Oleh: Jhon Rivel Purba
Semua
orangtua pasti mengharapkan anaknya bisa mengecap pendidikan hingga perguruan
tinggi. Sebab tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya hidup dalam belenggu
kebodohan. Melainkan, semua orangtua berusaha agar anaknya lebih cerdas dan
sejahtera dari dirinya. Tetapi kenyataannya, jangankan menikmati pendidikan
tinggi, masih banyak anak yang tak bisa menikmati pendidikan dasar.
Buktinya,
sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah
setiap tahunnya (Kompas, 4/3/2011). Faktor penyebab utama putus sekolah ini
adalah karena keterbatasan dana. Pendidikan dasar wajib sembilan tahun yang
selalu disuarakan pemerintah ternyata tidak bisa diwujudkan. Padahal anggaran
pendidikan selalu dinaikkan dari tahun ke tahun.
Putus
sekolah bukanlah pilihan si anak dan orangtuanya. Tetapi itu adalah sebuah
keterpaksaan karena tidak sanggup secara ekonomi. Apalagi dengan mengingat
biaya pendidikan yang semakin mahal. Memperjuangkan kebutuhan perut saja bagi
jutaan orang sudah berat, apalagi ditambah dengan kebutuhan pendidikan. Hal ini
berbeda dengan orang kaya (terlepas dari
mana pun uangnya), mahalnya biaya pendidikan bukanlah masalah. Mereka bisa
menyekolahkan anakanya di sekolah-sekolah elite, sekolah bertaraf internasional
(SBI), bahkan ke luar negeri dengan baiaya mahal.
Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya triliunan rupiah seharusnya bisa
menyambung anak miskin dengan sekolah. Tapi entah apa yang terjadi dengan penggunaan
dana tersebut, mungkin penggunaannya tidak tepat sasaran. Atau lebih parahnya,
diselewengkan oleh pihak-pihak yang rakus. Yang jelas kasus-kasus
penyalahgunaan dana BOS sering terjadi dan departemen pendidikan termasuk salah
satu departemen terkorup di Indonesia.
Pilihan bagi
anak yang putus sekolah pastilah pahit. Kepahitan yang tak bisa dihindarkan.
Diantaranya adalah bekerja untuk membantu pemenuhan kebutuhan perut. Masa depan
mereka pun akan dibayang-banyangi kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan
ketidakberdayaan. Merekalah korban kebijakan struktural yang tak pernah
berpihak kepada orang miskin. Sayangnya, mereka tidak mempunyai kesadaran
kritis dan kekuatan untuk melawan sistem yang menindas, sehingga kenyataan yang
mereka alami seolah-olah adalah nasib.
Di
tengah-tengah penderitaan dan ketidakpastian orang miskin, beberapa elite
berpesta pora menghambur-hamburkan uang rakyat. Padahal sebelumnya dalam
kampanye politik, mereka selalu menjanjikan perbaikan nasib. Pesta pora mereka meliputi
makan uang rakyat (korupsi), mabuk kekuasaan melalui sandiwara politik, dan menari-nari di atas panggung kebohongan. Mereka
benar-benar mabuk uang dan kekuasaan. Tidak sedikit dari pemabuk inilah yang membuat kebijakan di
negeri ini, termasuk kebijakan dalam pendidikan. Sehingga tidak mengherankan
lagi, kebijakan yang dibuat adalah kebijakan mabuk (rapuh) atau sesat. Dikatakan
sesat karena bertentangan dengan cita-cita berdirinya bangsa ini.
Orang
yang mabuk uang dan kekuasaan akan sulit menerjemahkan konstitusi ke dalam
kebijakan. Akhirnya kebijakan yang dibuat adalah dengan bercermin dari apa yang
bisa didapatkan diri maupun kelompoknya, bukan yang baik dan berguna bagi
seluruh rakyat. Tawaran-tawaran asing pun dikerjakan hanya dengan
mempertimbangkan seberapa besar keuntungan bagi dirinya, tanpa bercermin pada
amanat konstitusi dan masa depan bangsa. Tawaran-tawaran itu seperti menghapus
subsidi (pendidikan) bagi rakyat dan membuat kebijakan (pendidikan) yang
disukai pasar. Alhasil, sistem pendidikan kita semakin menutup ruang bagi si
miskin dan menyerahkannya pada kepentingan pasar.
Otonomi
daerah yang diharapkan dapat mempercepat pemerataan pembangunan, termasuk
pendidikan, ternyata jauh panggang dari api. Sangat jarang menemukan kepala
daerah maupun elite daerah yang berkomitmen membangun pendidikan yang adil dan
bermutu. Adil dalam arti semua anak daerah bisa mengecap pendidikan dengan
kebijakan dan bantuan-bantuan konkret. Misalnya sekolah gratis untuk orang
miskin dan memberikan subsidi bagi si miskin. Bermutu dalam arti pendidikan itu
diarahkan untuk menjawab persoalan-persoalan khususnya persoalan daerah. Justru
yang tercipta adalah kastanisasi pendidikan.
Tampaknya
otonomi daerah hanya menambah persoalan baru dimana semakin banyaknya pemabuk uang
dan kekuasaan yang bertopengkan pembangunan. Pembangunan yang mengatasnamakan
rakyat, padahal itu adalah proyek kepentingan yang sarat dengan KKN. Makanya
ratusan kepala daerah berurusan dengan hukum karena diduga maupun terbukti
melakukan praktik korupsi. Kenyataan ini semakin menciderai semangat reformasi
1998 dan pembangunan nasional.
Selama
para penguasa di pusat maupun di daerah masih didominasi oleh pemabuk uang dan
kekuasaan, maka orang miskin akan tetap miskin. Orang miskin tak bisa mengecap pendidikan
yang adil dan bermutu. Kasarnya, orang miskin dilarang sekolah di negeri yang
mencita-citakan kecerdasan bangsa. Jika orang miskin dilarang sekolah, berarti
pengambil kebijakan tak serius memberantas kemiskinan, justru melanggengkan
kemiskinan itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana agar orang miskin
bisa sekolah?
Orang
miskin bisa sekolah apabila negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang
berintegritas, visioner, nasionalis, bebas dari KKN, dan negarawan sejati. Selama
ini kita mempunyai banyak pemimpin, tapi masih langka sosok yang berjiwa
kepemimpinan dan berintegritas. Sosok yang berintegritas bisa menerjemahkan
visi pendidikan ke dalam kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada seluruh
rakyat demi kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, dalam pelaksanaannya juga
bebas dari unsur-unsur KKN.
Bagaimanapun
juga, kemiskinan dan persoalan bangsa lainnya akan semakin subur jika tidak
diterapkan kebijakan pendidikan yang adil dan bermutu. Semua anak Indonesia
harus sekolah. Itu kuncinya. Tugas pemerintahlah bagaimana mengupayaknnya
secara bijak, misalnya dengan memberikan pendidikan gratis dari sekolah dasar
hingga menengah atas, dan membuka ruang selebar-lebarnya agar orang miskin juga
bisa mengecap pendidikan hingga ke perguruan tinggi dengan memberikan subsidi
pendidikan.
Selanjutnya,
pemerintah harus menyadari bahwa hanya Inodnesia yang bisa menentukan nasibnya.
Hanya Indonesia yang bisa mengubah nasibnya. Mengubah nasib bangsa harus
dimulai dari pendidikan. Generasi bangsa yang cerdas, berbudi pekerti, mandiri,
dan terampil, akan sendirinya membawa bangsa ini ke gerbang kemajuan. Oleh
sebab itu, semua warga negara termasuk orang miskin harus mendapatkan
pendidikan yang adil dan bermutu.
(Dimuat di Medan Bisnis, 8 Maret 2011)