertinya sudah menjadi benang kusut yang sulit diurai. Persoalan pendidikan tersebut antara lain: kebijakan pendidikan, manajemen pendidikan, kesenjangan pendidikan, anggaran pendidikan, fasilitas pendidikan, korupsi dalam dunia pendidikan, kekerasan dalam dunia pendidikan, dan juga kualitas dari tenaga pendidik.
            Tidak bisa dibantah bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh pendidikan. Pendidikan yang bermutu tentu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) handal.  Untuk itu, salah satu penentu kualitas pendidikan ditentukan oleh guru. Guru yang profesional akan memajukan bangsa dan demikian sebaliknya. Gurulah yang menjadi obor dunia pendidikan. Menerangi kegelapan pikiran maupun tindakan. Bahkan menerangi masa depan bangsa.
            Kalau kita bercermin pada kenyataan, masih banyak guru di negeri ini yang belum profesional. Profesional dalam arti mempunyai kemaun belajar, memiliki komitmen pengabdian, terampil, bertanggungjawab, disiplin, dan sungguh-sungguh melayani. Ada pemahaman yang keliru ketika guru dijadikan sebagai profesi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Guru sebagai mata pencaharian. Padahal lebih dari itu, menjadi guru adalah tugas mulia yaitu melayani, mengabdi, dan berbakti.
            Di satu sisi, sangat prihatin melihat guru yang berpenghasilan minim tidak layak secara kemanusiaan. Sebagian dari mereka harus mencari penghasilan tambahan selain mengajar di sekolah. Bagaimana mungkin guru bisa profesional dengan gaji sedikit? Namun, di sisi lain, tidak ada juga jaminan bahwa profesionalisme ditentukan oleh tingkat kesejahteraan. Bukankah tidak sedikit guru di sekolah negeri dengan penghasilan cukup namun tak profesional?
Sertifikasi Guru
            Dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru, pemerintah mengeluarkan kebijakan terbaru yaitu Permendiknas RI No. 10 tahun 2009 tentang Setifikasi Guru dalam Jabatan. Kebijkan ini juga bertujuan untuk menentukan kelayakan guru, meningkatkan proses pembelajaran, dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sertifikasi guru dalam jabatan merupakan proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang bertugas sebagai guru kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling, dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan. Manfaat sertifikasi ini bagi guru adalah melindungi profesinya dari praktek-praktek pendidikan yang tidak berkualitas, dan meningkatkan kesejahteraan guru.
            Pertanyaan mendasar, apakah pelaksanaan sertifikasi guru telah meningkatkan profesionalisme guru dan kualitas pendidikan kita? Tidak. Sertifikasi guru yang telah dimulai sejak tahun 2006 belum berhasil sesuai dengan harapan. Justru kebijakan ini menimbulkan persolan baru.
            Memang, pembicaraan sertifikasi guru selalu hangat dibicarakan khususnya di kalangan guru. Tapi pembicaraan itu tidak mengarah pada perbaikan kualitas pendidikan kita. Kebanyakan guru membahas hal ini hanya karena melihat sisi materinya, bukan esensinya. Maka, segala cara dilakukan demi sebuah sertifikat pendidik didapatkan dengan instan. Salah satunya adalah dengan mencari sertifikat, bukti mengikuti seminar.
            Guru-guru berlomba-lomba mendapatkan sertifikat-sertifikat dari berbagai seminar dan loka karya sebagai bahan penilaian sertifikasi guru. Mengikuti seminar sebagai peserta seakan-akan menjadi kegiatan tambahan guru saat ini. Padahal di seminar itu, tidak sedikit dari mereka yang tidur atau keluar-masuk ruangan. Kesadaran dan kemampuan apa yang didapat dengan perilaku seperti itu? Anehnya, ada guru mendapatkan sertifikat dari sebuah seminar, padahal guru tersebut tidak mengikutinya. Artinya sertifikat itu dibeli dari penyelenggara. Terjadilah proses penipuan dalam sertifikasi guru ini. Semuanya menjadi lahan bisnis.
            Jika proses awal pun sudah dimulai dengan tipuan dan kompromis, maka hasilnya pun penuh dengan rekayasa. Dari pengakauan beberapa guru, mereka tidak melihat perubahan dari guru yang lulus sertifikasi. Guru yang telah memegang sertifikat pendidik tetap menggunakan metode lama dalam proses belajar-mengajar. Tidak profesional. Mana mungkin kualitas pendidikan meningkat jika tetap diajar dengan cara-cara lama. Guru tersebut hanya berganti baju. Baju sertifikat pendidik, namun isinya tetap usang.
            Selain itu, ada juga masalah dalam pemberian gaji kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik. Dalam ketentuan, guru yang bersertifikat pendidik memperoleh penghasilan tambahan sebesar gaji pokok setiap bulan. Namun dalam kenyataan, ada potongan-potongan dan belum tentu diberikan sekali dalam sebulan. Artinya, terdapat banyak kejanggalan yang tak seharusnya.
Perlu Pengawasan
            Kebijakan apapun tanpa mendapat pengawasan, bisa dipastikan menimbulkan persoalan baru. Kebijakan sertifikasi guru ini mengeluarkan dana yang besar demi tujuan yang besar. Dana itu akan sia-sia jika tak dikerjakan dengan serius dan bertanggungjawab. Juga mimpi mewujudkan pendidikan yang bermutu hanyalah basa-basi kalau tak dikerjakan dengan nurani. Oleh karena itu, pengawasan kebijakan sertifikasi guru mutlak dilakuakan.
            Pertama, seleksi yang ketat. Kriteria guru yang memenuhi syarat sertifikasi harus jelas dan diseleksi dengan objektif. Unsur-unsur nepotisme perlu dibuang. Pemalsuan dan rekayasa dokumen perlu juga disikapi dengan teliti. Cara-cara tak mendidik seperti pelicinan jalan prosedur melalui suap harus dihilangkan di lembaga pendidikan yang mendidik calon pemimpin bangsa. Untuk itu, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), dan Perguruan Tinggi (PT) yang mengelola pengadaan tenaga pendidik terakreditasi yang diberi izin oleh menteri pendidikan, hendaknya jujur dan terbuka dalam proses sertifikasi guru.
            Kedua, pendidikan dan pelatihan yang bermutu. Setelah melalui kepala sekolah, dinas pendidikan, dan LPMP, tentu guru yang lulus syarat sertifikasi akan dinilai oleh PT pelaksana sertifikasi guru. Bagi yang lulus pasti mendapat sertifikat pendidik. Sementara bagi yang tidak lulus wajib mengikuti Pendidikan dan Pelatiahan Profesionalisme Guru (PLPG) di PT tersebut, katakanlah seperti di Universitas Negeri Medan (UNIMED). Di sinilah perlu ditekankan bahwa pelatihan yang singkat tersebut janganlah hanya formalitas, tapi perlu diseriusi mempersipakan guru yang kompeten. Dimana sesuai dengan UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005, hendaknya tenaga pendidik memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
            Ketiga, transparansi. Kebijakan sertifikasi guru baik pelaksanaan maupun pendanaan hendaknya transparan dari pusat hingga ke guru. Janganlah kebijakan ini menjadi lahan baru bagi para koruptor di lembaga yang seharusnya bersih dari tindakan tak terpuji ini. Jika cara-cara korup tetap dibiasakan, maka bangsa ini tak akan mungkin bisa bangit dari keterpurukan.
            Keempat, teladan guru bersertifikat. Guru yang memiliki sertifikat pendidik boleh saja berbangga diri. Namun kelayakan seorang guru bukanlah terletak pada sertifikatnya, tapi harus dibuktikan dengan karya dan pengabdian. Guru yang menjadi teladan. Teladan bagi siswa, guru, dan masyarakat. Guru yang menjadikan siswa sebagai subjek-subjek sadar sebagai manusia bebas merdeka. Sehingga setiap masalah selalu didiskusikan dan sama-sama belajar untuk mencari solusinya. Sebab itulah yang menjadi esensi dari pendidikan, yaitu memanusiakan manusia (humanisasi).
            Kelima, peran media dan semua elemen masyarakat. Semua warga negara pasti menginginkan negaranya maju. Kemajuan suatu negara ditentukan oleh negara itu sendiri. Dalam hal ini, bangsa Indonesia  bercita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah yang menjadi mimpi para pendiri bangsa dan kita semua. Maka, kebijakan sertifikasi guru yang merupakan bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa (jika dilaksanakan dengan baik), hendaknya kita dukung dan awasi. Media dan semua elemen masyarakat yang sadar hendaknya secara kritis dan bijak berperan demi terwujudnya pendidikan bermutu, ilmiah, demokratis, dan mengabdi untuk rakyat.

Jumat, 26 Oktober 2012

Mengingkari Nurani

Oleh: Jhon Rivel Purba 

Jumat malam, 19 Maret 2010, atau tiga hari sebelum pelaksanaan ujian nasional (UN), seorang guru SMA di salah satu sekolah swasta di Medan, menumpahkan kegelisahannya kepada saya dalam diskusi empat mata. Sebagai wali kelas tiga SMA, gelombang tuntutan menerpanya agar semua siswanya lulus 100 persen dalam UN. Tuntutan itu datang dari siswa, orangtua siswa, kepala sekolah, yayasan, dan dinas pendidikan. Dia pesimis, jangankan 100 persen lulus, sepuluh persen saja baginya sudah luar biasa. Pasalnya, selama empat kali sekolah itu mengadakan simulasi UN atau biasa disebut try out, tak satu pun siswanya yang lulus. Kondisi demikian membuatnya berada di persimpanngan jalan. Mengutamakan kejujuran atau menghalalkan segala cara demi kelulusan siswa. Kedua-duanya memiliki konsekuensi logis. Tapi yang jelas menurut pengakuan sang guru, pihak sekolah sudah berupaya membagikan “kue” (kunci jawaban) kepada siswa.
            Jika sang guru mendahulukan nurani mengutamakan kejujuran, maka menjadi mimpi buruk bagi siswa, orangtua siswa, sang guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, dan masa depan sekolah itu sendiri. Karena pasti banyak siswa yang tidak lulus. Siswa yang tak lulus akan merasa malu, khawatir, takut, dan tak bisa menerima kenyataan. Bahkan beban tersebut bisa mengganggu psikologisnya, dan parahnya menyakiti diri bahkan membunuh diri sendiri. Siswa yang bunuh diri karena tak lulus UN bukan lagi berita baru. Siswa yang tak lulus UN juga terancam tak bisa melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Meskipun dia punya bakat dan potensi misalnya musik dan olah raga, tapi jika tak lulus UN, maka niat itu terkurung.
            Orang tua dari siswa yang tak lulus juga akan malu, kecewa dan marah, yang bisa menimbulkan hubungan tak baik dengan si anak, guru, dan kepala sekolah. Sebab tak ada orangtua yang menginginkan anaknya tidak lulus. Ketidaklulusan anaknya menambah beban hidupnya Komunikasi yang destruktif hanya akan memperburuk keadaan dan menambah masalah baru.
            Guru juga akan menjadi korban pelaksanaan UN yang jujur. Jika siswanya tak lulus, maka guru dipersalahkan. Guru yang jujur mengutamakan nurani akan mendapat tekanan dari pihak-pihak yang mempertahankan status quo. Tahun 2007 yang lalu, tidak sedikit guru-guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru (KAMG) yang mendapat perlakukan tak adil karena membongkar kecurangan UN. Diantara mereka, ada yang ditegur, dikurangi les mengajarnya, bahkan dipecat. Siswa dan orangtua siswa juga seringkali memusuhi guru yang jujur. Aneh, orang jujur dianggap tak waras.
            Selain guru, kepala sekolah juga menjadi korban pelaksanaan UN. Mengupayakan siswa lulus 100 persen adalah upaya menyelamatkan nama baik sekolah dan menyelamatkam “muka” atasan, yakni dinas pendidikan. Jika sekolah yang bersangkutan memiliki prestasi rendah (dilihat dari hasil UN), maka kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi di sekolah tersebut, bisa saja dimutasikan.
            Beberapa waktu sebelum pelaksanaan UN, fakta kejujuran pelaksanaan UN telah ditandatangani oleh 33 kepala dinas pendidikan, BSNP, dan MRI yang disaksikan oleh Mendiknas. Mungkinkah komitmen itu direalisasikan dengan baik? Selama dinas pendidikan berorientasi hasil (nilai), maka laporan ABS (Asal Bapak Senang) tetap diupayakan. Semakin tinggi angka kelulusan (kalau bisa 100 persen) di daerah yang ditanggungjawabinya, maka nama baik dinas pendidikan tersebut semakin harum di depan atasannya. Hal ini tentu menguntungkan karena akan semakin mudah mendapat “jatah” dari pusat.
            Tak ada satu sekolah pun yang menginginkan siswanya tak lulus. Semakin banyak siswa yang tak lulus dari sekolah tersebut, maka kepercayaan masyarakat semakin menurun terhadap kualitas dari lembaga pendidikannya. Ujung-ujungnya, siswa enggan mengecap pendidikan di lembaga pendidikan tersebut karena takut tak lulus. Kalau sudah seperti itu, kebangkrutan dan pembubaran tinggal menunggu waktu. Supaya hal ini tak terjadi, maka pihak sekolah berupaya menyelamatkan nama baiknya.
            Demi “menyelamatkan” siswa, orangtua siswa, guru, kepala sekolah, yayasan, dinas pendidikan, hingga pemerintah pusat, maka diupayakan agar siswa lulus semaksimal mungkin. Upaya ini tak salah jika dilakukan dengan benar. Yang menjadi persoalan adalah menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan tersebut. Seolah-olah tujuan pendidikan kita adalah untuk mencari nilai demi kelulusan.
Bercernin pada pengalaman pelaksanaan UN, praktek-praktek kecurangan dan kebohongan secara sistematis telah menciderai wajah pendidikan kita. Telah banyak bukti-bukti yang membuktikan bahwa pelaksanaan UN adalah sandiwara nasional. Penuh dengan kepura-puraan. Rekayasa. Dari beberapa siswa yang lulus tahun 2003 sampai dengan 2009, belum ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan UN benar-benar jujur. Hanya saja belum ada survei yang mengkaji hal ini secara ilmiah mendalam. Tapi setidaknya kita telah tahu hal ini, tapi kita malu-malu mengakuinya. 
            Jika menghalalkan segala cara demi kelulusan siswa terus menjadi tradisi, maka berdampak negatif terhadap masa depan bangsa. Kecurangan yang dipertontonkan di depan siswa akan membentuk siswa berkarakter penipu dan kurang mempercayai sang guru, orang yang selama ini mendidik mereka. Lambat laun sang siswa akan menjadi pemimpin bangsa yang korup, pragmatis, dan berpikiran sempit.
            Pelaksanaan sandiwara nasional ini hanya menghabiskan energi dan materi. Seandainya uang tersebut digunakan untuk membantu orang miskin, maka  ribuan anak miskin bisa tersenyum menatap cerahnya masa depan dengan mengecap pendidikan. Ribuan buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin kota mendapat penghidupan yang layak. Namun sayang, dana tersebut hanya dihambur-hamburkan dan sebagian masuk ke dalam kantung segelintir orang.
            Pelaksanaan UN yang dijadikan sebagai standar kelulusan adalah kebijakan pendidikan yang sesat. Bukan UN yang menentukan kualitas pendidian kita. Kualitas pendidikan harus dilihat dari sudah sejauh mana pendidikan itu mampu mengatasi masalah bangsa ini. Misalnya masalah kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketertindasan, dan ketidakberdayaan. Kualitas pendidikan bukan dilihat dari angka-angka dari hasil ujian selama beberapa jam.
            Pemerintah hendaknya bertobat dari kebijakan sesat ini. Masih banyak masalah pendidikan yang memerlukan perhatian besar, misalnya kualitas tenaga pendidik, sarana dan prasarana lembaga pendidikan, kesejahteraan tenaga pendidik, kurikulum yang tak jelas dan akses pendidikan untuk kaum marginal. Jangan terus-terus berkutat dalam pelaksanaan UN hingga masalah yang lain terabaikan. UN tak ubahnya adalah perang yang sia-sia. Banyak yang dikorbankan, termasuk nurani terluka.
            Oleh sebab itu, Sampai kapankah kita mengingkari nurani? Sampai kapankah kepura-puraan ini? Pengingkaran nurani hanya akan membawa negara ini ke pintu kehancuran. Kepura-puraan hanya akan menambah gelombang kebohongan yang baru. Kita pasti tak menginginkan tanah air ini dihuni manusia pembohong. Mengingkari nurani.
(Dimuat di Harian Analisa, April 2010)

Sekolah bagi Orang Miskin

Oleh: Jhon Rivel Purba

Rakyat miskin di negara ini semakin sulit mendapat akses untuk bisa keluar dari ketidakberdayaannya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerinah pun seringkali tidak berpihak kepada rakyat, justru semakin menenggelamkan mereka dalam jurang kesengsaraan. Pejabat-pejabat publik lebih mengutamakan kepentingan pribadi maupun golongan. Bahkan melakukan korupsi besar-besaran, menghisap uang rakyat. Akibatnya, pembangunan nasional tidak menyentuh persoalan-persoalan rakyat. Rakyat semakin miskin, tergusur, dan menjadi kuli di negara sendiri. Bagaimana mungkin orang miskin bisa bangkit dari ketidakberdayaannya jika tak punya akses dan jika kebijakan tidak berpihak kepada mereka.
Salah satu akses untuk membebaskan si miskin dari kesengsaraan adalah pendidikan. Namun, sistem pendidikan kita tidak berpihak kepada si miskin. Biaya pendidikan semakin mahal menyebabkan anak si miskin tak bisa sekolah karena keterbatasan dana. Di daerah-daerah miskin, tenaga pengajar dan fasilitas pendidikan sangat minim. Kenyataan ini membuat mereka selalu jauh tertinggal dalam kualitas.
            Di sekitar kita, tidak sedikit anak-anak yang tak bisa mengecap pendidikan karena ketidaksanggupan ekonomi. Anak-anak itu berkeliaran, hinggap di jalanan, lampu merah, dan tempat-tempat umum. Mereka terpaksa bekerja dalam usia muda guna melangsungkan hidup. Ada yang mengumpulkan barang bekas, buruh pabrik, mengamen, mengemis, dan membantu orangtuanya yang miskin. Tidak sedikit dari mereka yang mendapat perlakuan kejam seperti pelecehan seksual, tindakan kekerasan, dan perlakukan yang merusak mental dan fisiknya. Masa-masa yang seharusnya diisi dengan mengecap pendidikan, berganti menjadi mengecap penderitaan. Mereka tak menginginkan itu, tapi mereka terpaksa melakukannya. Keterpaksaan yang tidak keharusan.
            Pada umumnya, mereka sangat rindu memakai seragam sekolah dan menikmati pendidikan sebagaimana teman-temannya yang lain. Namun apa daya, angin segar keberpihakan juga tak berhembus bagi mereka. Padahal mereka adalah sebagian generasi masa depan negeri yang menentukan arah bangsa ke depan. Bisa dipastikan, jika mereka tak dipedulikan, maka negara ini ke depan tetap cacat. Kemiskinan tetap menjadi masalah yang besar di negara yang telah merdeka ini.
            Berdasarkan kegelisahan itu, penulis bermimpi untuk mendirikan sekolah bagi orang miskin. Tentu banyak juga orang yang bermimpi demikian, termasuk orang miskin. Lantas, sekolah seperti apa yang sebaiknya didirikan? Sekolah bagi orang miskin tidak cukup dengan membebaskan biaya pendidikan. Tetapi yang paling perlu diterapkan adalah metode belajar yang membentuk kesadaran, moral, kepedulian, kreatifitas, kemandirian, kesederhanaan, kerja keras, dan semangat nasionalisme.
Gerakan Bersama
            Upaya seperti ini memang sudah ada dilakukan beberapa pihak, baik perseorangan maupun kelompok atau pun organisasi. Hanya saja belum maksimal dan berdampak luas. Tapi setidaknya mereka telah membuka jalan menjangkau anak miskin. Tentu kita berharap, agar upaya ini menjadi sebuah gerakan bersama membangun bangsa dengan menghadirkan sekolah bagi orang miskin. Karena kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh pendidikan. Pendidikanlah yang menjadi kunci keberhasilan sebuah bangsa dalam mewujudkan cita-citanya.
            Pertanyaannya, bagaimana supaya gerakan ini berdampak luas dan berjangka panjang? Dalam gerakan apapun, yang paling dibutuhkan adalah kerja sama yang baik. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama berbagai pihak yang memimpikan kemajuan bangsa, seperti tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, pers, mahasiswa dan segenap masyarakat. Visi itulah yang menyatukan semua elemen masyarakat dalam sebuah gerakan bersama.
            Agar lebih maksimal, pemerintah perlu didesak agar mendengar dan membuat kebijakan ini. Reformasi pendidikan. Mengembalikan pendidikan kepada masyarakat. Karena pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan milik pemodal atau alat penguasa. Seluruh anak bangsa berhak mengecap pendidikan, tanpa terkecuali orang miskin. Hal ini jelas dan tegas diatur di dalam konstitusi. Jika ada anak miskin tak sekolah karena keterbatasan dana, maka itu tanggung jawab pemerintah.
            Dalam era otonomi daerah, kiranya pemerintah juga membuat peraturan daerah (Perda) yang mengatur hal perlindungan bagi si miskin, khususnya dalam bidang pendidikan. Karena sejatinya, otonomi daerah dijalankan guna memudahkan pembangunan di daerah-daerah dimana selama ini pengambilan kebijakan bersifat sentralistik. Bukan menciptakan raja-raja kecil seperti yang terjadi saat ini.
            Kita tidak boleh pesimis dengan gerakan ini. Memang, selama ini pemerintah tampaknya melepaskan tanggung jawabnya dalam dunia pendidikan. Mari kita kritisi kebijakan yang keliru agar lurus sesuai dengan hakekatnya. Kita berikan solusi mengatasi masalah dan mendesak pemerintah membuat kebijakan pendidikan yang pro-rakyat. Pendidikan yang berkeadilan. Pendidikan yang memberi ruang selebar-lebarnya bagi orang miskin.
            Kalaupun pemerintah tak mendengar seruan pembebasan bagi orang miskin, kita tak boleh menyerah. Bendera perjuangan itu harus terus berkibar di dalam jiwa dan tindakan kita. Hidup adalah perjuangan, sebab kedamaian hanya ada bagi orang yang tak pernah berhenti berjuang. Berjuang untuk membebaskan orang miskin dari ketidakberdayaannya adalah tugas suci mulia. Membebaskan dengan menghadirkan sekolah bagi orang miskin.
            Selanjutnya, hal yang perlu dipikirkan adalah membuat strategi taktik dan terobosan-terobosan segar dalam menjalankan gerakan ini. Termasuk dalam program, manajemen, pendanaan, dan membangun jaringan. Semoga saja, anak miskin bisa sekolah supaya tidak mengikuti jejak orang tuanya yang miskin. Dan semoga, gerakan ini bukan hanya mimpi.
(Dimuat di Harian Analisa, 6 Februari 2010)

Rabu, 24 Oktober 2012

Membangun Pendidikan Kita

Oleh: Jhon Rivel Purba

Pada dasarnya tujuan pembangunan di negara ini adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Namun, harapan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Rakyat masih terombang-ambing di atas gelombang ketidakpastian. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kemelaratan, ketertindasan, dan penghisapan masih menjadi penjara yang memperihatinkan. Belum lagi bencana yang silih berganti semakin melengkapi penderitaan rakyat.
Becermin pada kenyataan, tentu ada yang salah dengan pembangunan sebelumnya. Sebab kenyataan sekarang adalah produk pembangunan masa lalu.
Tumbangnya orde lama dan tumbuhnya orde baru mengubah konsep dan arahan pembangunan. Orde lama mengutamakan kemandirian ekonomi yang ditandai dengan konsep ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dengan menasionalisasi aset-aset asing. Sementara, orde baru menggunakan konsep pembangunan yang dianjurkan oleh negara maju (AS dan Eropa).
Orde lama dan orde baru sama-sama belum mampu menyejahterakan rakyat. Bedanya, masa orde lama, aset-aset negara masih dimiliki oleh negara. Sedangkan masa orde baru, perlahan tapi pasti, aset negara berpindah tangan pada asing. Pemerintah orde baru taat pada kepentingan asing yang tercermin dalam kebijakan pembangunan nasional.
Kepentingan asing adalah menguras segala kekayaan negara  dan memasarkan produk mereka ke negara ini. Selain itu, tenaga kerja yang mau (terpaksa) dengan upah rendah, semakin menggiurkan penggelembungan kekayaan asing. Untuk mencapai kepentingan itu, pemodal asing merayu (menjinakkan) penguasa negara dengan berbagai tawaran-tawaran yang pada intinya adalah keuntungan asing berlipat-lipat. Pemahaman visi yang dangkal, kepentingan jangka pendek, kepentingan pribadi maupun golongan, dan ketidakpahaman membangun telah menjadikan penguasa patuh pada asing.
Pembangunan memang berjalan berkat pinjaman utang dari asing. Jalan raya, jembatan, listrik, telekomunikasi dan gedung-gedung mewah dibangun seolah-olah negara ini tiba-tiba bermetamorfosis dari primitif menjadi modern. Itulah yang dibangga-banggakan pada masa orde baru sehingga Soeharto disebut sebagai bapak pembangunan. Padahal pembangunan fisik tersebut dominan adalah memuluskan usaha asing menguras kekayaan negeri.
Pemerintah kurang paham dalam membangun manusia Indonesia yaitu melalui pendidikan. Memang, pihak asing juga tak mau jika rakyat Indonesia cerdas karena menjadi tantangan bagi mereka melakukan eksploitasi. Lagipula, jika rakyat tetap bodoh, maka bisa dijadikan budak murahan.
Konsekuensi logis dari pembangunan masa orde baru  yang mengeksploitasi sumber daya alam yaitu telah merampas hak generasi bangsa dengan tergadainya aset negara, kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi, ketergantungan pada kekuatan ekonomi asing, pengrusakan lingkungan hidup, serta mewariskan utang.
Kini setelah 11 tahun reformasi (orde terbaru), pembangunan bangsa tampaknya masih mengikuti pembangunan orde baru. Pembangunan yang mengembangbiakkan kekayaan pemodal asing. Pemerintah tetap taat pada agenda neoliberalisme yang ditandai dengan kebijakan-kebijakan yang berbau neoliberal seperti privatisasi aset-aset negara, pencabutan subsidi rakyat, dan penyerahan ekonomi pada pasar.
Rakyat miskin semakin tergusur mengatasnamakan pembangunan, orang miskin tak bisa sekolah karena tak ada subsidi pendidikan apalagi sejak dikeluarkannya UU BHP yang jelas-jelas melarang orang miskin mengecap pendidikan. Padahal seharusnya untuk membangun bangsa ini harus dimulai dari pendidikan. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang maju tanpa pendidikan.
Pembangunan Pendidikan 
Tanpa pendidikan, bangsa ini tetap gelap. Supaya bangsa terang, dibutuhkan suluh bangsa yaitu pendidikan.
Sesuai dengan konstitusi, semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang membentuk pola pikir, moral, kemandirian, nasionalisme, kekritisan, dan mampu menjawab persoalan bangsa.
Pembangunan pendidikan diupayakan guna membebaskan rakyat dari penjara kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kesengsaraan dan ketertindasan rakyat. Upaya pembebasan itu bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan orang yang cerdas bermoral. Rakyat yang cerdas bermoral menjadi modal utama dalam membangun bangsa ini.
Untuk itu, tanpa kebijakan pemerintah yang benar-benar berdasar, maka negara ini tetap terombang-ambing atau berketergantungan. Bisa jadi, menjadi bangsa pengemis di negeri sendiri. Tentu, kita tak mau mewariskan ini semua pada anak cucu negeri. Sudah saatnya, negara ini bangkit membangun kembali manusianya melalui pembangunan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan.
Pembangunan pendidikan  sejalan dengan penghematan anggaran negara, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mari kita bangun masa depan negara ini demi terwujudnya cita-cita bersama. Kita pasti (bisa) bangkit dari keterpurukan. Membangun pendidikan membangkitkan bangsa. 
(Dimuat di Sumut Pos, 10 September 2009)