Senin, 14 Januari 2013

Orang Miskin Harus (Bisa) Sekolah


Oleh: Jhon Rivel Purba

            Semua orangtua pasti mengharapkan anaknya bisa mengecap pendidikan hingga perguruan tinggi. Sebab tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya hidup dalam belenggu kebodohan. Melainkan, semua orangtua berusaha agar anaknya lebih cerdas dan sejahtera dari dirinya. Tetapi kenyataannya, jangankan menikmati pendidikan tinggi, masih banyak anak yang tak bisa menikmati pendidikan dasar.
            Buktinya, sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya (Kompas, 4/3/2011). Faktor penyebab utama putus sekolah ini adalah karena keterbatasan dana. Pendidikan dasar wajib sembilan tahun yang selalu disuarakan pemerintah ternyata tidak bisa diwujudkan. Padahal anggaran pendidikan selalu dinaikkan dari tahun ke tahun.
            Putus sekolah bukanlah pilihan si anak dan orangtuanya. Tetapi itu adalah sebuah keterpaksaan karena tidak sanggup secara ekonomi. Apalagi dengan mengingat biaya pendidikan yang semakin mahal. Memperjuangkan kebutuhan perut saja bagi jutaan orang sudah berat, apalagi ditambah dengan kebutuhan pendidikan. Hal ini berbeda  dengan orang kaya (terlepas dari mana pun uangnya), mahalnya biaya pendidikan bukanlah masalah. Mereka bisa menyekolahkan anakanya di sekolah-sekolah elite, sekolah bertaraf internasional (SBI), bahkan ke luar negeri dengan baiaya mahal.
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya triliunan rupiah seharusnya bisa menyambung anak miskin dengan sekolah. Tapi entah apa yang terjadi dengan penggunaan dana tersebut, mungkin penggunaannya tidak tepat sasaran. Atau lebih parahnya, diselewengkan oleh pihak-pihak yang rakus. Yang jelas kasus-kasus penyalahgunaan dana BOS sering terjadi dan departemen pendidikan termasuk salah satu departemen terkorup di Indonesia.
Pilihan bagi anak yang putus sekolah pastilah pahit. Kepahitan yang tak bisa dihindarkan. Diantaranya adalah bekerja untuk membantu pemenuhan kebutuhan perut. Masa depan mereka pun akan dibayang-banyangi kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan ketidakberdayaan. Merekalah korban kebijakan struktural yang tak pernah berpihak kepada orang miskin. Sayangnya, mereka tidak mempunyai kesadaran kritis dan kekuatan untuk melawan sistem yang menindas, sehingga kenyataan yang mereka alami seolah-olah adalah nasib.
            Di tengah-tengah penderitaan dan ketidakpastian orang miskin, beberapa elite berpesta pora menghambur-hamburkan uang rakyat. Padahal sebelumnya dalam kampanye politik, mereka selalu menjanjikan perbaikan nasib. Pesta pora mereka meliputi makan uang rakyat (korupsi), mabuk kekuasaan melalui sandiwara politik,  dan menari-nari di atas panggung kebohongan. Mereka benar-benar mabuk uang dan kekuasaan. Tidak sedikit dari  pemabuk inilah yang membuat kebijakan di negeri ini, termasuk kebijakan dalam pendidikan. Sehingga tidak mengherankan lagi, kebijakan yang dibuat adalah kebijakan mabuk (rapuh) atau sesat. Dikatakan sesat karena bertentangan dengan cita-cita berdirinya bangsa ini.
            Orang yang mabuk uang dan kekuasaan akan sulit menerjemahkan konstitusi ke dalam kebijakan. Akhirnya kebijakan yang dibuat adalah dengan bercermin dari apa yang bisa didapatkan diri maupun kelompoknya, bukan yang baik dan berguna bagi seluruh rakyat. Tawaran-tawaran asing pun dikerjakan hanya dengan mempertimbangkan seberapa besar keuntungan bagi dirinya, tanpa bercermin pada amanat konstitusi dan masa depan bangsa. Tawaran-tawaran itu seperti menghapus subsidi (pendidikan) bagi rakyat dan membuat kebijakan (pendidikan) yang disukai pasar. Alhasil, sistem pendidikan kita semakin menutup ruang bagi si miskin dan menyerahkannya pada kepentingan pasar.
            Otonomi daerah yang diharapkan dapat mempercepat pemerataan pembangunan, termasuk pendidikan, ternyata jauh panggang dari api. Sangat jarang menemukan kepala daerah maupun elite daerah yang berkomitmen membangun pendidikan yang adil dan bermutu. Adil dalam arti semua anak daerah bisa mengecap pendidikan dengan kebijakan dan bantuan-bantuan konkret. Misalnya sekolah gratis untuk orang miskin dan memberikan subsidi bagi si miskin. Bermutu dalam arti pendidikan itu diarahkan untuk menjawab persoalan-persoalan khususnya persoalan daerah. Justru yang tercipta adalah kastanisasi pendidikan.
            Tampaknya otonomi daerah hanya menambah persoalan baru dimana semakin banyaknya pemabuk uang dan kekuasaan yang bertopengkan pembangunan. Pembangunan yang mengatasnamakan rakyat, padahal itu adalah proyek kepentingan yang sarat dengan KKN. Makanya ratusan kepala daerah berurusan dengan hukum karena diduga maupun terbukti melakukan praktik korupsi. Kenyataan ini semakin menciderai semangat reformasi 1998 dan pembangunan nasional.
            Selama para penguasa di pusat maupun di daerah masih didominasi oleh pemabuk uang dan kekuasaan, maka orang miskin akan tetap miskin. Orang miskin tak bisa mengecap pendidikan yang adil dan bermutu. Kasarnya, orang miskin dilarang sekolah di negeri yang mencita-citakan kecerdasan bangsa. Jika orang miskin dilarang sekolah, berarti pengambil kebijakan tak serius memberantas kemiskinan, justru melanggengkan kemiskinan itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana agar orang miskin bisa sekolah?
            Orang miskin bisa sekolah apabila negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang berintegritas, visioner, nasionalis, bebas dari KKN, dan negarawan sejati. Selama ini kita mempunyai banyak pemimpin, tapi masih langka sosok yang berjiwa kepemimpinan dan berintegritas. Sosok yang berintegritas bisa menerjemahkan visi pendidikan ke dalam kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada seluruh rakyat demi kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, dalam pelaksanaannya juga bebas dari unsur-unsur KKN.
            Bagaimanapun juga, kemiskinan dan persoalan bangsa lainnya akan semakin subur jika tidak diterapkan kebijakan pendidikan yang adil dan bermutu. Semua anak Indonesia harus sekolah. Itu kuncinya. Tugas pemerintahlah bagaimana mengupayaknnya secara bijak, misalnya dengan memberikan pendidikan gratis dari sekolah dasar hingga menengah atas, dan membuka ruang selebar-lebarnya agar orang miskin juga bisa mengecap pendidikan hingga ke perguruan tinggi dengan memberikan subsidi pendidikan.
            Selanjutnya, pemerintah harus menyadari bahwa hanya Inodnesia yang bisa menentukan nasibnya. Hanya Indonesia yang bisa mengubah nasibnya. Mengubah nasib bangsa harus dimulai dari pendidikan. Generasi bangsa yang cerdas, berbudi pekerti, mandiri, dan terampil, akan sendirinya membawa bangsa ini ke gerbang kemajuan. Oleh sebab itu, semua warga negara termasuk orang miskin harus mendapatkan pendidikan yang adil dan bermutu.
(Dimuat di Medan Bisnis, 8 Maret 2011)

Jangan Korbankan Siswa


Oleh: Jhon Rivel Purba

Libur semester telah usai dan lembar semester baru telah dibuka pada awal tahun 2011 ini. Para siswa pun kembali ke bangku sekolah mengikuti proses belajar seperti sebelumnya. Bisa dipastikan, tidak semua siswa memiliki semangat dan gairah belajar. Banyak siswa yang mengganggap bahwa sekolah adalah penjara bagi mereka. Bagaimana tidak, para siswa selalu diposisikan sebagai objek, sementara guru sebagai subjek. Dimana guru memposisikan diri sebagai orang yang serba tahu, sedangkan siswa diposisikan sebagai orang yang tak tahu. Sehingga guru harus memberitahukan apa yang diketahuinya. Paulo Freire, tokoh pendidikan Amerika Latin, menyebut gaya pendidikan ini adalah gaya bank.
Tak ada hubungan dialogis antara guru dengan murid, maupun sesama siswa. Kondisi ini membunuh kreativitas siswa. Siswa hanya dipaksa menghapal berbagai ilmu pengetahuan, padahal belum tentu memahaminya. Belum lagi ujian nasional (UN) yang akan dihadapi siswa kelas VI, IX, dan XII, menjadi momok yang menakutkan bagi banyak siswa. Mereka takut tidak lulus ujian.
            Di sisi lain, program sertifikasi guru yang telah dimulai sejak 2006 ternyata tidak signifikan menghasilkan guru yang profesional. Tidak sedikit guru yang lulus sertifikasi masih menerapkan metode mengajar yang kaku dan monoton. Tidak ada perubahan. Ujung-ujungnya, siswalah yang terus menjadi objek dan korban pendidikan itu sendiri.
            Selain itu, menjelang UN, para siswa dipaksa mendapat les tambahan di luar jam sekolah. Anehnya, tujuannya adalah bagaimana mempersiapkan siswa  mampu menjawab soal-soal agar lulus UN. Pihak sekolah pun bekerja sama dengan bimbingan belajar dalam melaksanakan tes simulasi UN (try out). Mau tidak mau, siswa terpaksa mengeluarkan uang kantung untuk biaya les dan tes ini. Uang dan energi habis hanya untuk belajar menjawab soal-soal. Padahal, seharusnya lembaga pendidikan hadir untuk menjawab persoalan, bukan menjawab soal-soal yang tak ada korelasinya dengan persoalan hidup.
            Dari pengalaman pelaksanaan UN sebelumnya, terjadi kecurangan yang sistematis dan terorganisir. Dimana kunci jawaban diberikan atau dibacakan langsung kepada siswa. Sebagai tambahan, dari semua siswa yang saya wawancarai, semuanya mengaku mendapat kemudahan. Memang, siswa itu senang, padahal sesungguhnya telah menjadi korban kebijakan dan sandiwara pendidikan. Sangat sulit melahirkan siswa berkarakter dari sistem yang tak bersih.
            Bagaimanapun juga, siswa sebagai masa depan bangsa harus diselamatkan dari sistem pendidikan yang menindas. Siswa bukanlah objek atau robot, melainkan subjek sadar. Oleh sebab itu, pelaksanaan sistem penididikan yang demokratis dan menjawab persoalan, adalah keharusan. Demi siswa dan demi masa depan bangsa. (Dimuat di Media Indonesia, 10 Januari 2011)

Ketidakseriusan Mengentaskan Kemiskinan

Oleh: Jhon Rivel Purba

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, sepertinya bertolak belakang dari apa yang kita saksikan di lapangan. Menurut versi BPS, jumlah angka kemiskinan tahun 2006 sebanyak 39,30 juta orang (17,8%), tahun 2007 sebanyak 37,17 juta (16,6%), tahun 2008 sebanyak 34, 96 juta (15,4%), tahun 2009 sebanyak 32,53 juta (14,2%), dan tahun 2010 sebanyak 31,02 juta (13,3%). Artinya, dari catatan tersebut terjadi penurunan angka kemiskinan sebesar satu persen setiap tahunnya. Hal itu berbeda dari apa yang kita saksikan di tengah-tengah masyarakat. Buktinya, semakin banyak masyarakat kewalahan dalam memperjuangkan kebutuhan “sejengkal perut”. Belum lagi dengan melihat semakin menjamurnya pengemis, pengamen, pemulung, juru parkir ilegal, dan penganggur.
            Hampir semua aspek kehidupan di negara ini bisa dipolitisasi. Memang yang menjadi panglima di negeri ini bukan lagi hukum, melainkan politik kekuasaan. Barangkali penurunan angka kemiskinan adalah politik pencitraan diri pemerintah supaya melanggengkan kekuasannya. Kejujuran mengakui kekurangan atau kesalahan, masih langka di negara yang sudah merdeka selama 65 tahun ini. Dengan mengatasnamakan hukum, semua bisa diputarbalikkan sesuai dengan kepentingan segelintir orang. Paling menyakitkan, kepolisian dan kejaksaan sudah terkena virus kebohongan.
            Terlepas dari angka-angka kemiskinan tersebut, program-program yang diharapakan dapat membasmi kemiskinan sampai ke akar-akarnya bisa dikatakan hampir tidak ada. Yang ada hanya bersifat jangka pendek misalnya memberikan jatah beras untuk rakyak miskin kepada sekitar 70 juta orang. Sementara pembangunan selama ini lebih condong pada pembangunan fisik yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kepala daerah pun dengan mengatasnamakan pembangunan, membuat banyak proyek yang menguntungkan diri dan kelompoknya.
Kasus Korupsi
            Meminjam data Indonesia Corruption Watch (ICW), selama periode Januari-Juni 2010, terdapat 176 kasus korupsi yang melibatkan 411 orang dengan kerugian negara sekitar Rp 2,1 triliun. Itu masih yang terungkap. Yang belum terungkap tentu lebih besar lagi. Sialnya, dari jumlah kasus tersebut, koruptor lebih banyak berasal dari pejabat (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Sektor keuangan daerah merupakan lahan korupsi paling diminati koruptor, sehingga di sektor inilah kasus korupsi terbanyak.
            Otonomi daerah justru semakin memudahkan kepala daerah dan kroni-kroninya menghisap uang rakyat. Sangat memprihatinkan ketika sebanyak 50 persen dari jumlah gubernur di Indonesia bermasalah dengan hukum karena kasus korupsi. Termasuk Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Syamsul Arifin. Bahkan Sumut  “dinobatkan” sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Gubernur yang melakukan praktik korupsi diikuti oleh bupati/walikota hingga kepala desa dan kepala lurah. Pejabat publik yang korup sudah pasti menghambat proses pembangunan. Karena uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, hanya dinikmati oleh beberapa koruptor. Juga, kepala daerah yang menjalani proses hukum akan membuat daerahnya telantar.
            Meskipun anggaran kemiskinan selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya, tetapi jika pejabat masih “candu” melakukan praktik korupsi, maka kemiskinan tidak bisa diberantas. Bagaimana mungkin kemiskinan bisa diperangi jika anggaran kemiskinan saja menjadi rebutan dan lahan basah bagi koruptor. Memberantas kemiskinan harus sejalan dengan memberantas korupsi. Selama korupsi masih mewabah di negeri ini maka mustahil masalah kemiskinan bisa diselesaikan.
            Maraknya kasus korupsi tidak terlepas dari lemahnya penegakan hukum, kurangnya pengawasan, transaksi politik, dan ketidakseriusan pemerintah. Lemahnya penegakan hukum ditandai dengan mandulnya kinerja aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) dalam memberantas korupsi. Yang paling menyedihkan kedua lembaga ini justru melanggar hukum. Sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kedua lembaga ini semakin memudar. Kasus “rekening gendut” perwira polisi yang hingga saat ini tidak dituntaskan merupakan satu bukti bahwa penegakan hukum masih tebang pilih. Tampa ada pembenahan secara radikal di kedua institusi ini, maka hukum di negeri ini masih bisa ditawar dengan uang.
            Selain itu, rendahnya putusan untuk perkara korupsi, semakin menghambat upaya pemberantasan korupsi sebagai bagian dari agenda reformasi. Lihatlah, selama 2010, dari 442 kasus yang ditangani oleh Mahkamah Agung (MA), sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen dijatuhi hukuman satu sampai dua tahun. Putusan yang seperti ini tidak akan memberikan efek jera bagi koruptor. Apalagi mereka yang dijatuhi hukuman masih mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat, perlakuan istimewa di dalam penjara.
            Kurangnya pengawasan dari berbagai pihak terhadap koruptor, membuat koruptor lupa diri. Mereka lupa akan tugas dan tanggung jawabnya karena dibius oleh kemewahan dan kemapanan tanpa pengawasan. Sistem yang dibuat begitu rapi menutup pintu ruang keterbukaan publik. Anggota DPR yang seharusnya mengawasi kinerja pemerintah, tidak bisa berkutik. Karena di lembaga yang mengatasnamakan rakyat ini juga terjadi praktik-praktik korupsi.
            Transaksi politik dalam proses melahirkan pemimpin selalu diwarnai dengan politik uang dan balas jasa. Dari pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) selama ini, tidak ada yang bersih. Semua dikotori dengan politik uang. Logika sederhana, seorang calon kepala daerah yang telah menghabiskan uang miliaran rupiah selama kampanye, ketika terpilih sudah pasti memikirkan bagaimana mengembalikan uangnya. Dari gaji murni yang didapat tidak akan mungkin mengembalikan pengeluaran waktu kampanye. Jalan pintas mencari uang yaitu melakukan praktik korupsi dengan berbagai cara. Tentu pembangunan yang dibuat pun bukan bertujuan menjawab perosoalan rakyat, melainkan demi kepentingannya dan kelompok pendukungnya.
            Pemerintah dalam hal ini SBY-Boediono juga terkesan tidak serius memberantas korupsi. Terbukti dari berbagai kasus korupsi yang berjalan di tempat padahal energi sudah banyak dihabiskan. Ini bertolak belakang dengan apa yang dikatakan SBY bahwa dia berjanji akan berada di barisan terdepan untuk memberantas korupsi. Nyatanya upaya pemberantasan korupsi berada di dalam lingkaran kepentingan politik.
Ketidakseriusan memberantas korupsi sama saja dengan ketidakseriusan mengentaskan kemiskinan. Karena korupsilah yang menyuburkan kemiskinan. Artinya, selama korupsi beranka-pinak di negeri ini, maka kemiskinan juga berkembangbiak. Oleh sebab itu, harus ada kesadaran bersama bahwa koruptor adalah setan terkutuk yang harus dibasmi bersama. Jika tidak, kemiskinanlah yang akan menciderai masa depan bangsa. Pertanyaannya, maukah pemerintah dan lembaga penegak hukum serius dalam memberantas korupsi? Semoga saja.
(Dimuat di Medan Bisnis, 3 Maret 2011)